Kasus Suap di Basarnas

Usai Didatangi Jenderal-jenderal TNI, Pimpinan KPK Mengaku Khilaf dan Minta Maaf

KPK minta maaf karena telah menetapkan Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi dan Letkol TNI Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka kasus suap.

|
Penulis: Rusna Djanur Buana | Editor: Ign Prayoga
Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak memberikan keterangan pers seusai rapat bersama Danpuspom TNI Marsekal Muda TNI Agung Handoko beserta jajaran perwira tinggi TNI lainnya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (28/7/2023). 

TRIBUNTANGERANG.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pejabat Badan SAR Nasional (Basarnas) yang diduga menerima suap dari pihak swasta selaku rekanan Basarnas.

Penangkapan tersebut mengarah ke Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi

KPK telah juga telah menetapkan tersangka pada kasus ini.  

Namun, KPK akhirnya mengaku khilaf karena telah menetapkan Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi Kepala Basarnas Letkol TNI Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka kasus dugaan suap.

Hal itu disampaikan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak seusai rapat bersama Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Muda TNI Agung Handoko beserta jajaran perwira tinggi TNI lainnya.

"Pada hari ini KPK bersama TNI yang dipimpin oleh Danpuspom TNI sudah melakukan audiensi terkait dengan penanganan perkara di Basarnas dan yang dilakukan tangkap tangan oleh tim dari KPK," kata Johanis saat jumpa pers bersama Danpuspom di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (28/7/2023).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta maaf kepada TNI dan mengakui telah melakukan kesalahan prosedur dalam proses penangkapan dan penetapan tersangka pejabat Badan SAR Nasional (Basarnas).

Permintaan maaf tersebut disampaikan setelah adanya pertemuan antara KPK dan TNI di Gedung Merah Putih, KPK, Jakarta, Jumat (28/7/2023). 

Permintaan maaf tersebut disampaikan langsung oleh Wakil Ketua KPK Johanis Tanak di depan Danpuspom TNI Marsda Agung Handoko.

"Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu (OTT KPK) tim mengetahui adanya anggota TNI dan kami paham bahwa tim penyidik kami mungkin ada kekhilafan, ada kelupaan."

"Bahwasanya manakala ada yang melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani, bukan KPK," kata Johanis Tanak dikutip dari tayangan Facebook Tribunnews.com.

Pihaknya mengatakan hal itu mengacu pada aturan lembaga peradilan, sebagaimana diatur dalam UU nomor 14 tahun 1970, disebutkan ada 4 lembaga peradilan yang menangani proses hukum.

Yakni peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan peradilan agama.

"Dan ketika ada melibatkan militer maka sipil harus menyerahkan kepada militer," lanjutnya lagi.

"Di sini ada kekeliruan dari tim kami yang melakukan penangkapan, oleh karena itu kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI dan sekiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI atas kekhilafan ini kami mohon dapat dimaafkan."

"Ke depan kami akan berupaya bekerja sama yang baik antara TNI dengan KPK dan aparat penegaj hukum yang lain, dalam upaya menangani pemberantasan tindak pidana korupsi," pungkasnya.

Hasil OTT

Sebelumnya, KPK melakukan OTT di Cilangkap, Jakarta Timur, dan di Jatisampurna, Kota Bekasi pada Selasa (25/7/2023). Pada OTT tersebut, penyidik KPK mengamankan 11 orang, di antaranya Letkol TNI Afri Budi Cahyanto dan pihak swasta.

KPK kemudian menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan proyek alat deteksi korban reruntuhan di Basarnas.

Letkol Adm Afri Budi Cahyanto hingga satu di antara tersangka yakni Kepala Basarnas RI, Marsekal Madya (Marsdya) TNI Henri Alfiandi.

Namun proses tersebut oleh TNI dianggap menyalahi ketentuan yang berlaku.

Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsda Agung Handoko mengatakan yakni ketentuan yang dimaksud adalah Undang-Undang (UU) nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

"Jadi menurut kami apa yang dilakukan KPK menetapkan personel militer sebagai tersangka menyalahi ketentuan," kata Agung saat konferensi pers di Mabes TNI Cilangkap Jakarta pada Jumat (28/7/2023).

Kepala Babinkum TNI, Laksda Kresno Buntoro juga menjelaskan setiap tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit aktif tunduk pada ketentuan UU tersebut dan UU nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Di dalam UU peradilan militer, kata dia, diatur mengenai penyelidikan, penyidikan, penuntutan, proses persidangan, hingga pelaksanakan eksekusi.

Selain itu, kata dia, diatur juga dengan tegas terkait penyelidikan, penangkapan dan penahanan.

Belum Tersangka

Di sisi lain, Marsda Agung Handoko juga mengatakan saat ini Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koorsminnya Letkol Afri Budi Cahyanto belum ditetapkan sebagai tersangka.

Saat ini Puspom TNI baru mendapat laporan resmi dari KPK terkait penetapan tersangka dua prajurit aktif TNI dalam kasus dugaan suap terkait sejumlah proyek di Basarnas.

Laporan resmi dari KPK berupa laporan polisi tersebut, kata Agung, baru diserahkan kepada pihaknya pada Jumat (28/7/2023) pukul 10.30 WIB siang ini.

Sehingga, kata dia, proses hukum terhadap dua perwira aktif TNI tersebut baru bisa dilakukan.

 

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com   

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved