TRIBUNTANGERANG.COM, JAKARTA - Netralitas aparat TNI, Polri, dan aparatur sipil negara (ASN) pada pemilu senantiasa mendapat perhatian khusus.
Sesuai amanat undang-undang, TNI, Polri, dan ASN harus netral pada pemilu. Bila mereka tidak netral, kepercayaan rakyat terhadap kualitas pemilu akan terjun bebas.
Netralitas TNI pada pemilu kembali diserukan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono.
Yudo mengingatkan seluruh prajuritnya untuk tidak memberikan fasilitas, tempat, serta sarana dan prasarana (sarpras) milik TNI untuk kampanye.
Menurut Yudo, pemberian fasilitas dan sarpras TNI ini rawan terjadi semasa Pemilu atau Pilpres.
“Tidak memberikan fasilitas, tempat, sarpras TNI sebagai sarana kampanye. Nah ini nanti yang agak rawan, yang agak rawan ini,” ujar Yudo di Mabes TNI Cilangkap sebagaimana disiarkan di YouTube Puspen TNI, Selasa (12/9/2023).
Yudo mencontohkan, seorang senior di TNI terkadang meminta kepada juniornya untuk menyediakan kendaraan dinas. Dalihnya untuk mengantar saudara-saudaranya.
Ternyata, belakangan diketahui bahwa kendaraan itu dipakai untuk keperluan partai.
“Ternyata ujung-ujungnya partai,” ujarnya.
Yudo menceritakan, pada satu waktu ketika berdinas di Papua, ia mendapati truk Marinir dipinjam untuk kampanye.
Dari informasi yang diterima, truk itu dipinjam seseorang di Sorong Selatan untuk mengangkut orang ke Kabupaten Sorong.
Ketika meminjam orang tersebut mangaku untuk membawa masyarakat.
Mereka meminjam truk Marinir karena tidak ada pihak swasta yang bersedia menyewakan kendaraan mereka.
“Katanya untuk mengangkut masyarakat. Begitu diangkut pakai truk tulisannya gede (besar) Marinir, di sampingnya itu (atribut kampanye) protes semua orang-orang itu, Pak itu truknya Marinir kok dipakai kampanye?” kata Yudo.
Belakangan diketahui ternyata tidak ada pihak yang bersedia menyewakan kendaraannya karena mengetahui akan digunakan untuk kampanye.
Sementara, pihak TNI tidak mengetahui kendaraannya dipinjam untuk kampanye.
Berkaca dari peristiwa itu, Yudo meminta jajarannya memeriksa betul peminjaman sarpras milik TNI.
“Ini untuk kebutuhan mungkin kemanusiaan atau apa ya, jangan sampai ada penilaian bahwa kita memihak,” tutur Yudo.
Sebelumnya, Anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty menyebut pihaknya menemukan 20 ribu lebih personel TNI/Polri masuk sebagai daftar pemilih untuk Pemilu 2024 mendatang.
Lolly merinci bahwa terdapat 11.457 prajurit TNI yang tercatat sebagai pemilih yakni di Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Aceh, Jambi, dan Lampung.
Sedangkan, anggota Polri yang masih tercatat sebagai pemilih adalah sejumlah 9.198 ditemukan di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Maluku.
Adapun data tersebut didapat berdasarkan hasil pengawasan terhadap proses pencocokan dan penelitian (coklit) yang dilakukan oleh jajaran petugas pemutakhiran data pemilih (pantarlih) Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Dengan demikian, temuan ini tanda daftar pemilih hasil coklit KPU masih Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
Lebih lanjut, ada delapan kategori pemilih TMS yang ditemukan Bawaslu atas hasil uji petik, termasuk pemilih yang merupakan anggota TNI/Polri.
Kategori Pemilih Tidak Memenuhi Syarat
Lolly menjelaskan adapun kategori TMS lainnya yakni pemilih salah penempatan, pemilih yang sudah meninggal, pemilih yang tidak dikenali, pemilih pindah domisili, pemilih di bawah umur, serta pemiih bukan penduduk setempat.
Kategori TMS ini menjadi peringatan adanya kerawanan subtahapan penyusunan Daftar Pemilih Sementara (DPS) berdasarkan Surat Edaran Bawaslu No. 1 Tahun 2023.
Ia menjelaskan kerawanan tersebut di antaranya berkaitan dengan kegandaan, data pemilih yang telah pindah domisili ke lain wilayah, saran perbaikan pengawas pemilu tidak ditindaklanjuti KPU, hingga KPU yang tidak memberikan salinan daftar pemilih kepada Bawaslu.
"Kerawanan lainnya ialah KPU sesuai tingkatan tidak menindaklanjuti saran perbaikan pengawas pemilu, hasil coklit, serta rekapitulasi," ujarnya, Kamis (30/3/2023).
"Penyampaian hasil coklit melalui sistem tidak valid, PPS mengumumkan daftar pemilih di lokasi yang tidak representatif dan tidak aksesibel," imbuh Lolly.
Lolly menyebut hasil penyusunan DPS tidak diumumkan baik di laman KPU maupun aplikasi berbasis teknologi informasi.
"Mendominasinya kategori pemilih TMS salah penempatan TPS disebabkan adanya restrukturisasi TPS yang dilakukan KPU dalam waktu singkat," katanya.
Sehingga, KPU dinilai tidak memperhatikan aspek geografis setempat, kemudahan pemilih di TPS, dan tidak memperhatikan jarak serta waktu tempuh menuju TPS.
"Akibat restrukturisasi yang tergesa-gesa ini memunculkan dua kategori TMS lain, yakni adanya pemilih yang tidak dikenali dan pemilih bukan penduduk setempat. Akibatnya, kegandaan pemilih tidak bisa dihindari," katanya.