Sejarah Jakarta
Sejarah Jakarta: Jalan M.H Thamrin Sebelum Tahun 1950 Bernama Gang Timboel, Panjangnya Hanya 300 M
Sejarah Jakarta: Jalan M.H Thamrin yang Namanya Berasal dari Pahlawan Asal Betawi yang menjelang wafatnya mendapat perlakuan kasar dari polisi rahasia
Penulis: Desy Selviany | Editor: Lilis Setyaningsih
TRIBUNTANGERANG.COM, JAKARTA -- Warga Jakarta mana yang tidak tahu Jalan M.H. Thamrin. Jalan M.H. Thamrin yang terletak di pusat bisnis Kota Jakarta sangat erat dengan Sejarah Jakarta.
Jalan M.H. Thamrin ternyata diambil dari nama pahlawan Betawi yang bernama lengkap Mohammad Husni Thamrin.
Pada sejarah Jalan M.H. Thamrin, awalnya jalan ini bernama Gang Timboel yang kini lokasinya di sebelah Selatan Jalan Medan Merdeka Barat hingga perempatan Wisma Mandiri (Kebon Sirih).
Kemudian pada tahun 1950, gang tersebut dilebarkan dan diubah menjadi Jalan Raya yang diberi nama Jalan MH Thamrin yang pada saat itu panjangnya hanya 300 meter.
Pada tahun 1952 sampai 1953, Jalan M.H. Thamrin yang sebelumnya memiliki panjang 300 meter diperpanjang menjadi 1,6 km terhitung mulai dari Bundaran Bank Indonesia hingga Bundaran HI.
Kini, jalan tersebut menjadi pusat ekonomi Ibu Kota.
Bahkan, untuk mencegah kepadatannya, pemerintah menerapkan sistem ganjil genap bagi pelat nomor kendaraan.
Selain itu, di jalan tersebut juga kini terdapat sejumlah transportasi umum modern mulai dari Transjakarta dan MRT.
Transportasi umum modern di Jalan MH Thamrin untuk menunjang pergerakan bisnis di Jakarta yang bergerak cepat.
Siapa M.H. Thamrin?
M.H. Thamrin adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia.
Mohammad Husni Thamrin atau ejaan lama Mohammad Hoesni Thamrin lahir pada 16 Februari 1894.
Mohammad Husni Thamrin meninggal dunia empat tahun sebelum Indonesia merdeka tepatnya 11 Januari 1941.
M.H. Thamrin ternyata merupakan warga Betawi.
Ia adalah seorang politisi era Hindia Belanda yang kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia.
Baca juga: Sejarah Jakarta, TMII Diresmikan 20 April 1975, Awalnya Diusulkan Dibangun dekat Hotel Indonesia
Pada sejarah M.H. Thamrin, politisi asal Betawi itu lahir di Weltevreden, Batavia (sekarang Jakarta), Hindia Belanda.
Ayahnya adalah seorang Belanda dengan ibu orang Betawi.
Sejak kecil ia dirawat oleh pamannya dari pihak ibu karena ayahnya meninggal, sehingga ia tidak menyandang nama Belanda.
Sementara itu kakeknya, Ort, seorang Inggris, merupakan pemilik hotel di bilangan Petojo, menikah dengan seorang Betawi yang bernama Noeraini.
Ayahnya, Tabri Thamrin, adalah seorang wedana di bawah gubernur jenderal Johan Cornelis van der Wijck.
Setelah lulus dari Gymnasium Koning Willem III School te Batavia, Thamrin mengambil beberapa jabatan sebelum bekerja di perusahaan perkapalan Koninklijke Paketvaart-Maatschappij.
Munculnya Mohammad Husni Thamrin sebagai tokoh pergerakan yang berkaliber nasional tidaklah mudah.
Untuk mencapai tingkat itu ia memulai dari bawah, dari tingkat lokal. Dia memulai geraknya sebagai seorang tokoh (lokal) Betawi.
Baca juga: Sejarah Jakarta: Asal Usul Ancol yang Sudah Diincar jadi Tempat Wisata Sejak Abad ke 17
Dalam sejarah Mohammad Husni Thamrin, pria tersebut sejak muda telah memikirkan nasib masyarakat Betawi yang sehari-hari dilihatnya.
Sebagai anak wedana, dia tidaklah terpisah dari rakyat jelata.
Malah, dia sangat dekat dengan mereka.
Sebagaimana anak-anak sekelilingnya, yang terdiri dari anak-anak rakyat jelata, dia pun tidak canggung-canggung untuk mandi-mandi bersama di Sungai Ciliwung.
Dia tidak canggung-canggung untuk tidur bersama mereka, sebagaimana yang pernah disaksikan oleh ayahnya sendiri.
Kelincahannya sebagai pemimpin agaknya telah menampak sejak ia masih berusia remaja.
Kemudian pada 1929 warga Batavia memprotes terpilihnya orang Belanda yang tidak profesional dan berpengalaman sebagai Wakil Wali Kota Batavia.
Padahal untuk jabatan itu ada orang Betawi yang jauh lebih berpengalaman dan pantas untuk jabatan itu.
Baca juga: Sejarah Jakarta: Masjid Istiqlal Dibangun Selama 17 Tahun, Didesain Orang Batak Bermarga Silaban
Tindakan pemerintah ini mendapat reaksi keras dari fraksi nasional.
Bahkan mereka mengambil langkah melakukan pemogokan.
Ternyata usaha mereka berhasil dan pada akhirnya Mohammad Husni Thamrin diangkat sebagai wakil wali kota Batavia.
Selain menjadi anak Betawi yang berhasil duduk di kursi Wakil Wali Kota Batavia, M.H Thamrin juga dikenal sebagai salah satu tokoh Betawi dari organisasi Kaoem Betawi yang pertama kali menjadi anggota Volksraad atau Dewan Rakyat di Hindia Belanda di tahun 1927.
M.H. Thamrin mewakili kelompok Inlanders ("pribumi").
Thamrin juga salah satu tokoh penting dalam dunia sepak bola Hindia Belanda (sekarang Indonesia), karena pernah menyumbangkan dana sebesar 2000 Gulden pada tahun 1932 untuk mendirikan lapangan sepak bola khusus untuk rakyat Hindia Belanda pribumi yang pertama kali di daerah Petojo, Jakarta.
Pada tanggal 11 Januari 1941, Mohammad Husni Thamrin wafat setelah sakit beberapa waktu lamanya.
Akan tetapi, beberapa saat sebelum kewafatannya, pemerintah kolonial telah melakukan tindakan "sangat kasar" terhadapnya.
Dalam keadaan sakit, M.H. Thamrin harus menghadapi perlakuan kasar itu, yaitu rumahnya digeledah oleh polisi-polisi rahasia Belanda (PID).
Baca juga: Sejarah Jakarta, Terungkap Total Berat Emas Murni yang Lapisi Tugu Monas
Rumahnya dijaga ketat oleh PID dan tak seorangpun dari rumahnya yang diperbolehkan meninggalkan rumah tanpa seizin polisi, juga termasuk anak perempuannya yang masih juga tidak diperkenankan meninggalkan rumahnya, sekalipun untuk pergi ke sekolah.
Tindakan polisi Belanda itu tentulah sangat menekan perasaannya dan menambah parah sakitnya.
Wafatnya Mohammad Husni Thamrin tentulah sangat besar artinya bagi bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia telah kehilangan salah seorang pemimpinnya yang cerdas dan berwibawa.
Menurut laporan resmi, ia dinyatakan bunuh diri, namun ada dugaan ia dibunuh.
Jenazahnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta.
Di saat pemakamannya, lebih dari 10.000 pelayat mengantarnya yang kemudian berdemonstrasi menuntuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan dari Belanda.
Selain namanya diabadikan sebagai nama jalan besar dan nama Stasiun MRT, nama M.H. Thamrin juga pernah diabadikan dalam pecahan uang keras pecahan Rp2.000 pada 19 Desember 2016 serta sekolah bergengsi SMA MH Thamrin.