KPK Ungkap Satu dari Lima Orang Mengaku Ada Nepotisme Saat Direkrut Jadi Pegawai Negeri

Nepotisme dalam jual beli jabatan saat penerimaan pegawai negeri masih terjadi di Indonesia.

Editor: Yaspen Martinus
Tribunnews/Herudin
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, satu dari lima pegawai negeri mengaku ada tindakan nepotisme saat proses rekrutmen terjadi. 

TRIBUNTANGERANG, JAKARTA - Nepotisme dalam jual beli jabatan saat penerimaan pegawai negeri masih terjadi di Indonesia.

Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), satu dari lima pegawai negeri mengaku ada tindakan nepotisme saat proses rekrutmen terjadi.

"Satu dari lima pegawai menyatakan bahwa terdapat nepotisme dalam penerimaan pegawai."

Baca juga: Jadwal Pemilu 2024 Belum Ditetapkan, Pengamat: Pertempuran Antara PDIP dengan Jokowi

"Ini menjadi hal-hal yang perlu menjadi perhatian," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Jumat (15/10/2021).

Alex mengatakan, data itu diketahui dari survei penilaian integritas (SPI) KPK pada 2019.

KPK juga menemukan banyak tindakan suap dalam proses naik jabatan di instansi pemerintahan.

Baca juga: Bali Dibuka Lagi untuk Turis Asing, Satgas Covid-19 Bakal Lakukan Evaluasi Tiap Minggu

"Menyangkut jual beli jabatan, dan ini terkonfirmasi sekalian dari hasil survei SPI tahun 2019."

"Yang menunjukkan 63 persen instansi itu faktanya ada suap dalam pengisian jabatan," terang Alex.

Alex menyebut hal ini menjadi masalah bersama.

Baca juga: Airlangga Hartarto Makin Populer, Golkar Optimistis Tatap Pilpres 2024, Apalagi Tak Ada Petahana

Pimpinan kantor pegawai negeri di Indonesia diminta mengetatkan pengawasan dalam proses rekrutmen maupun pengisian jabatan kosong.

"Hal-hal ini yang perlu mendapat perhatian, apakah dalam praktik sehari-hari di instansi kementerian/lembaga atau pemerintah daerah tersebut kejadian-kejadian seperti ini masih terjadi," papar Alex.

Mahfud MD: Tak Ada Hukum Atau Konstitusi yang Bisa Halangi Nepotisme

Menko Polhukam Mahfud MD menanggapi polemik politik dinasti yang mungkin terjadi di Pilkada Serentak 2020.

Menurut Mahfud MD, tak ada hukum yang mengatur seorang kerabat pejabat publik tidak boleh maju sebagai calon kepala daerah.

Mahfud MD menyebut, fenomena praktik politik dinasti maupun nepotisme, tidak bisa dihindari, termasuk dalam gelaran Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember mendatang.

KPK Terbitkan Surat Perintah Supervisi, Siap Ambil Alih Kasus Djoko Tjandra-Jaksa Pinangki

Hal itu disampaikan Mahfud MD saat webinar bertajuk 'Pilkada dan Konsolidasi Demokrasi Lokal', Sabtu (5/9/2020).

"Mungkin kita sebagian besar tidak suka dengan nepotisme."

"Tetapi harus kita katakan, tidak ada jalan hukum atau jalan konstitusi yang bisa menghalangi seseorang itu mencalonkan diri berdasarkan nepotisme atau sistem kekeluargaan sekalipun," papar Mahfud MD.

Wakil Gubernur NTT: Kami Provinsi Nomor 3 Termiskin, Apalagi Kalau Kerja dari Rumah Terus

Bahkan, Mahfud MD mengatakan aturan tersebut juga berlaku di seluruh dunia.

Hingga saat ini, kata Mahfud MD, belum ada negara yang mengatur larangan praktik kekerabatan dalam politik.

Mahfud MD pun berpandangan, praktik politik nepotisme tidak melulu bertujuan buruk.

Mulai Selasa 8 September 2020, Dua Tower di Wisma Atlet Jadi Tempat Isolasi Mandiri

Ia lantas mencontohkan pemilihan kepala daerah di Bangkalan, Madura, yang diisi oleh pertarungan kakak dan adik.

"Dulu di suatu kabupaten di Bangkalang, pernah orang berteriak, 'saya mau mencalonkan diri karena kakak saya memerintahnya tidak baik."

"Karena itu jangan dituduh saya nepotis, tapi karena kakak saya tidak baik'," beber Mahfud MD.

Rizal Ramli Siap Maju di Pilpres 2024 Jika Menang Gugatan di MK, Pernah Diminta Rp 300 M oleh Parpol

"Jadi belum tentu orang nepotisme niatnya selalu jelek," sambungnya.

Mahfud MD pun memberikan salah satu aturan larangan nepotisme yang diterapkan oleh pemerintahan Belanda di Indonesia.

Saat itu, kata Mahfud MD, ada aturan keluarga pejabat pemegang suatu proyek tidak boleh ikut terlibat menggarap.

Refly Harun: Apa Sih Legitimasi Pertahankan Presidential Threshold?

"Itu dulu ada di zaman Belanda, mudah-mudahan nanti di sini ada yang mengusulkan begitu untuk menghindari nepotisme di bidang ekonomi," harap Mahfud MD.

Sebelumnya, Presiden Jokowi membantah telah membuat dinasti politik, seiring anak dan menantunya ikut pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020.

"Ini kompetisi, bukan penunjukan, beda. Tolong dibedakan," ujar Jokowi seusai meresmikan Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek, Kamis (12/12/2019).

Putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka maju dalam pemilihan wali kota Solo.

 Anak dan Menantu Jokowi Ikut Pilkada 2020, Pengamat: Kekuasaan Itu Candu dan Sukar Dihindari

Sementara, menantunya, Bobby Nasution, mencoba peruntungan di Pilwalkot Medan.

Menurut Jokowi, semua masyarakat mempunyai hak pilih dan dipilih, termasuk anak dan menantunya yang ingin maju sebagai kepala daerah.

"Itu kan sebuah kompetisi. Kompetisi bisa menang bisa kalah, terserah rakyat yang memiliki hak pilih. Siapa pun punya hak pilih dan dipilih," papar Jokowi.

 INI Pidato Politik Pertama Gibran Sebelum Daftar Jadi Calon Wali Kota Solo, Tekankan Kata Melompat

Jokowi menilai sikap Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wali kota Solo, sudah menjadi keputusan pribadi anak sulungnya.

"Kan sudah saya sampaikan bolak-balik, bahwa itu sudah menjadi keputusan," ucapnya.

Jokowi tidak terlalu banyak bicara terkait anaknya yang mengikuti jejak dirinya masuk dunia politik, dan meminta awak media bertanya langsung ke Gibran.

 IPW Sebut Irjen Listyo Jadi Kabareskrim karena Dekat Jokowi, Presiden Dinilai Tak Taat Prosedur

"Tanyakan langsung ke anaknya," ucap Jokowi.

Sebelumnya, analis politik dari UIN Syarif Hidayatullah Adi Prayitno mengatakan, dinasti politik berpotensi hadir lantaran Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution maju dalam pilkada serentak 2020.

Gibran yang merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo maju dalam Pilwakot Solo.

Sedangkan Bobby, menantu Jokowi, mencoba peruntungan di Pilwalkot Medan.

 INI Pidato Politik Pertama Gibran Sebelum Daftar Jadi Calon Wali Kota Solo, Tekankan Kata Melompat

"Dalam demokrasi, dinasti politik perkara biasa dan sah secara demokrasi."

"Kecenderungan semacam itu terjadi di semua elite politik kita yang menyertakan keluarganya dalam politik," ujar Adi ketika dihubungi Tribunnews.com, Kamis (12/12/2019).

Adi menegaskan, dinasti politik tak menjadi masalah apabila proses yang diikuti melalui kompetisi terbuka, dan tak menutup ruang kepada pihak lainnya.

 Neta S Pane Bilang 90 Persen Kasus Novel Baswedan Sulit Terungkap, Katanya Ini Cuma Perkara Kecil

Di sisi lain, Adi memiliki pandangan masyarakat berharap Jokowi tak melakukan dinasti politik.

Namun, kata dia, karena kekuasaan itu adalah candu, maka siapa pun bisa terpikat, termasuk Jokowi.

"Kalau mau jujur, publik berharap Jokowi tak menyertakan keluarganya ke politik saat ini, untuk membedakan dari elite lainnya."

 IPW Sebut Irjen Listyo Jadi Kabareskrim karena Dekat Jokowi, Presiden Dinilai Tak Taat Prosedur

"Nyatanya kekuasaan itu candu dan sukar dihindari, termasuk oleh Jokowi," ulasnya.

Sebelumnya, Gibran Rakabuming Raka menyampaikan pidato politik pertamanya, jelang mendaftar sebagai calon wali kota (cawali) dalam Pilkada Solo 2020.

Pidato Gibran disampaikan di hadapan para relawan di halaman Grha Saba Buana, Jalan Letjen Suprapto, Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Solo.

 Optimistis Polisi Ungkap Kasus Novel Baswedan, Kompolnas Yakin Tidak Ada Kejahatan yang Sempurna

Politikus muda Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu akan mendaftar sebagai cawali melalui jalur DPD PDIP. (Ilham Rian Pratama)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved