TRIBUN TANGERANG.COM, DENPASAR- Kisah pilu datang dari Febriani (27) penumpang KMP Tunu Pratama Jaya yang tenggelam di Selat Bali pada Rabu (2/7/2025) malam.
Febriani harus kehilangan istrinya, Cahyani yang baru dinikahinya dua pekan lalu akibat insiden tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya.
Rencana hidup bersama sembari bekerja di Denpasar kini tinggal harapan.
Cahyani meninggal saat keduanya melompat ke laut untuk menyelamatkan diri.
Cahyani yang tidak bisa berenang terpisah dari suami saat pelukannya terlepas.
Korban pun ditemukan meninggal dunia oleh warga dan petugas.
Pasangan muda ini baru saja menikah di Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, tanggal 20 Juni 2025.
Pasangan baru tersebut sebelum kejadian menumpang KMP Tunu Pratama Jaya dari Pelabuhan Ketapang, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur hendak menuju Pelabuhan Gilimanuk, Kabupaten Jembrana, Bali.
Keduanya hendak kembali merantau ke Denpasar untuk bekerja.
Setelah 12 hari menikah, Febriani memutuskan kembali merantau ke Denpasar untuk bekerja.
Jejak sang suami pun diikuti istrinya, hingga keduanya memesan travel untuk mengantar perjalanan.
“Kami berangkat pukul 22.00 Wita, sampai Pelabuhan Ketapang sekitar pukul 22.30 Wita, dan langsung naik kapal,” kata Febriani saat ditemui di Posko ASDP Gilimanuk, Kabupaten Jembrana, Kamis (3/7/2025).
Ia tak menyangka perjalanan menyeberang Selat Bali tersebut menjadi perpisahan dirinya dengan sang istri.
“Kejadiannya begitu cepat. Tidak ada yang mengira kapal KMP Tunu Pratama Jaya akan tenggelam,” ujarnya.
Sebagai orang yang sering melakoni perjalanan Jawa-Bali, Febriani merasa olengnya kapal yang ia rasakan saat itu adalah hal biasa.
Menurutnya itu karena pengaruh gelombang air laut.
Namun lama kelamaan, hal yang dianggap biasa menjadi perasaan cemas.
Bagian depan kapal terlihat miring ke kiri.
Apalagi ditambah beban yang berat di sisi depan, kapal pun mulai oleng kurang dari tiga menit.
Semua orang sontak berhamburan berupaya menyelamatkan diri.
Mirisnya saat itu tidak ada informasi dari pihak kapal maupun alarm bahaya.
“Kami semua menyelamatkan diri sendiri, ambil pelampung sendiri,” ungkapnya.
Kondisi kapal saat itu semakin miring.
Lampu dan mesin kapal juga telah mati.
Febriani meminta Cahyani untuk memeluk tubuhnya, karena ia tak bisa berenang. Kemudian keduanya memutuskan melompat ke laut.
Namun sayangnya di saat bersamaan kapal yang terjatuh mengakibatkan gelombang kuat.
“Pada saat itulah pelukan istri saya terlepas,” katanya.
Febriani yang baru sadar saat muncul ke permukaan, berusaha mencari sang istri.
Pandangannya menyapu sekitar, sembari berteriak memanggil nama sang istri.
Sayangnya setelah sekian lama, panggilannya tak kunjung mendapat jawaban dari sang istri.
Marah, kesal, kecewa, hingga putus asa berkecamuk dalam diri Febriani. Terlebih saat itu kondisi sekitar gelap.
Ia akhirnya memutuskan untuk menaiki kapal karet, bergabung dengan 11 penumpang lainnya yang selamat.
“Saya akhirnya dibantu orang-orang naik ke kapal karet. Saat itu masih coba memanggil istri saya. Tetapi tetap tidak ada jawaban. Di situlah saya putus asa, tetapi masih berusaha berpikir positif, mungkin istri saya di perahu karet lain,” ujarnya.
Sebanyak 12 orang terombang-ambing di kapal karet semalaman.
Hingga pukul 07.00 wita, terlihat kapal nelayan.
Seluruh orang berusaha teriak memanggil kapal itu.
Namun, karena ukurannya yang kecil, terpaksa hanya setengah yang bisa diangkut.
Sedangkan sisanya dijemput setelah nelayan itu memberi informasi pada rekannya.
Setibanya di darat, Febriani segera dibawa ke Posko ASDP Gilimanuk pukul 9.30 wita.
Di tempat inilah ia menerima kabar bahwa Cahyani telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia.
Febriani juga diberi kesempatan untuk melihat wajah istrinya.
Ketika kantong jenazah dibuka, tangis Febriani langsung pecah, dan segera ditenangkan oleh kerabatnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com
Dapatkan Informasi lain dari Tribuntangerang.com via saluran Whatsapp di sini
Baca berita TribunTangerang.com lainnya di Google News