Kondisi Perkebunan Anggrek yang Tersisa di Tangsel yang Tak Lagi Harum di "Kotanya"

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KEBUN ANGREK - Perkebunan Anggrek di kawasan Pamulang, Kota Tangerang Selatan, (TribunTangerang.com - Wartakota Network/Ikhwana Mutuah Mico).

Laporan Wartawan 
TribunTangerang.com, Ikhwana Mutuah Mico

TRIBUNTANGERANG.COM, PAMULANG - Tak banyak yang tahu bahwa Kota Tangerang Selatan, yang kini dipenuhi gedung, rumah, hingga kos-kosan, dulunya adalah pusat budidaya anggrek terbesar di Indonesia.

Tangsel yang sempat memiliki julukan sebai “Kota Anggrek” perlahan mulai memudar seiring perkembangan zaman.

Menurut salah satu pemilik kebun anggrek di kawasan Pamulang, bernama Usnadi, sejarah anggrek di Tangsel berawal sekitar tahun 1975–1980an. 

Saat itu, wilayah yang kini menjadi pusat permukiman seperti BSD, Buaran, dan Pondok Ranji, merupakan hamparan kebun anggrek. 

Jenis anggrek yang dibudidayakan pun beragam, mulai dari anggrek tanah hingga anggrek bulan, yang kala itu dikirim dari berbagai daerah seperti Karawang.

"Kalau dulu dari Pondok Ranji ke sini (Pamulang), itu sudah penuh dengan kebun anggrek. Bahkan hampir 80 persen penduduk hidup dari anggrek," kata Usnadi kepada TribunTangerang.com, Pamulang, Tangsel, Sabtu (9/8/2025). 

Karena itulah, dibeberapa titik di wilayah Tangsel dinamai khusus, seperti Gang Anggrek, yang dulu dikenal sebagai titik awal pusat perdagangan dan pembibitan anggrek di Tangsel. 

“Dulu orang kalau sebut Tangsel ya langsung ingat anggrek,” kenangnya.

Namun kini, kejayaan itu tinggal kenangan. Seiring melonjaknya harga tanah, lahan-lahan pertanian mulai berganti rupa menjadi kontrakan dan rumah-rumah kecil. 

Dari ratusan petani anggrek, kini hanya tersisa puluhan orang yang masih bertahan di Tangsel.

Tak hanya masalah lahan, tantangan lainnya datang dari harga pupuk yang mahal, minimnya dukungan pemerintah, dan persaingan dari jenis bunga lain seperti aster yang lebih diminati pasar. 

Bahkan, menurutnya, jika dulu bertani anggrek bisa menjadi sumber penghasilan utama, kini banyak petani anggrek justru beralih ke bisnis properti karena dianggap lebih menguntungkan.

“Kondisinya sudah berat. Kalau punya uang Rp1 miliar dan ditanam anggrek, penghasilannya mungkin Rp10 juta. Tapi kalau bikin kontrakan, bisa Rp20 juta tanpa kerja,” tuturnya.

Meski demikian, ia mencoba bertahan dengan menjual anggrek secara online ke seluruh Indonesia. 

Ia bahkan membuat YouTube channel khusus untuk edukasi penanaman dan perawatan anggrek, demi menjangkau pasar yang lebih luas.

Usnadi sendiri sudah berkecimpung di dunia anggrek sejak kecil, ia sudah terbiasa membantu orang tua yang juga petani anggrek, dan bahkan kakeknya pun telah lebih dahulu menanam anggrek di tanah ini. 

“Jadi bisa dibilang usaha ini turun-temurun,” ungkapnya.

Pada kesempatan ini, Usnadi menjelaskan hal yang membuatnya tetap bertahan, yaitu kemampuan beradaptasi. 

Ketika pandemi Covid-19 melanda dan penjualan anggrek nyaris berhenti, ia memutuskan untuk belajar teknologi secara mandiri dan mulai menjual anggrek secara online.

"Waktu Covid, anggrek nggak laku dan nggak bisa keluar. Saya coba belajar sendiri pakai HP, akhirnya bisa jual online,” tuturnya. 

Berkat penjualan online itu pula, ia kini bisa mengirim anggrek ke berbagai penjuru Indonesia. 

Meski sempat mengalami masa kejayaan, kini ia mengakui penjualan sudah menurun drastis. 

Dulu, dalam seminggu ia bisa menjual hingga 500 iket anggrek, masing-masing berisi 100 tangkai.

“Sekarang nggak tentu. Saya juga udah nggak terlalu ambisius jualan,” ujarnya menjelaskan.

Penghasilannya pun merosot tajam. Sebelum pandemi, hasil panen bisa memenuhi satu mobil penuh, tapi kini permintaan tak sebesar dulu.

Masalah pun datang dari berbagai sisi, mulai dari harga pupuk mahal, stok sulit didapat, lahan sempit, hingga persaingan dengan bunga lain seperti aster yang lebih populer di pasar.

Harapan untuk masa depan usaha anggrek di Tangsel tampak redup dimatanya.

“Kalau punya uang Rp1 miliar ditanam di anggrek, mungkin hasilnya cuma Rp10 juta per bulan. Tapi kalau dibikin kontrakan, bisa Rp20 juta tanpa kerja,” jelasnya blak-blakan.

Meski begitu, ia tetap berusaha mempertahankan usaha warisan keluarganya ini. 

"Kalau masih bisa, ya saya teruskan sebisanya,” ujarnya. (m30)

Dapatkan Informasi lain dari Tribuntangerang.com via saluran Whatsapp di sini

Baca berita TribunTangerang.com lainnya di Google News