Lifestyle

Hari Kampanye untuk Mengakhiri Spesiesisme Sedunia, Mempertimbangkan Rasa Empati pada Hewan

Istilah "spesiesisme" diciptakan oleh psikolog Inggris Richard D. Ryder pada tahun 70an dan dipopulerkan oleh filsuf Australia Peter Singer.

Penulis: | Editor: Lilis Setyaningsih
istimewa/Act For Farmed Animals
Kelompok perlindungan hewan memperingati sebuah perayaan global untuk mempromosikan gagasan perlakuan yang sama bagi para spesies hewan yang berbeda 

Tahun ini, pemerintah Inggris menambahkan beberapa spesies invertebrata, seperti lobster, gurita, dan kepiting, ke dalam daftar ini.

Hal ini membantu memastikan bahwa kebutuhan dan kapasitas mereka untuk merasakan sakit dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan.

Hukum juga telah menyesuaikan ilmu pengetahuan di seluruh dunia.

Indeks Hak Hewan menawarkan gambaran tentang bagaimana berbagai spesies hewan diperlakukan dan dilindungi di seluruh dunia.

Indonesia berada di peringkat 36, skornya buruk dalam hal persentase hutan lindung dibandingkan total luas hutan, skor indeks kinerja lingkungan, pelarangan peternakan hewan untuk diambil bulunya, pengakuan terhadap hewan sebagai sentience, dan mendukung deklarasi universal atas kesejahteraan hewan.

Namun Indonesia lebih baik dalam hal penggunaan pestisida pada lahan pertanian, pengakuan atas penderitaan hewan, dan adanya hukum yang melarang tindak kekejaman terhadap hewan.

Baca juga: Kuliner Jakarta dan Sekitarnya, Sop Daging dan Gabus Pucung RM Ibu Wati Rasanya Nendang

Selama beberapa dekade ini, psikologi di balik spesiesisme telah menarik minat banyak para peneliti.

Di tahun 2019, sebuah penelitian menemukan bahwa empati dan kasih sayang terhadap spesies lain terus meningkat tergantung pada seberapa dekat hubungannya dengan manusia dan apakah mereka memiliki kesamaan sifat dengan kita.

Hasil serupa sebelumnya telah diamati oleh Janis Driscoll di University of Colorado pada tahun 1995, pengamatannya menunjukkan bahwa orang lebih cenderung memberi peringkat mamalia lain sebagai spesies "yang lebih disukai" daripada ikan atau burung.

“Fakta bahwa non-mamalia tidak dianggap sebagai hewan yang dapat disukai dapat membuat orang tidak peka terhadap penderitaan mereka.

Meskipun kita mungkin cenderung kurang berempati dengan ayam, misalnya, itu tidak berarti bahwa, mereka tidak memiliki kemampuan untuk merasakan dan menderita, bahkan sebaliknya.

"Namun, dalam hal jumlah, mereka adalah salah satu spesies yang paling menderita dalam sistem pangan kita”, ungkap Among.

Baca juga: Bukan Jargon, Studi Psikologi Membuktikan, Mencintai Diri Sendiri Adalah Kunci Kesehatan Mental

Menurut penelitian Driscoll, spesies non-mamalia juga umumnya dianggap kurang “pintar” oleh masyarakat.

“Ikan adalah contoh yang bagus. Meskipun bukti luas terkait dengan persepsi nyeri dan kemampuan kognitif kompleks yang dimiliki mereka, termasuk kemampuan pengenalan diri serta kompetensi matematika, ikan, merupakan spesies yang paling tidak dilindungi oleh kebijakan kesejahteraan hewan, terutama karena kesanggupan merasa mereka sangat diabaikan”, imbuhnya.

Bagi Among, semakin banyak pengetahuan tentang hewan sebagai sentience, semakin banyak orang yang merasakan paradoks di piring mereka.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved