3 Alasan Orang Jawa Tidak Memiliki Marga Berdasarkan Penelitian Antopolog
Contoh marga yang berasal dari ayah atau Patrilineal adalah marga Batak. Sedangkan yang mengikuti Ibu yakni Minang
TRIBUN TANGERANG.COM, JAKARTA- Mungkin banyak orang yang bertanya-tanya kenapa orang jawa tidak memilki marga seperti lazimnya orang Batak, Dayak, Ambon,
Diketahui Batak, Dayak, Ambon, Minang suku lainnya memiliki marga di nama belakang mereka.
Mayoritas marga yang dibawa berasal dari ayah atau menganut paham Patrilineal. Namun ada juga marga yang mengikuti marga ibu atau Matrilineal.
Contoh marga yang berasal dari ayah atau Patrilineal adalah marga Batak. Sedangkan yang mengikuti Ibu yakni Minang.
Kemudian muncul pertanyaan kenapa suku Jawa yang notabene adalah adalah suku bangsa terbesar di Indonesia tidak memilki marga.
Padahal Suku Jawa memilki populasi mencapai 40,22 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Meski memiliki warisan budaya yang sangat kaya, tetapi dikenal sebagai suku yang tidak punya marga.
Dominasi suku Jawa yang tidak memiliki marga terkadang menimbulkan kesan bahwa penduduk Indonesia tidak mengenal marga. Lantas, kenapa tidak ada marga di Jawa?
Simak ulasannya berikut ini.
Alasan Orang Jawa Tidak Memiliki Marga Ada sejumlah alasan yang membuat orang Jawa dikenal sebagai suku yang tidak punya marga.
Alasan kenapa tidak ada marga di Jawa terungkap melalui penelitian Clifford Geertz, seorang antropolog Amerika Serikat yang pernah melakukan penelitian di Jawa Timur.
Geertz menemukan tiga golongan utama dalam masyarakat Jawa, yakni abangan, santri, dan priayi, yang masing-masing memiliki ciri khas pada nama mereka.
Kelompok sosial tersebut ternyata berpengaruh pula pada pemberian nama anak.
Menurut Geertz, pada saat penelitiannya berlangsung pada tahun 1960-an, mayoritas orang Jawa tidak memiliki nama keluarga, kecuali dari golongan priayi atau ningrat.
Anak dari golongan priayi biasanya diberi nama Djoko atau Bambang.
Bagi kalangan ningrat Jawa atau keluarga kerajaan, ada marga yang diberikan, seperti Suryonegoro, Hadinegoro, Kusumodiharjo, dan lainnya.
Marga tersebut diperlukan sebagai upaya memperkenalkan diri bahwa mereka adalah golongan ningrat yang harus dihormati.
Mereka yang lahir dari kalangan ningrat juga harus berperilaku selayaknya kode etik keraton, karena dituntut untuk menjaga nama baik keluarga yang disandang.
Anak yang lahir dari keluarga abangan, yakni masyarakat Islam Jawa yang tidak melaksanakan syariat secara keseluruhan, biasanya diberi nama berdasarkan hari lahirnya.
Alasannya diduga berkaitan dengan kepraktisan, sehingga sangat umum ditemui nama-nama pasaran Jawa, seperti Pon, Wage, Kliwon, atau nama hari seperti Senen, Kemis, dan sebagainya.
Bagi kelompok abangan, nama hanyalah "tetenger" atau penanda, yang mengingatkan kapan seorang anak lahir.
Nama tersebut akan memudahkan orang tua ketika hendak melakukan selamatan. Oleh karena itu, pada zaman dulu, mayoritas orang Jawa diberi nama tidak lebih dari satu kata, dengan maksud agar lebih mudah diingat.
Tujuan penamaan dengan satu kata berkaitan pula dengan mitos yang dipercaya masyarakat Jawa.
Orang Jawa percaya adanya istilah "kabotan jeneng" atau nama yang disandang terlalu berat. Jika nama yang diberikan terlalu panjang dan bermakna besar, anak biasanya menjadi sakit-sakitan.
Sementara itu, masyarakat Jawa dari golongan santri umumnya dinamai dengan nama-nama Islami, misalnya seperti Rahmat, Ahmad, Muhammad, dan sebagainya.
Alasan orang Jawa tidak memiliki marga juga bisa ditelusuri hingga era penjajahan Belanda.
Pada masa itu, marga hanya disandang oleh kalangan pemilik tanah, politisi kerajaan, dan golongan bangsawan.
Alasannya, marga diperlukan untuk kepengurusan warisan dan kepemilikan properti.
Masyarakat Jawa yang pada umumnya bekerja sebagai petani atau rakyat jelata yang mengabdi pada pemilik tanah pun tidak mempunyai alasan untuk menambahkan marga pada namanya.
Dapat disimpulkan, setidaknya ada tiga alasan orang Jawa tidak punya marga, yakni adanya kepercayaan "kabotan jeneng", marga hanya untuk pemilik aset, dan marga hanya untuk kalangan ningrat.
Karena alasan-alasan itulah, memberi nama tanpa marga menjadi kebiasaan pada orang Jawa hingga dikenal sebagai suku yang tidak punya marga.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com
Dapatkan Informasi lain dari Tribuntangerang.com via saluran Whatsapp di sini
Baca berita TribunTangerang.com lainnya di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.