Laporan Wartawan
TribunTangerang.com, Ikhwana Mutuah Mico
TRIBUNTANGERANG.COM, CIPUTAT- Di bawah langit Ciputat, Kota Tangerang Selatan mulai diselimuti semangat kemerdekaan. Seorang pria paruh baya duduk di depan ruko-ruko Jalan Ki Hajar Dewantara.
Di sampingnya, bendera-bendera Merah Putih berkibar pelan ditiup angin sore.
Sudarno (54) pedagang bendera, duduk bersahaja di depan deretan ruko. Di antara tiang-tiang bambu tempat bendera Merah Putih berkibar, ia menanti pembeli dengan sabar.
Biasanya, ia bekerja sebagai kuli bangunan, namun di bulan Agustus ini, ia mencoba peruntungan dengan menjual bendera simbol kebanggaan negeri yang ia cintai.
Pria asal Cirebon di Provinis Jawa Barat ini datang ke Tangsel untuk berjualan bendera secara musiman, menyambut semarak Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
"Saya dari Cirebon. Di sini cuma jualan bendera. Habis itu balik lagi ke kampung," ujar Sudarno, Ciputat, Tangsel, Senin (11/8/2025).
Setiap bulan Agustus, ia meninggalkan kampung demi satu tujuan sederhana, yaitu menjajakan bendera Merah Putih di kota besar.
Aktivitas ini sudah menjadi rutinitas tahunan baginya.
"Saya punya tempat susah buat jualan bendera di kampung. Jadi minta izin sama yang punya tempat di sini, titiknya di depan ruko ini," ungkapnya.
Untuk mendukung aktivitasnya selama hampir tiga pekan, Sudarno menyewa kontrakan kecil di dekat tempatnya berjualan.
Meski hanya berjualan selama sekitar 17 hingga 20 hari, ia harus membayar biaya sewa penuh.
"Sebulan Rp800 ribu, di sini 17 sampai 20 hari," katanya sambil tersenyum kecil.
Sudah 15 tahun ia menjual bendera setiap menjelang Hari Kemerdekaan. Namun tahun ini, Sudarno mengakui bahwa situasinya jauh berbeda.
“Tahun ini sepi banget. Penurunannya bisa sampai 50 persen dibanding tahun kemarin,” ujar Sudarno.
Harga bahan bendera terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Sudarno menjelaskan bahwa biaya produksi bisa naik drastis tergantung harga kain di pasaran.
“Misalnya tahun lalu kain harganya seratus ribu, tahun ini bisa jadi seratus dua puluh ribu. Tapi kadang naiknya cuma lima ribu. Dulu saya jual bendera ukuran sedang seharga 40 ribu, sekarang jadi 45 ribu,” jelasnya.
Sayangnya, meski harga jual naik, jumlah pembeli justru menurun. Pendapatannya pun merosot tajam.
“Tahun lalu modal saya 8 juta, sekarang belum balik 2 juta. Untung pun belum tentu dapat, kadang cuma cukup buat makan,” tuturnya pasrah.
Sudarno mulai berjualan tahun ini sejak 1 Agustus. Namun hingga pertengahan bulan, total penghasilan yang masuk belum menyentuh angka dua juta rupiah.
Meski kondisi saat ini sulit, ia masih mengingat masa-masa penjualan sedang berjaya.
“Paling ramai itu lima tahun lalu, tahun 2020. Pas pabrik bendera plastik kebakaran, jadi stok di pasar menipis. Barang mahal, tapi tetap laku. Sekarang barang ada, pembeli nggak ada,” katanya.
Ia menyadari bahwa tren penjualan kini mulai bergeser ke platform digital. Tapi dirinya mengaku belum terbiasa dengan sistem jualan online.
“Saya belum bisa online, lagian ini jualan musiman saja, bukan pekerjaan utama,” ujarnya.
Meski begitu, Sudarno tidak mengeluh. Bagi dia, semangat kemerdekaan tetap bisa dirasakan meski dengan hasil yang sederhana.
“Yang penting kita nikmati saja. Alhamdulillah masih bisa jualan, masih bisa makan,” ucapnya dengan senyum kecil yang dibagikan.
Adapun, ukuran bendera yang dijualnya mulai dari 180 cm, 150 cm, 120 cm, 90 cm, 75 cm, hingga yang paling kecil berukuran 20 cm.
Selain itu, Sudarno juga menyediakan berbagai macam aksesoris pelengkap perayaan kemerdekaan.
“Dari dulu saya juga jual aksesoris. Ada stiker, umbul-umbul, background juga,” jelasnya.
Untuk umbul-umbul dan background, tersedia dalam ukuran 5 meter dan 10 meter. Ia juga menjual tiang kayu dan perlengkapan lain seperti karet untuk mengikat bendera, menjadikan lapaknya sebagai tempat belanja satu pintu bagi warga yang ingin memeriahkan Agustusan.
Dibalik deretan barang dagangan yang tampak lengkap itu, ia menyimpan harapan sederhana, yaitu bisa pulang membawa rezeki untuk anak dan istri di rumah.
“Sekarang sih yang paling banyak dicari itu bendera Merah Putih dan umbul-umbul. Kalau aksesoris, biasanya baru ramai mendekati tanggal 15 atau 16 Agustus,” jelas Sudarno.
Soal pembeli, ia mengaku jarang mengalami tawar-menawar ekstrem.
“Kalau nawar rendah banget sih enggak. Kadang ada yang minta potongan lima ribu karena beli banyak. Saya kasih,” ujarnya santai.
Meski terlihat sederhana, tiap helai bendera yang terjual hanya menyisakan keuntungan tipis.
“Kalau saya jual harga 40 ribu, saya cuma untung sekitar 7 sampai 8 ribu,” kata Sudarno.
Namun ia tak bisa menaikkan harga sembarangan.
“Kalau saya jual mahal, takutnya orang cuma nanya doang, nggak jadi beli. Jadi saya ambil harga tengah-tengah aja, yang penting laku,” lanjutnya.
Kadang, ada juga pembeli yang datang membeli dalam jumlah besar. Sudarno menyebutkan, jika ada yang membeli dua kodi atau lebih, ia memberikan harga grosir, meski keuntungannya jadi lebih kecil dibanding penjualan eceran.
“Tapi kan kalau jual satuan juga lama, kalau grosiran walau untungnya kecil, perputarannya cepat,” jelasnya.
Ketika ditanya soal harapannya sebagai pedagang musiman di tahun ini, Sudarno tidak muluk-muluk.
“Yang penting penjualan lancar. Anak istri kan nunggu di rumah, seneng kalau suami pulang bawa rezeki,” tutupnya penuh harapan. (m30)
Dapatkan Informasi lain dari Tribuntangerang.com via saluran Whatsapp di sini
Baca berita TribunTangerang.com lainnya di Google News