UU Cipta Kerja

Jimly Asshiddiqie Kritik Penerbitan Perppu Cipta Kerja, Mestinya Dilakukan Revisi UU

Penerbitan Perppu Cipta Kerja dinilai sebagai contoh pemerintahan yang mengangkangi hukum

Editor: Ign Prayoga
Surya/Ahmad Zaimul Haq
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie 

TRIBUNTANGERANG.COM, TANGERANG - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menyoroti keputusan Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Jimly menilai, penerbitan Perppu Cipta Kerja tersebut sebagai contoh pemerintahan di atas hukum (rule by law), bukan pemerintahan yang tunduk pada hukum.

Menurut Jimly, putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2O2O sudah sangat jelas menyatakan bahwa Undang-Undang No 11 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) adalah produk hukum yang inkonstitusional.

Amar putusan MK tersebut menyatakan: Pertama, pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan diucapkan yaitu 25 November 2020.

Kedua, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan sesuai dengan tenggang waktu yang ditetapkan; Ketiga melakukan perbaikan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan.

Jimly menilai, atas putusan MK tersebut, seharusnya dilakukan revisi UU Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bukan menerbitkan Perppu dengan alasan kegentingan.

"Peran MK dan DPR diabaikan. Ini bukan contoh rule of law yang baik tapi jadi contoh rule by law yang kasar dan sombong," kata Jimly seperti dikutip dari Kontan, Kamis (5/1/2023).

Seharusnya pemerintah dan DPR berunding serta merevisi UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diputuskan inkonstitusional oleh MK.

Jimly juga mengkritik pihak-pihak yang memberi pembenaran penerbitan Perppu bukanlah pelanggaran undang-undang.

Bahkan menurut Jimly dalih kegentingan bisa menjadi preseden bagi pemerintah sehinga bisa digunakan buat tujuan lain seperti penundaan pemilihan umum (Pemilu) atau perpanjangan masa jabatan presiden.

"Kalau ada sarjana hukum yang ngotot memberi pembenaran pada Perppu Cipta Kerja ini, maka tidak sulit baginya untuk memberi pembenaran untuk terbitnya Perppu penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan," kritik Jimly.

Seperti diketahui Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Perppu Cipta Kerja pada Jumat (30/12/2022) menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada November 2020.

Pada amar putusannya MK juga menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuataan UU baru atau melakukan revisi.

Selain itu pada proses pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski pemerintah dan DPR mengklaim sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak.

Namun, pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap substansi UU. Begitu pula dengan draf UU Cipta Kerja juga dinilai Mahkamah tidak mudah diakses oleh publik.

Oleh karena itu, MK menyatakan, UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan.

Apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja tersebut akan otomatis dinyatakan inkonstitusional bersyarat secara permanen.

Keputusan Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Cipta Kerja dikritik keras oleh Koordinator Tim Kuasa Hukum Penggugat Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, Viktor Santoso Tandiasa.

"Tindakan ini adalah bentuk perbuatan melanggar hukum pemerintah atas putusan MK. Bahkan, dapat dikatakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi," ujar Viktor kepada Kompas.com.

Viktor menyatakan bahwa MK dalam putusannya mengamanatkan agar pemerintah dan DPR memperbaiki prosedur pembentukan UU Cipta Kerja dan memaksimalkan partisipasi publik. Bukannya menjalankan amanat konstitusi tersebut, pemerintah justru melakukan pembangkangan dan mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perppu.

"Sebagaimana amanat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, apabila dalam dua tahun atau sampai dengan 25 November 2023 tidak diperbaiki, maka akan inkonstitusional secara permanen," papar Viktor. "Namun, ternyata pemerintah bukannya memanfaatkan dua tahun ini untuk memperbaiki tapi malah mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perppu," tutur dia.

Menanggapi polemik ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 itu diharapkan kepastian hukum bisa terisi dan ini menjadi implementasi dari putusan MK.

Airlangga mengatakan, putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat telah mempengaruhi perilaku dunia usaha dalam dan luar negeri yang menunggu keberlanjutan UU tersebut.

Oleh sebab itu, pemerintah menilai, perlu ada kepastian hukum dari UU tersebut karena pemerintah mengatur bahwa defisit anggaran tahun depan sudah tidak boleh lebih dari 3 persen dan menargetkan investasi sebesar Rp 1.400 triliun.

Menurut Ketua Umum Partai Golkar itu, Perppu Cipta Kerja juga mendesak dikeluarkan karena Indonesia dan semua negara tengah menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim.

"Pertimbangannya adalah kebutuhan mendesak, pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait ekonomi," kata Airlangga dalam konferensi pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (30/12/2022).

Airlangga menyebutkan Indonesia kini menghadapi potensi resesi global, peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi. Selain itu, jumlah negara yang bergantung ke Dana Moneter Internasional (IMF) pun disebut semakin bertambah.

"Jadi kondisi krisis ini untuk emerging developing country menjadi sangat real, dan juga terkait geopolitik tentang Ukraina-Rusia dan konflik lain juga belum selesai," ujar Airlangga.

Kaji Ulang Perppu Cipta Kerja

Presiden Partai Buruh, Said Iqbal meminta, Presiden Joko Widodo mengkaji ulang isi dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebelum diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Menurutnya, hal itu selaras dengan penolakan 9 isu yang dimuat dalam Perppu Cipta Kerja terhadap sektor ketenagakerjaan oleh Partai Buruh.

Adapun 9 isu tersebut meliputi pengaturan upah minimum, outsourcing, uang pesangon, perjanjiam kerja waktu tertentu (PKWT), pemutusan hubungan kerja (PHK), pengaturan jam kerja, pengaturan cuti, tenaga kerja asing (TKA) dan sanksi pidana yang dihilangkan.

"Karena secara 9 poin isi Perppu, Partai Buruh tidak setuju semuanya. Justru meminta presiden mengkaji ulang terhadap isi Perppu tersebut," kata Said Iqbal dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (4/1/2023).

Di sisi lain, Iqbal mengatakan, Perppu Cipta Kerja itu disebut akan diserahkan secepatnya kepada DPR. Ia menegaskan, Partai Buruh akan melakukan perlawanan seandainya Perppu Cipta Kerja itu ditolak seluruhnya oleh DPR.

Sebab, kata Iqbal, nantinya penolakan itu akan membawa DPR untuk membentuk Panitia khusus (Pansus) yang dinilai tak memihak pada kaum buruh. Iqbal berujar, hal demikian dilihat setelah berkaca pada pembuatan Undang-undang Omnibuslaw Cipta Kerja beberapa waktu lalu.

"Kalau DPR menolak seluruh isi Perppu maka DPR RI akan membentuk Pansus. Disitulah Partai Buruh akan membentuk perlawanan, karena kami paham benar DPR tidak memihak pada kepentingan buruh," ujarnya.

Namun, Iqbal menegaskan, jika DPR menolak sebagian dari Perppu Cipta Kerja itu, pihaknya bakal mempelajari pasal-pasal yang ditolak oleh DPR.

"Kalau menolak sebagian isi Perppu, kami akan pelajari dulu. Mana yang diterima oleh DPR isi Perppu nya, dan mana yang ditolak isi Perppu nya," ungkapnya.

Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada akhir tahun 2022.

Sebelumnya, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diputuskan inskontitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dan memerintahkan pemerintah melakukan penyempurnaan. (Tribunnews.com/Kontan)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved