Kecelakaan Lalulintas
Perjanjian Pengendara Moge Maut dan Keluarga Korban, Dua Poin Terakhir Terkesan Arogan
Dokumen perjanjian antara keluarga korban tewas dan pengendara moge dibuat sepihak. Pihak keluarga disodori dokumen dan diminta menandatanganinya.
Penulis: Ign Prayoga | Editor: Ign Prayoga
TRIBUNTANGERANG.COM, TANGERANG -- Bocah kembar berusia delapan tahun, Hasan Firdaus dan Husen Firdaus, tewas tertabrak pengendara motor gede (moge) di jalan raya Kalipucang, arah pantai Pangandaran, Jawa Barat, Sabtu (12/3/2022).
Sesaat setelah kejadian, pengendara moge memberikan uang duka Rp 50 juta kepada keluarga korban.
Penyerahan uang duka disertai penandatanganan perjanjian antara Iwa Kartiwa dari pihak keluarga dan pihak pengendara moge.
Tidak diketahui siapa yang menyusun perjanjian tersebut. Pada foto yang beredar luas, Iwa Kartiwa yang diapit dua pengendara moge memperlihatkan surat perjanjian tersebut. Wajah Iwa terlihat datar dan tanpa ekspresi.
Baca juga: Sultan Bandung Doni Salmanan Dilucuti Harta Kekayaannya, Baju dan Sepatu Pun Ikut Disita
Perjanjian di atas materai itu diketahui Kepala Desa Ciganjeng, Imang Wardiman, dan dilaksanakan di Mapolsek Kalipucang. Belum diketahui seberapa jauh peran polisi dalam kasus ini.
Iwa Kartiwa menyatakan dokumen perjanjian itu dibuat sepihak. Tanpa mengetahui proses pembuatannya, Iwa disodori dokumen perjanjian dan diminta menandatanganinya.
Dalam perjanjian itu, ada empat poin yang ditandatangani oleh pihak pertama Iwa Kartiwa sebagai perwakilan keluarga korban dan pihak kedua yakni Angga Permana Putra dari HDCI Bandung sekaligus pelaku.
Poin pertama, pihak kesatu dan pihak kedua telah menerima bahwa kecelakaan tersebut sebagai musibah dari Allah SWT.
Kedua, pihak kedua Angga Permana Putra memberikan santunan uang tunai kepada pihak kesatu sebesar Rp 50 juta dan pihak kesatu sudah menerimanya.
Ketiga, pihak kesatu dan pihak kedua telah sepakat dan mufakat bahwa perkara ini diselesaikan secara kekeluargaan, serta pihak kesatu tidak akan menuntut di kemudian hari secara hukum pidana maupun perdata kepada pihak kedua.
Poin keempat, apabila dikemudian hari ternyata ada pihak lain yang mempersalahkan kembali permasalahan ini, kedua belah pihak sepakat untuk mengesampingkan atau tidak menanggapinya dan atau gugur demi hukum.
Kedua korban tewas adalah putra pasangan Wasmo (60) dan Empong (48), warga Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran, Jawa barat.
Keluguan keluarga korban terlihat saat diwawancara Tribun pada Minggu (13/3/2022). Empong yang polos tampak kebingungan saat diwawancara.
Dia hanya bisa pasrah dan namun tidak tahu harus berbuat apa. Saat ditanya apakah pelaku harus dihukum, dia kebingungan menjawab.
Hal senada terlihat pada Iwa Kartiwa, kakak kandung kedua korban tewas. Iwa mengaku, saat masih diliputi rasa duka dan kebingungan, dia didatangi para pengendara moge dan diajak membahas soal santunan.
Iwa kemudia disodori dokumen perjanjian berisi empat poin tersebut di antaranya soal uang Rp 50 juta dan pernyataan keluarga korban tidak boleh menuntut.
"Mereka yang memberi santunan segitu (Rp 50 juta)," kata dia.
Iwa menegaskan dirinya sama sekali tidak meminta uang dari para pelaku. "Saya enggak minta karena enggak etis ini masalah nyawa, enggak mungkin saya meminta atau menjual (adik-adik yang meninggal)," ujarnya.
Iwa tidak menuntut apapun. Namun, dia menyerahkan kepada polisi untuk memproses pelaku.
"Mungkin ini sudah musibah, mereka juga termasuk musibah, saya tidak menuntut karena sudah islah, tinggal ketentuan proses hukumnya seperti apa," ucapnya.
Praktisi hukum di Pangandaran, Didik Puguh Indarto, mengatakan surat perjanjian itu banyak kesalahan secara formil maupun secara materiil.
Secara formil, ada kesalahan penulisan sehingga bisa batal demi hukum. Seperti misalnya, kecelakaan tertulis pada Kamis 13 Maret 2022.
"Kecelakaan tertulis pada tanggal 13 Maret, tanggal 13 kan hari Minggu, terus kecelakaan kan tertulis hari Kamis padahal kan kejadiannya hari Sabtu. Pada surat kesepakatan, dapat disimpulkan, harinya salah, tanggal nya juga salah," kata lawyer dari dari Kantor Hukum Puguh dan Partners
"Kalau kejadiannya hari Kamis, terus siapa yang tertabrak kemarin (Sabtu 12 Maret 2022)? Kenapa bisa seperti itu, hanya mereka yang membuat dan menyaksikan kesepakatan bersama damai itu yang mengetahuinya," lanjut Didik.
Kelemahan lain dari dokumen tersebut, Iwa Kartiwa tidak menyertakan surat kuasa. Menurut Puguh, orangtua korban masih ada dan mereka yang lebih berhak menandatangani perjanjian apapun terkait Hasan dan Husen.
"Itu kan yang tanda tangan hanya kakak ipar korban. Pertanyaan saya itu ada surat kuasanya nggak? Kan nggak ada. Kalau nggak ada berarti bukan mewakili ibu atau bapaknya korban," ucap Didik.
Secara materiil, kata Puguh, perjanjian itu menekankan bahwa pelaku tidak ingin kena tuntutan hukum dari keluarga korban. (*)
Sumber: TribunJabar.id