Polisi Tembak Polisi

Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis: Banyak Fakta Diluar Akal pada Kasus Penembakan Brigadir J

Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis mengatakan kasus polisi tembak polisi malah melebar dari pembunuhan sampai pelecehan seksual

Editor: Lilis Setyaningsih
Tribunnews.com/Abdi Ryanda
Sejumlah polisi berjaga di luar rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Sabtu (16/7/2022). 

News Analysis Oleh: Soleman B. Ponto, Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis

TRIBUNTANGERANG.COM, JAMBI - Kasus polisi tembak polisi di rumah Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo ditemukan banyak fakta diluar akal. 

Ada banyak kejanggalan pada kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Pertama, kasus penembakkan ini terkesan melebar dari awalnya kasus pembunuhan menjadi kasus pelecehan seksual.

Padahal, kasus ini berawal dari tembak menembak antara anggota kepolisian.

Yang nembak-menembak, polisi menembak polisi di rumah polisi, ditangkap oleh polisi yang mati CCTV.

Namun tiba-tiba Kapolri membentuk tim. Kompolnas masuk. Judulnya polisi semua. Ya jadi liar.

Baca juga: Mabes Polri Akui Anggotanya Intimidasi Jurnalis di Sekitar Rumah Dinas Irjen Ferdy Sambo

Padahal kan kalau kita kembali lagi ke faktanya, itu hanya pembunuhan saja, titik! Tapi kenapa kemudian jadi belok ke sana ke mari?

Nah, dari situ lah, lagi-lagi intelijen melihat, pasti ada sesuatu yang disembunyikan.

Padahal, jika kasus pembunuhan, cukup hanya melibatkan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.

Selain itu sejumlah fakta menunjukkan adanya hasil autopsi atas peristiwa penembakkan yang menewaskan Brigadir Yoshua.

Namun, hingga kini belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka.

Kalau autopsi oleh penembakan, maka kita jangan bicara dulu itu pelecehan seksual. Kita bicara saja penembakan. Kan, harus konsisten dong.

Sekarang ini logika waras publik teracak-acak dengan penyampaian-penyampaian ini.

Lalu tiba-tiba Kapolri juga masuk (membentuk tim). Lah, sekarang bagaimana mau percaya masyarakat?

Jika kita bandingkan dengan kasus kopi sianida yang melibatkan Jessica Wongso, misalnya, polisi memutuskan Jessica bersalah dan menjadi tersangka dalam kasus kopi Sianida tersebut.

Dalam kasusnya, Mirna dinyatakan dibunuh.

Walaupun dalam persidangan tidak ada bukti yang menjelaskan ada yang memasukkan sianida ke dalam minumannya.

Kasus Yosua ini menurut saya sama dengan kasus Mirna tersebut.

Saya berharap polisi fokus saja kepada fakta yang menyebutkan adanya upaya pembunuhan terhadap Yosua. Jangan sampai Polri yang kita banggakan ini melindungi para pembunuh.

Kenapa saya bilang pembunuh? Karena ada orang mati.

Baca juga: Rumah Dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga Hanya Jadi Tempat Tinggal Sopir dan Para Ajudan

Mengawal Istri Propam Pakai Glock

Pemakaian senjata di Kepolisian biasanya cenderung terbatas.

Terbatasnya penggunaan senjata api itu diatur berdasarkan aturan dasar keprajuritan.

Biasanya, seorang prajurit berpangkat Tamtama hanya boleh membawa senjata laras panjang dan sangkur.

Itu pun hanya saat prajurit tersebut berjaga dalam tugasnya.

Kemudian pada tingkat Bintara dibatasi hanya menggunakan senjata laras pendek.

Lalu pada pangkat Perwira pun memiliki spesifikasi senjata tersendiri. Kalau kemudian penembak Bharada E ini menggunakan senjata Glock, ini melompat jauh.

Karena Bharada E ini adalah level paling bawah di kepolisian. Ini juga berkembang lagi, Glock ini dari siapa? Dan fungsinya apa diberikan kepada Bharada E ini?

Yang patut dipertanyakan juga adalah penggunaan pistol HS-9 yang disebut digunakan oleh Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat.

Dalam rangka apa dia membawa senjata itu? Okelah dalam rangka pengawalan.

Tapi apakah memang diperlukan senjata otomatis untuk mengawal itu?

Apakah negara ini benar-benar mencekam, sehingga diperlukan senjata-senjata pembunuh seperti itu?

Padahal umumnya petugas Kepolisian hanya membawa senjata revolver dalam tugas penjagaan.

Senjata organik yang digunakan Sabhara untuk mengawal distribusi uang kirim ke ATM-ATM itu cukup Revolver, 6 peluru.

Sementara ini 17-18 peluru, seperti itu.

Memang ada Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2022 yang menyebutkan bahwa penggunaan senjata atas rekomendasi pimpinan langsung.

Tetapi senjata yang direkomendasikan ini juga harus mengacu pada peraturan sebelumnya yang membatasi penggunaan senjata api tersebut.

Kalau Tamtama ya maksimal revolver lah.

Mengapa harus memakai Glock? Hanya sekadar untuk mengawal Ibu Bhayangkari ke pasar, ngapain, jadi aneh semuanya.

 

Artikel ini telah tayang di TribunJambi.com dengan judul Brigadir Yosua Tewas Ditembak, Pengamat: Kawal Ibu Bhayangkari Ngapain Pakai Glock?

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved