TRIBUNTANGERANG.COM, JAKARTA - Tribun Network mendapatkan kesempatan mewawancarai secara eksklusif mantan pendiri Jamaah Islamiyah (JI) Abu Rusydan dan mantan Pimpinan JI periode (2008-2019) Para Wijayanto di Jakarta, Senin (16/9/2024) siang.
Ketika Tribun Network masuk ke dalam ruangan, kedua tokoh tersebut tengah makan siang bersama sejumlah Anggota Densus 88 Antiteror Polri berpakaian sipil.
Tidak ada borgol yang melingkar di kedua pergelangan tangan keduanya. Sambil menyantap nasi kotak, mereka tampak berbincang.
Setelah keduanya selesai menyantap makan siang, barulah wawancara dimulai.
Abu Rusydan mengawali kisah dengan bercerita tentang awal mula organisasi tersebut didirikan hingga kemudian terlibat dalam berbagai peristiwa aksi teror para anggotanya di Indonesia yang menelan korban jiwa.
Sebut saja Bom Malam Natal (2000) Bom Bali I (2002), Bom Bali II (2005), Bom Hotel JW Marriot (2003), Bom Kedutaan Australia (2004), Bom Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton (2009), hingga mutilasi tiga siswi SMA di Poso (2005) dan berbagai aksi teror lain yang diidentikan dengan kelompok tersebut.
Abu Rusydan menjelaskan JI didirikan pada 1 Januari 1993 di Malaysia. 11 orang pendirinya adalah Abdullah Sungkar, Adeng Zakariya, Afif Abdul Majid, Abu Chusna, Yusuf Irianto, Slamet Zainuri, Muchlas, Muzazin Mustaqim, Saad, Ade Bukhori, termasuk dirinya sendiri.
Dia kemudian menceritakan terkait peristiwa pembubaran JI di Sentul, 30 Juni 2024 lalu.
Saat itu, ia membacakan deklarasi pembubaran JI dan kembali ke pangkuan NKRI karena merupakan satu-satunya pendiri yang hadir saat itu.
Setelah itu ia mengonfirmasi kepada para pendiri lain yang masih hidup.
Para pendiri yang JI masih hidup ada yang setuju terhadap pembubaran itu namun ada juga yang tidak berkomentar.
"Ustaz Abu Chusna setuju. Ustaz Adung 'no comment'. Yang lain, di samping sudah wafat seperti Ustaz Muchlas, Ustaz Slamet Zainuri, dan beberapa Pak Saad, dan yang lain-lain, yang lain pasif," kata Abu Rusydan.
Alasan pembubaran JI
Ia kemudian menjelaskan deklarasi pembubaran organisasi terlarang itu adalah suatu kewajiban dan keharusan.
Pasalnya organisasi tersebut pada praktiknya tidak menjalankan tujuan utama organisasi.
Tujuan didirikannya JI, kata Abu Rusydan, adalah menyebarkan kebaikan di dalam lapangan kehidupan tanpa pengecualian (termasuk di dalam perang), dengan tulus hati dan contoh nyata.
"Tetapi di dalam praktiknya, bukan menyebarkan maslahah (kebaikan). Anda lihat sendiri. Kalau saya tanya kepada Anda, apa kesan Anda tentang JI? Apa yang anda ketahui tentang JI? Kan Anda akan menjawab bom Bali I, Bom Bali II, Bom Marriot, mutilasi siswi SMK di Poso. Kan begitu. Semuanya tidak maslahah (baik). Malah membawa kerusakan," ujarnya.
Atas tindakan-tindakan tersebut, ia sebagai salah satu pendiri JI meminta maaf.
Permintaan maaf tersebut ditujukannya kepada negara dan masyarakat.
"Maka sekali lagi, saya sebagai pendiri Al Jamaah Islamiyah meminta maaf sebesar-besarnya kepada negara maupun kepada publik. Ini penting. Negara karena disibukkan dengan masalah ini, masalah kami, teror-teror yang kami lakukan," kata dia.
"Publik juga dilukai dengan banyak amaliyat atau operasi yang kami lakukan. Walaupun kerugian-kerugian yang ada di publik sebagian sudah dihandle atau ditangani pemerintah oleh negara," sambung Abu Rusydan.
Ia juga berterima kasih kepada negara karena telah memberikan restitusi kepada korban-korban aksi teror JI selama ini.
Meski demikian, ia tetap meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat atas aksi-aksi teror yang pernah dilakukan organisasi yang didirikannya itu.
"Tetapi fungsi kehormatan publik kami minta maaf sebesar-besarnya kepada publik supaya memaafkan kami dalam tingkah laku yang selama ini kami lakukan. Ini persoalan mendasar dan sangat penting," kata dia.
"Oleh karena itu dengan alasan itu, dengan alasan bahwa kami tidak mampu untuk menyebarkan maslahah, maka pembubaran JI adalah sesuatu yang mesti, kewajiban, harus. Sesuatu yang masuk akal. Sesuatu yang tidak boleh tidak, harus dilakukan," sambung dia.
Ia menjelaskan sebenarnya kesadaran dalam bentuk pemikiran dan sikap untuk membubarkan JI sudah ada sejak awal dibentuknya organisasi tersebut.
Akan tetapi, pemikiran dan sikap tersebut baru diwujudkan 30 Juni 2024 lalu karena memanfaatkan momentum.
"Maka sekali lagi, kesadaran untuk pembubaran untuk Al Jamaah Islamiyah itu sudah ada sejak awal, bukan baru 30 Juni 2024 atau sebelum itu. Atau dua tahun, tiga tahun sebelum itu. 20 tahun atau 30 tahun sebelum itu mungkin. Pemikiran untuk itu ada. Pemikiran dan sikap. Tetapi tindakan belum kami lakukan," kata dia.
"Tindakan itu memanfaatkan momentum. Momentumnya memungkinkan kami untuk memberikan semacam pernyataan bahwa Al Jamaah Islamiyah resmi dibubarkan tanggal 30 Juni 2024 dan kami kembali ke pangkuan NKRI," sambung dia.
Ia mengakui JI pernah melawan NKRI dan menganggap NKRI adalah taghut.
Taghut, kata dia, adalah bersikap memusuhi Islam dan ingin melenyapkan Islam dari bumi Indonesia.
Akan tetapi, setelah ia mengkaji hal tersebut justru menurutnya belum pernah ada satu pun fatwa secara syariat Islam bahwa NKRI adalah taghut dan wajib dimusuhi secara personal dan kekuatan bersenjata.
"Saya 25 tahun menghabiskan waktu bersama para petinggi. Petinggi NII. Belum pernah ada fatwa itu. Jadi perlawanan terhadap NKRI itu warisan daripada zaman dulu, zaman dulu kepada Soekarno. Diwariskan tanpa ucapan sepatah kata pun. Ini penting untuk kami renungkan," kata dia.
"Kemudian saya hampir 40 tahun menghabiskan waktu di Al Jamaah Islamiyah, belum pernah ada satu pun fatwa syar'i yang menyatakan NKRI itu taghut dan harus dimusuhi dengan personal dan kekuatan bersenjata. Belum ada. Kalau Anda pernah menemukan, tunjukkan kepada saya. Saya belum pernah menemukan itu," sambung dia.
Permohonan maaf
Senada dengan Abu Rusydan, Para Wijayanto yang duduk di sebelahnya juga meminta maaf.
Ia menjelaskan selama perjalanannya di internal JI juga telah muncul pemikiran-pemikiran bahwa apa yang mereka lakukan selama ini salah.
Hal tersebut di antaranya karena di sebagian anggota JI kesulitan dan kebingungan mencari legitimasi secara syariat Islam atas aksi teror yang dilakukan selama ini.
Mereka disebut Wijayanto tak mampu menjawab alasan syariat Islam mana yang membenarkan aksi-aksi teror yang dilakukan oleh anggotanya selama ini.
"Dari mulai WTC (bom World Trade Center tahun 2001 di mana anggota JI, Hambali diduga terlibat) itu ada bantahannya. Kemudian Bom Bali juga ada pembahasannya. Masalah radikalisme juga ada bantahannya. Apalagi masalah kekerasan tadi, betul-betul kami enggak bisa menjawab terkait dengan Syar'inya (syariat)," kata dia.
"Artinya itu adalah sesuatu bentuk yang kami anggap keliru, atau kami anggap sesuatu yang batil. Batil itu artinya dalam satu tafsir disebutkan definisinya batil ini adalah satu perbuatan yang pelakunya itu dicela," sambung dia.
Ia pun mengakui aksi-aksi teror yang selama ini dilakukan anggota JI salah.
Untuk itu, ia meminta maaf kepada para korban aksi teror JI selama ini.
"Justru karena proses penyadaran itu muncul, evaluasi itu muncul, ya kami mengakui itu salah. Karena salah ya kami minta maaf. Kami minta maaf kepada para korban. Baik korban jiwa maupun korban harta. Artinya dengan tulus hati kami minta maaf atas nama organisasi Al Jamaah Islamiyah," kata dia.
Ia pun mengakui seharusnya mereka yang bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada korban.
Namun, lanjut Wijayanto, selama ini justru pemerintah yang memberikan restitusi kepada para korban.
"Kami juga sangat berterima kasih kepada pemerintah Indonesia. Tapi kami mengakui ternyata (perbuatan anggota JI) itu salah. Artinya ketika itu salah, berarti harus ada proses perubahan," kata dia.
Untuk diketahui, Abu Rusydan ditangkap tim Densus 88 Antiteror Polri bersama tiga terduga teroris jaringan JI, Jumat (10/9/2021) di daerah Bekasi, Jawa Barat.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com
Dapatkan Informasi lain dari TribunTangerang.com via saluran WhatsApp
Baca berita TribunTangerang.com lainnya di Google News ya