TRIBUN TANGERANG.COM, JAKARTA- Kerasnya kehidupan taruna tingkat satu di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), Marunda, Cilincing, Jakarta Utara.
Kekerasan fisik di STIP Jakarta yang didapat setiap taruna setiap hari bahkan membuat mereka lupa rasanya dipukul atau disabet.
Kekerasan di i Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) diungkap oleh eks taruna, Arman,
Arman secara gamblang menceritakan bagaimana kekerasan secara fisik diterima para taruna khususnya tingkat pertama.
Arman (bukan nama sebenarnya) memutuskan untuk mengubur cita-citanya untuk menjadi nakhoda setelah delapan bulan mengemban pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), Marunda, Cilincing, Jakarta Utara.
Terlepas dari perpeloncoan yang disebut sudah turun-temurun, alasan utama Arman mengundurkan diri dari sekolah kedinasan tersebut karena dia difitnah salah satu kakak tingkatnya.
Baca juga: Sederet Kasus Kekerasan di STIP Jakarta Selama 10 Tahun Terakhir Hingga Kemenhub Bakal Lakukan Ini
Kendati demikian, Arman tetap berbagi kisah mengenai perpeloncoan yang pernah dia alami dari kakak tingkatnya, meski ini bukan menjadi faktor utama mengapa dia mengundurkan diri.
Perpeloncoan, kata Arman, sudah dia anggap sebagai hal yang biasa karena saking seringnya mendapatkan kekerasan sebagai taruna tingkat satu.
Student dormitory
Arman berujar, setiap taruna atau taruni wajib menginap di student dormitory atau asrama yang dikelola STIP yang lokasinya masih satu kawasan dengan sekolah pelayaran tersebut.
Dalam satu kamar setidaknya terdapat empat orang yang terdiri dari tiga taruna tingkat satu dan satu taruna tingkat empat. Namun, kondisi tersebut tergantung dengan luas kamar, terkadang ada yang dihuni dua taruna tingkat empat dan tiga taruna tingkat satu.
Baca juga: Pengakuan Tegar Rafi Sanjaya Usai Pukuli Putu Satria di STIP Jakarta: Panik Tahu Korban Pingsan
Kata Arman, ini memang peraturan STIP yang menempatkan taruna seperti itu. Selama Arman mengemban pendidikan di STIP, dia mengaku tidak pernah melihat taruna/i tingkat tiga. Sebab, seluruh taruna/i tengah tingkat tiga sedang menjalani program magang. Oleh karena itu, hanya ada taruna/i tingkat satu, dua, dan empat di STIP.
Siapkan seragam senior
Setiap hari, taruna tingkat satu diwajibkan bangun pukul 04.00 WIB untuk berolahraga di lapangan bintang, tempat yang dianggap sakral bagi seluruh taruna/i STIP.
"Kalau untuk lari jam 04.00 WIB, itu hanya untuk tingkat satu saja dan itu memang peraturan dari sekolah. Mungkin dilatih untuk bangun pagi, terus senam," ucap Arman saat berbincang dengan Kompas.com, Selasa (7/5/2024).
Setelah berolahraga, taruna tingkat satu kembali ke kamar masing-masing untuk shalat subuh, mandi, dan rapi-rapi sebelum melaksanakan apel pukul 06.30 WIB. Saat momen ini, taruna tingkat satu juga harus menyiapkan seragam taruna tingkat empat yang satu kamar dengan mereka.
Baca juga: Ketua STIP Jakarta Bantah Ada Perpeloncoan hingga Mahasiswanya Tewas: Dihapus Sejak Saya Menjabat!
"Ini peraturan tidak tertulis, tapi turun-temurun. Istilahnya, kami (taruna satu) nge-brasso. Kan di seragam ada logam, itu harus mengilap. Kami juga harus menyiapkan baju, dasi, dan lain-lain. Itu setiap hari," kata dia.
"Ya habis itu, apel, sarapan, masuk kelas, pelajaran normal. Nanti, sekitar jam 09.00 WIB atau 10.00 WIB, ada kayak semacam break. Kita ke gedung Wisraba, lalu balik lagi ke kelas, dan belajar," lanjutnya.
Lari setiap saat
Arman berujar, setiap taruna tingkat satu juga harus terlihat sigap dan cekatan ketika melaksanakan suatu hal. Karena itu taruna tingkat satu diwajibkan untuk berlari setiap saat. Kalau senior melihat taruna tingkat satu tidak berlari, mereka akan menegurnya sambil berteriak.
"Tingkat satu, di sana, intinya wajib lari, enggak boleh jalan, ke mana-mana lari, tingkat satu enggak boleh jalan. Kami berhenti jalan itu saat mandi, tidur, makan. Jadi, setiap hari harus lari. Kalau pun sedang bawa galon, itu harus lari,” ungkap dia. "Ya pokoknya kalau sudah di dalam dormi kita, it's ok, taruna satu, jalan pun ya enggak apa-apa.
Kan taruna satu juga masih kenal dengan kakak tingkat yang satu kamar. Kita juga sering ngobrol juga kalau malam," lanjutnya.
Harus hafal nama senior
Dalam satu hari setiap taruna/i mendapatkan jatah makan tiga kali, yang berlangsung secara bersama-sama, yakni pagi, siang, dan malam. Arman menjelaskan, untuk satu meja makan terdapat delapan kursi yang terdiri dari dua taruna tingkat empat, dua taruna tingkat dua, dan empat taruna tingkat satu.
Baca juga: Kehidupan Senioritas di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Jakarta Kembali Renggut Nyawa Taruna
"Itu memang sudah peraturan sekolah untuk duduk seperti itu. Jadi, di dinding itu sudah ada nama-nama, misal saya di meja nomor berapa, gitu," kata Arman.
Sebelum kegiatan makan bersama dimulai, biasanya senior memanfaatkan momen ini untuk bertindak seenaknya terhadap taruna tingkat satu yang satu meja dengannya.
"Tingkat satu harus tahu nama senior yang satu meja dengan dia. Tapi, senior terkadang sengaja copot name tag. Nanti ditanya, 'lu tahu enggak nama gue siapa?'" ujar dia.
"Kalau enggak tahu, di bawah meja makan kan enggak kelihatan. Nah, ujung sepatu pantofel kan keras, itu tulang kering ditendang. 'Kok lu enggak tahu nama gue?'" tambah Arman.
Namun, saat taruna tingkat satu sudah menghafal nama-nama, kakak tingkat tidak kehilangan akal untuk memelonco, salah satu caranya adalah pindah meja.
"Itu diam-diam. Mungkin tingkat empat ini mau ngerjain kan, terus (salah satu taruna tingkat satu) disuruh pindah ke kursi. Nah, saat duduk, kan saya juga enggak tahu nama-nama, ya ditanya lagi," ucap Arman.
Tradisi habiskan makanan Arman berujar, setiap meja makan pasti mendapatkan satu termos nasi beserta sayur dan lauknya. Hanya saja, taruna tingkat satu harus mendahulukan kakak tingkatnya untuk mengambil nasi, lauk, dan sayur.
"Kakak tingkat sudah, kan sisa berempat. Nah, kalau nasi masih full, ya kami harus menghabiskan itu. Jadi, tingkat empat dan dua mau ambil setengah centong atau berapa, itu harus habis," kata Arman.
"Nah, yang paling menderita, kita itu makan juga ada waktunya, paling lama, 20 menit, harus habis," tambah Arman. Dalam satu momen, Arman bersama tiga temannya pernah mendapatkan nasi yang katanya seperti gunung, berikut dengan satu telur, satu gorengan, dan sayur capcai tanpa kuah.
"Kalau kedapatan yang terakhir, kan capcai kuahnya habis. Siasatnya kita saat lonceng sudah berbunyi, mencampurkan nasi dengan satu gelas air putih, biar ada kuahnya, biar cepat. Nah, selama satu hari, tiga kali makan, ya kayak gitu semua," ungkap Arman.
Keisengan kakak tingkat Perpeloncoan sewaktu Arman masih berstatus taruna STIP seolah tidak ada habisnya dan dia meyakini masih berlanjut hingga sekarang.
Terkadang, ada kondisi di mana taruna tingkat satu mendapatkan jam kosong karena pengajar berhalangan hadir. Kondisi ini dimanfaatkan oleh taruna tingkat dua untuk memelonco adik tingkatnya.
"Kalau kakak tingkat dua yang enak, ya enak, kita diajak ngobrol. Kalau enggak enak, ya ada kayak semacam gitu (perpeloncoan)," kata Arman.
Setiap kelas dan sudut ruangan STIP disebut terpasang kamera CCTV. Namun, para taruna tingkat dua ini memanfaatkan "blind spot" CCTV untuk memelonco adik tingkatnya.
"Jadi, liciknya, mereka pukul tingkat satu dengan mepepet ke pintu. Itu titik buat CCTV. Satu asrama itu ada CCTV, mereka sudah tahu blind spot CCTV," ucap Arman.
Kegiatan malam bikin mati rasa Selepas menunaikan shalat Isya atau sekira pukul 20.00 WIB, taruna tingkat satu wajib berbaris berhadap-hadapan di depan kamar masing-masing.
Lagi-lagi, ini untuk menghadapi perpeloncoan oleh senior mereka. "Ya kadang disuruh push up berantai dulu, jalan jongkok. Nah, itu bisa sampai jam 10.30 WIB atau 23.00 WIB. Itu setiap malam. Yang (perpeloncoan) itu tingkat empat yang satu dormi dengan kami," ujar Arman.
Terkadang, mereka juga disebut melakukan kekerasan fisik. Kata Arman, istilahnya adalah mengetes daya tahan tubuh para taruna tingkat satu.
"Dipukul perut, dipukul pipinya. Saya lupa satu lagi apa. Dan bagi mereka, itu hal yang biasa. Kayak, taruna itu harus siap dipukul perutnya, pipinya, kapan pun,” imbuh Arman.
Suatu ketika, saat tengah berbaris, Arman mengaku pernah mendapatkan sabetan dari benda yang dia tidak ingin disebutkan namanya.
Saat pertama kali mendapatkan sabetan itu, Arman mengaku kesakitan dan perih sekali. Namun, karena hampir setiap malam biasa menerima sabetan itu, Arman mengaku sempat mati rasa.
“Sampai saya merasa mati rasa, ya sudah, 'oh gini doang'. Terus, saya dijadikan contoh. Misal, yang lain masih kesakitan, terus, 'contohkan bagaimana enggak sakit'. Ya sudah, diam saja disabet. Karena sudah saking biasanya ya," pungkas Arman.
Dapatkan Informasi lain dari Tribuntangerang.com via saluran Whatsapp di sini
Baca berita TribunTangerang.com lainnya di Google News
Artikel ini telah tayang di Kompas.com