Tito Karnavian Persilakan Aceh Gugat ke PTUN Terkait 4 Pulau di Singkil Diambil Sumatra Utara

Penyerahan tersebut karena keempat pulau tersebut lebih dekat ke Sumatera Utara karena berada di dekat Tapanuli Tengah

Editor: Joseph Wesly
AI (ChatGPT)
DISERAHKAN KE SUMUT – Kemendagri memutuskan empat pulau yang berada di Kawasan Aceh Singkil menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Gambar ini diolah dengan kecerdasan AI (ChatGPT) pada Senin (26/5/2025). (AI/ChatGPT) 

TRIBUN TANGERANG.COM, BANDA ACEH- Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mempersilakan Pemerintah Aceh untuk menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait penetapan batas wilayah.

Diketahui empat pulau di Aceh Singkil–Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek kini masuk-ke dalam wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara (Sumut).

Penyerahan tersebut karena keempat pulau tersebut lebih dekat ke Sumatera Utara karena berada di dekat Tapanuli Tengah.

Keempat pulau itu secara gegrafis lebih dekat ke Sumatera Utara.

Hal ini disampaikan Tito, di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (10/6/2026). 

"Kami memahami kalau ada pihak yang tidak puas. Tapi kami terbuka terhadap evaluasi atau gugatan hukum, termasuk ke PTUN. Silakan saja," katanya.

Ia mengatakan, pemerintah pusat tidak memiliki kepentingan pribadi, melainkan hanya ingin menyelesaikan masalah batas wilayah secara objektif dan legal. 

Baca juga: Kemendagri Injak-injak Marwah dan Martabat orang Aceh karena Serahkan 4 Pulau di Singkil ke Sumut

Keempat pulau yang dimaksud, yakni Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang dan Mangkir Ketek, kini tidak lagi bagian dari Provinsi Aceh, melainkan masuk ke wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Dikatakan Tito, persoalan ini memiliki sejarah panjang dan melibatkan banyak pihak serta instansi sejak awal konflik itu muncul pada 1928. 

"Dari tahun 1928 persoalan ini sudah ada. Prosesnya sangat panjang, bahkan jauh sebelum saya menjabat. Sudah berkali-kali difasilitasi rapat oleh berbagai kementerian dan lembaga," ujarnya.

Tito menegaskan bahwa persoalan batas wilayah bukan hanya terjadi antara Aceh dan Sumut. Saat ini terdapat ratusan kasus serupa di seluruh Indonesia. 

Dari sekitar 70 ribu desa di Indonesia, kata Tito, baru sekitar seribu desa yang batas wilayahnya benar-benar telah selesai secara hukum.

Ia menjelaskan bahwa penyelesaian batas wilayah sangat penting karena menyangkut kepastian hukum, penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU), tata ruang, dan perencanaan pembangunan.

Jika batas tidak jelas, kata Tito, pembangunan di wilayah sengketa bisa menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 

"Kalau satu wilayah membangun, padahal status lahannya masuk dalam sengketa, itu bisa jadi masalah hukum. Batas wilayah harus ada kejelasan agar tidak menimbulkan persoalan administrasi ke depannya," katanya.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved