Berita Tangerang
Pedagang Pasar Anyar Tangerang Keluhkan Kenaikkan Harga Minyak Goreng Sampai 60 Persen
Para pedagang sembako di Pasar Anyar Tangerang keluhkan kenaikkan harga minyak goreng hingga 60 persen
Penulis: Gilbert Sem Sandro | Editor: Dian Anditya Mutiara
TRIBUNTANGERANG.COM, JAKARTA - Pedagang sembako yang berada di Pasar Anyar, Tangerang, mengeluh akibat harga minyak goreng yang merangsek tajam hingga 60 persen.
Salah satu pemilik Kios Sembako di Pasar Anyar, Engguan mengatakan, kenaikan harga minyak tersebut mencapai Rp 8.000.
Kenaikan harga tersebut terjadi pada seluruh jenis minyak, mulai dari minyak curah hingga minyak kemasan bermerk.
"Iya kenaikan harga minyak saat ini sangat tinggi sekali, bahkan sampai 60 persen presentasenya," ujar Engguan saat diwawancarai TribunTangerang.com, Sabtu (30/10/2021).
"Misalnya seperti minyak curah yang sebelumnya itu harga Rp 12.000, sekarang menjadi Rp 20.000. Lalu di minyak kemasan yang biasanya seharga Rp 28.000, saat ini naik menjadi Rp 35.000," imbuhnya.
Baca juga: HEBOH! Harga Minyak Goreng Melambung Tinggi di Kota Tangerang
Kemudian Engguan juga menerangkan, kenaikan harga pada minyak curah dan kemasan itu sudah terjadi sejak bulan September 2021 lalu.
Peningkatan harga minyak disebut Engguan terjadi secara bertahap, mulai Rp 2.000, Rp 4.000, hingga saat ini memuncak di harga Rp 8.000.
Kendati demikian, Engguan mengaku tidak mengetahui penyebab melonjaknya harga kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari itu.

Menurutnya, distributor tempatnya mengambil barang tersebut menaikan harga tanpa menjelaskan penyebabnya kenaikan harga.
Pasalnya disebut Engguan, kenaikan harga saat ini merupakan pertama kalinya terjadi, selama dirinya membuka usaha toko sembako.
"Harga minyak ini naik dari bulan September kemarin, naiknya secara bertahap tidak langsung tinggi seperti sekarang ini," kata Engguan.
"Belum tau apa penyebab naiknya harga minyak ini, sebelumnya harga minyak tidak pernah terpengaruh dengan situasi menjelang hari raya besar, seperti hari raya lebaran, natal atau tahun baru," tuturnya.
"Biasanya kalau harga naik paling Rp 1000 atau Rp 2000, tapi kalau sampai Rp 8000 ini adalah sejarah pertama kali," ungkapnya.
Lebih lanjut Engguan menambahkan, akibat kenaikan harga minyak tersebut, para pelanggannya kini mulai mengurangi jumlah pembelian minyak.
Pasalnya, imbas meningkatnya harga minyak itu tidak hanya terjadi pada pemilik toko sepertinya, melainkan para pedagang kecil seperti pedagang gorengan ataupun pedagang pecel lele.
"Pastilah berimbas untuk sisi penjualan, terutama pedagang-pedagang kecil yang berjualan di pinggir jalan, mereka semua pada protes dan mengeluh," terangnya.
"Mau tidak mau mereka harus mengurangi pembelian minyak, misalnya biasa beli dua atau tiga kilogram, sekarang cuma beli minyak satu kilogram saja. Mau tidak mau mereka harus begitu, biar usahanya bisa tetap berjalan," jelasnya.
Oleh sebat itu, Engguan mengharapkan kepada pemerintah agar dapat mengontrol harga jenis bahan pokok masyarakat tersebut.
Pasalnya, saat ini usaha masyarakat baru kembali berkembang pasca terpaan Pandemi Covid-19.
Dengan terjadinya inflasi tersebut, dinilai Engguan dapat menghambat pertumbuhan kondisi perekonomian sosial masyarakat.
"Pemerintah tolonglah dikontrol harga-harga bahan pokok ini, minimal melakukan sidak lah ke pasar-pasar tradisional. Abis itu pasti harga akan kembali normal, ketika mereka tau kejadian di lapangan," ucapnya.
"Soalnya sekarang kan ekonomi masyarakat baru mau mulai bangkit setelah kondisi PPKM menurun. Kalau begini terus, kapan sejahteranya masyarakat buat bisa bangkit," tutup Engguan.
Penyebab harga minyak melonjak
Harga minyak goreng melonjak pada akhir Oktober 2021.
Lonjakan harga minyak goreng tersebut terjadi di berbagai daerah.
Pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengungkapkan, kenaikan harga minyak goreng disebabkan adanya kekurangan pasokan akan minyak nabati (oils) dan minyak hewani (fats) di pasar global.
"Pandemi ini membuat suasana lapangan produksi semua serba tak jelas. Produksi minyak nabati dan minyak hewani semua menurun dibandingkan dengan produksi di tahun sebelum adanya pandemi. Intinya, seperti hukum ekonomi, di mana antara supply dan demand terjadi kepincangan maka pasokan dunia sangat berkurang," ujar Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga saat dihubungi Kompas.com, Senin (25/10/2021).

Ia mengatakan produksi minyak nabati dan hewani telah menurun sebanyak 266.000 ton pada 2020. Penurunan produksi tersebut juga terjadi pada 2021.
Selain itu, kenaikan harga minyak goreng juga disebabkan adanya kenaikan harga minyak sawit atau CPO Indonesia.
Saat ini kata Sahat, harga CPO di Indonesia masih berbasis harga CPO CiF Rotrerdam.
Dia menilai, apabila harga CiF Rotterdam mengalami kenaikan, maka harga CPO lokal juga naik.
Sahat juga menjelaskan, saat ini industri penghasil minyak goreng di Indonesia tidak punya hubungan usaha dengan perkebunan sawit.
Oleh sebab itu, menurut dia, harga jual yang dipasarkan oleh industri penghasil minyak goreng sama dengan harga CPO yang sudah ditambahkan dengan biaya olah, biaya kemasan, dan biaya ongkos angkut.
"Dengan demikian harga jual yang mereka lakukan adalah sesuai dengan kondisi lapangan dan kini para produsen minyak goreng sudah tidak bisa lagi mengikuti harga patokan yang ditetapkan oleh regulator," ungkap Sahat.
Sebelumnya, mengutip dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, minyak goreng kemasan bermerek 1 terpantau naik sebesar 1,16 persen atau Rp 200 menjadi Rp 17.400 per kilogram, minyak goreng kemasan bermerek 2 terpantau naik sebesar 0,9 persen atau Rp 150 menjadi Rp 16.850 per kilogram, dan minyak goreng curah secara nasional terpantau naik sebesar 2,15 persen atau Rp 350 menjadi Rp 16.600 per kilogram.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ini Penyebab Harga Minyak Goreng Melonjak"