Fakta Putri Sultan Yogya Terciduk Naik Becak, Netizen Bandingkan dengan Rubicon Anak Pegawai Pajak

Penulis: Desy Selviany
Editor: Ign Prayoga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Putri bungsu Raja Yogyakarta, GKR Bendara, tertangkap kamera sedang naik becak.

TRIBUNTANGERANG.COM, TANGERANG - Putri bungsu Raja Mataram atau Sultan Yogyakarta tertangkap kamera naik becak yang dikayuh tukang becak.

Putri bungsu Sultan Hamengku Buwono X ini naik becak yang dia temukan secara random di salah satu jalan di Yogyakarta.

Gaya hidup bersahaja Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara terlihat pada video pendek yang dibagikan akun Tiktok Muhammad Abdul Khakhim, baru-baru ini.

Video tersebut menunjukkan momen GKR Bendara memanggil tukang becak yang tengah melintas di jalanan.

Saat itu, GKR Bendana mengenakan pakaian casual yang tak menunjukkan dirinya adalah putri seorang raja. 

Tak ada yang mengenali GKR Bendara yang naik becak ke suatu tempat di Yogyakarta.

"Sudah pernah lihat putri Raja belum? GKR Bendara naik becak," tulis pengunggah seperti dikutip Rabu (15/3/2023). 

Video tersebut merupakan video lama yang related dengan situasi terkini.

Netizen pun lantas membandingkan gaya hidup sederhana putri bungsu Sultan Yogyakarta dengan gaya hidup anak-anak pegawai negeri yang kerap pamer kemewahan.

"Putri raja yang istimewa dan sederhana... tidak pake rubicon atau barang branded... salut dan hormat buat beliau," komentar @Rannie Tresnawati.

GKR Bendara yang memiliki asma timur Gusti Raden Ajeng Nurastuti Wijareni adalah putri bungsu atau anak kelima dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan GKR Hemas.

Dia termasuk 10 besar kontes Miss Indonesia 2009. Di bidang akademis, GKR Bendara merupakan peraih gelar sarjana perhotelan dari salah satu perguruan tinggi di Swiss.

Saat ini GKR Bendara berusia 36 tahun.

GKR Bendara, putri bungsu atau putri kelima Sri Sultan Hamengku Buwono X. (kratonjogja.id)

Dikutip dari kratonjogja.id, kelima putri Sri Sultan Hamengku Buwono X memiliki kesibukan di luar tembok keraton. GKR Bendara pun demikian.

Kesibukan itu tak mengurangi peran GKR Bendara sebagai istri dan ibu. GKR Bendara menikah dengan Achmad Ubaidillah (kini bergelar Kanjeng Pangeran Haryo Yudanegara) pada tahun 2011.

Di struktur keraton, GKR Bendara menjabat sebagai Penghageng Nityabudaya, divisi keraton yang berwenang atas museum dan kearsipan.

GKR Bendara mengaku bandel semasa kanak-kanak dan nilai rapornya pun berwarna-warni.

Menjadi anggota keluarga terkecil, ia suka mengadu kepada orangtua bila jadi korban keisengan kakak-kakaknya. Namun sebenarnya hubungan mereka sangat erat.

"(Sebagai anak bungsu) enaknya saya tidak perlu nyetir mobil, saya tidak perlu mengeluarkan ongkos makan karena saya punya kakak-kakak yang nraktir saya. Tidak enaknya, kebanyakan acara yang tidak diinginkan (oleh para kakak) jatuh ke saya, yang pintar basa-basi kata mereka," ujar GKR Bendara.

Di luar keraton, jabatan GKR Bendara cukup banyak, salah satunya adalah Wakil Ketua 3 KONI.

Ia juga mengurusi usaha kecil menengah di bawah BKKBN serta usaha menengah-besar di bawah ICSB.

Selain itu ia mengetuai Perhimpunan Pengusaha Taman Rekreasi Indonesia (Putri) dan duduk dalam Dewan Pertimbangan Tourism Board.

Pariwisata memang menarik hatinya. Setelah menamatkan pendidikan menengah atas di Singapura, ia memutuskan kuliah di jurusan International Hospitality and Tourism Management di IMI Switzerland.

Seperti mahasiswa lain, ia diwajibkan magang di dapur, restoran, dan hotel. Ia mengupas berkarung-karung kentang dan wortel.

Saat bekerja di hotel, ia harus bangun jam 4 pagi, lalu membersihkan kamar mandi hingga menyiapkan sarapan.

Namun, ia menikmatinya. "Saya bawa enjoy karena dengan begitu saya memiliki pengalaman. Saya sadar tidak mungkin ada orang yang mau memperkerjakan saya seperti itu di Indonesia dengan status saya," ujar GKR Bendara.

Ia mematahkan anggapan bahwa putri keraton ‘tinggal duduk manis’. "Sejak berusia 17 tahun saya sudah kerja," ujar GKR Bendara yang pernah bekerja paruh waktu di perusahaan retail di Singapura semasa sekolah di negara tersebut.

Kuliah pascasarjana ia ambil di Edinburgh, Skotlandia, dengan konsentrasi warisan budaya. Padahal, dulu GKR Bendara tak begitu menyukai pelajaran yang mengharuskan banyak membaca, termasuk sejarah.

"Saat S2, saya terjerumus di (jurusan) heritage tourism," katanya.

Tak pernah pula terlintas ia akan menyukai museum. "Mungkin karena sejarah ini berkaitan dengan saya, saya sangat berminat ke situ. Sekarang saya dituntut untuk membaca tentang sejarah saya, leluhur saya," katanya.

Ia menganggapnya sebagai kisah lucu dalam hidup. "Tidak terpikirkan, tapi ternyata terarah," kata GKR Bendara.

Tertempa Pengalaman

Pengalaman membuahkan kegigihan pada sosok ibu dua anak ini, seperti terlihat pada upayanya merevitalisasi museum keraton.

"Pasti lebih mudah membangun perusahaan dari nol daripada memajukan sesuatu yang sudah berjalan 30 tahun. Sangat susah mengubah cara orang bekerja dan mindset-nya," kata GKR Bendara.

Namun menurutnya yang terpenting adalah memberi contoh hingga mereka paham.

Sesuai keinginan Ngarsa Dalem, museum keraton diharapkan menjangkau kaum milenial dan pelajar sehingga mereka tertarik belajar sejarah.

"Saya mengimplementasikan teknologi di dalam museum," kata Gusti Bendara. Dia mengakui hal ini membutuhkan waktu karena harus mengubah kebiasaan lama.

Buah lainnya adalah keuletan dalam mengelola bisnis. Bidang wirausaha ia pilih secara sadar karena sebagai anggota keluarga keraton waktunya dituntut fleksibel untuk menghadiri upacara-upacara keraton.

Sama seperti pengusaha pada umumnya, Gusti Bendara mengawali bisnis dari nol, mulai dari berjualan batik dari pameran ke pameran.

Dia mengalami jatuh bangun dan beberapa usaha yang dibangunnya gagal. Namun, kini ia memetik sukses dari bisnis di bidang skincare, tempat wisata, dan merchandise.

Manajemen yang baik harus ia terapkan agar ia bisa membagi waktu antara keraton, keluarga, bisnis, dan organisasi.

Apalagi karena ia lebih banyak berada di Jakarta bersama suaminya yang bekerja sebagai ASN di kota tersebut.

"Ada beberapa usaha saya yang hanya saya pantau, saya plotkan orang kepercayaan saya di situ, saya memantau secara berkala," kata dia.

Bila ada sisa waktu, GKR Bendara lebih suka menghabiskannya di rumah, bermain bersama anak-anak. Ia mengaku lebih condong sebagai orang rumahan.

Hidup lekat dengan tradisi sejak belia, GKR Bendara tak serta merta menyadari keistimewaan yang dimilikinya. "Saya melihat itu sebagai acara keluarga biasa saja," kata dia.

Setelah sekolah di luar negeri, ia merindukan suasana khas itu, seperti upacara sungkeman dan pertunjukan tari.

"Saat kuliah saya benar-benar memahami kehidupan saya berbeda. Saya beruntung memiliki rumah yang dekat dengan kebudayaan jadi saya berusaha mengenalkannya pada anak-anak," kata GKR Bendara.

Keistimewaan selalu datang dengan konsekuensi. GKR Bendara mengakui ada ketidaknyamanan ketika orang-orang berekspetasi terlalu tinggi.

Ia seolah dituntut untuk selalu tampil sempurna dan terus menerus ramah.

GKR Bendara kadang dicegat warga yang minta foto bersama. GKR Bendara tak menolak meski sedang capek. Bila dia menolak, warga akan memberikan stempel sombong.

GKR Bendara berusaha memegang pesan Ngarsa Dalem, sayangilah orang yang sayang padamu dan cintailah musuhmu. "Gampang diucapkan, susah dijalankan, tapi harus dicoba," tuturnya.