Fahri Hamzah Angkat Bicara Soal Utang Rp 50 Miliar Anies Baswedan: KPK Harusnya Mengincar Itu

Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengatakan, perjanjian utang piutang sesama politisi tidak boleh ada dan seharusnya ditiadakan.

Editor: Jefri Susetio
Istimewa
Teka-teki perihal utang Anies Baswedan kepada Sandiaga Uno sebesar Rp 50 miliar terjawab sudah. Utang Rp 50 Miliar itu dilakukan Anies Baswedan saat maju di Pilgub DKI Jakarta pada 2017 silam. 

TRIBUNTANGERANG.COM - Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengatakan, perjanjian utang piutang sesama politisi tidak boleh ada dan seharusnya ditiadakan.

Pernyataan itu ia lontarkan terkait utang Anies Baswedan Rp 50 miliar pada Sandiaga Uno saat maju di Pilkada DKI Jakarta 2017.

"Ya memang perjanjian seperti itu tidak boleh ada. Dan kita harus berkomitmen supaya perjanjian utang piutang antar politisi di belakang layar itu harus ditiadakan," kata Fahri, saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023).

Baca juga: Cinta tak Berbalas Pemicu Riko Bunuh Elisa Siti Mulyani, Jumpai Ayah Mantan Pacar dan Beri Hadiah

Sebab, lanjut Fahri, hal tersebut merupakan permufakatan jahat.

"Karena kan niatnya mau menggunakan kekuasaan kan untuk tujuan yang tidak ada dalam peraturan dan tujuan penyelenggaraan kekuasaan itu sendiri," ujarnya.

Lebih lanjut, Fahri bilang harusnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengincar dan menindak capres dari Partai NasDem untuk Pilpres 2024 itu.

"KPK harusnya mengincar itu. Kalau ada perjanjian dengan pengusaha, dengan orang kaya, apa duit. Dan sebagainya itu harus ditangkap itu harusnya. Itu enggak boleh ada," katanya.

Eks Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019 itu kemudian menjelaskan lebih detail terkait poin korupsi dalam utang Anies Baswedan.

"Ya kalau Anda misalnya meminjam uang, dengan mengatakan 'nanti kalau kita menang enggak usah dilunasi'. Uangnya hilang enggak? Kan enggak hilang uangnya. Rp50 Miliar itu kan tetap uang. Kan harus tetap dikompensasi dari kekuasaan," ujarnya.

Menurutnya, praktik-praktik kesepakatan perjanjian di balik layar antar politisi ini harus dihentikan jika Indonesia ingin bersih dari korupsi.

"Kita kalau mau bersih dari korupsi, begini cara kita mengelola negara. Hentikan ada permainan di belakang layar," katanya.

Menurut Fahri, jika para pemilik modal ingin memberikan bantuan kepada politisi, baiknya melalui institusi secara resmi.

Hal itu dijelaskannya, seperti sistem donor demokrat di Amerika Serikat.

"Di Amerika itu ada register democrat, donor demokrat. Donor republik," ujarnya.

"Dan itu mengumumkan diri dan negara enggak boleh mengganggu. Hak donor itu harus dilindungi juga. Tapi kepentingan donor itu nanti formil," sambung Fahri.

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved