Begini Budaya Patriarki Dimulai Terkait Kesalahpahaman Dominasi Laki-laki atas Perempuan

Selama bertahun-tahun, "Monkey Hill", demikian sebutannya, telah menjadi tempat terjadinya kekerasan berdarah dan sering memakan korban jiwa.

Editor: Jefri Susetio
Istimewa
Selama bertahun-tahun, "Monkey Hill", demikian sebutannya, telah menjadi tempat terjadinya kekerasan berdarah dan sering memakan korban jiwa. 

Perempuannya juga bukannya tidak terlihat. Penggalian situs ini dan situs lain yang berasal dari rentang waktu yang sama telah menemukan banyak sekali patung perempuan, yang sekarang memenuhi museum arkeologi lokal.

Yang paling terkenal adalah the Seated Woman of Çatalhöyük, yang kini dipajang di Museum Peradaban Anatolia di Ankara.

Patung itu menggambarkan seorang perempuan yang duduk tegak, dengan tubuh yang berlekuk karena usia dan sejumlah bagian tubuhnya tampak berlemak.

Di bawah lengannya yang bertumpu, tampak dua kucing besar, mungkin macan tutul, menatap lurus ke depan seolah-olah perempuan itu telah menjinakkannya.

Seperti yang kita ketahui, cara hidup yang relatif 'buta gender' di Çatalhöyük tidak berlangsung selamanya.

Selama ribuan tahun, hierarki sosial berangsur-angsur menyebar ke wilayah yang lebih luas, mencakup Eropa, Asia, dan Timur Tengah modern.

Ribuan tahun kemudian, di kota-kota seperti Athena kuno, kebudayaan sepenuhnya berkembang seputar mitos misoginis bahwa perempuan itu lemah, tidak bisa dipercaya, dan paling baik dikurung di rumah.

Pertanyaan besarnya adalah mengapa?.

Para antropolog dan filsuf telah menanyakan apakah pertanian bisa menjadi titik kritis keseimbangan kekuatan antara laki-laki dan perempuan.

Pertanian membutuhkan banyak kekuatan fisik. Periode baru bercocok tanam juga dimulai ketika manusia memelihara harta benda seperti ternak.

Menurut teori ini, elit-elit sosial muncul karena beberapa orang membangun lebih banyak properti daripada yang lain, mendorong laki-laki memastikan kekayaan mereka akan diteruskan ke anak-anak mereka yang sah.

Maka, mereka mulai membatasi kebebasan seksual perempuan.

Yang menjadi masalah dari situasi ini adalah perempuan selalu melakukan pekerjaan pertanian.

Dalam sastra Yunani dan Romawi kuno, misalnya, ada penggambaran perempuan yang sedang menuai jagung dan cerita tentang perempuan muda yang bekerja sebagai gembala.

Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa, bahkan saat ini, perempuan merupakan hampir setengah dari tenaga kerja pertanian dunia dan hampir setengah dari manajer peternakan skala kecil dunia di negara-negara berpenghasilan rendah.

Sumber: Tribunnews
Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved