Tapera

Pemerintah Ngak Urus Soal Penolakan Pengusaha dan Pekerja atas Program Tapera, Emang Boleh?

Editor: Joseph Wesly
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi perumahan.

TRIBUN TANGERANG.COM, JAKARTA- Pemerintah sepertinya tidak ambil pusing dengan banyaknya respons negatif terhadap program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Meski mendapat kritik kanan kiri, program Tapera tetap akan berjalan meski mendapatkan gelombang kritik.

Kepastikan tetap berjalannya program Tapera diungkap oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.

Eks Panglima TNI ini mengatakan pemerintah masih punya waktu hingga 2027 untuk mematangkan implementasi kebijakan tersebut secara proporsional sambil mendengarkan aspirasi publik dan dunia usaha.

"Kita masih ada waktu sampai 2027. Jadi, ada kesempatan untuk konsultasi, enggak usah khawatir," kata Moeldoko di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (31/5/2024) lalu.

Moeldoko menyatakan, Tapera belum dijalankan dan baru berlaku paling lambat 2027 setelah ada peraturan teknis dari Menteri Keuangan dan Menteri Ketenagakerjaan.

Moeldoko menjelaskan, Tapera bukanlah pemotongan gaji pekerja, tapi tabungan bagi para pekerja untuk bisa memiliki rumah.

Ia pun menyebutkan bahwa masyarakat yang sudah mempunyai rumah dapat menggunakan Tapera sebagai sarana menabung yang uang simpanannya dapat diambil setelah mereka pensiun.

"Pada ujungnya, pada usia pensiun selesai, itu (Tapera) bisa ditarik uang fresh dan pemupukan yang terjadi," kata dia.

Moeldoko juga membantah anggapan yang menyebut program Tapera ditujukan untuk mendanai program makan gratis dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

"Tapera ini tidak ada hubungannya dengan APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara), tidak ada upaya pemerintah untuk membiayai makan siang gratis apalagi untuk IKN. Semuanya sudah ada anggarannya," kata mantan panglima TNI itu.

Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho menyebutkan, Tapera merupakan program untuk mengatasi kesenjangan jumlah kepemilikan rumah lewat 'kerja sama' antara pemerintah dan masyarakat.

Ia menyebutkan, lewat program pembiayaan subsidi yang ditawarkan saat ini, pemerintah baru mampu memfasilitasi sekitar 250.000 kepemilikan rumah bagi masyarakat. Sedangkan, permintaan rumah setiap tahunnya mencapai 700.000 hingga 800.000 rumah.

Oleh sebab itu, seluruh masyarakat diwajibkan untuk membayarkan iuran Tapera supaya semua orang dapat memiliki rumah. "Jadi kenapa harus ikut nabung? ya tadi prinsip gotong-royong di UU itu pemerintah, masyarakat yang punya rumah, bagi yang belum punya rumah, semua membaur," kata Heru, Jumat.

Bebani Pekerja dan Pengusaha

Ketentuan mengenai Tapera ini dihujani kritik dan dikeluhkan oleh publik lantaran bakal memotong penghasilan para pekerja. Pengusaha pun bakal diwajibkan membayar sebagian iuran dari para pekerja.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 menyebutkan, besaran simpanan Tapera adalah 3 persen dari gaji atau upah. Sebanyak 2,5 persen ditanggung pekerja, sedangkan sisanya ditanggung pemberi kerja.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menilai Tapera tidak masalah apabila ditujukan kepada ASN, TNI, dan Polri karena masih dalam ranah pemerintah.

Namun, ia menilai kebijakan tersebut bakal membebani pengusaha dan pekerja swasta karena mereka diwajibkan untuk membayar iuran.

"Namanya tabungan ya sukarela saja. Jadi tidak perlu mengharuskan pemberi kerja dan pekerja untuk mengiur. Jadi itu kalau tabungan silakan buat sukarela," kata Shinta.

Senada, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) juga menolak kebijakan iuran untuk Tapera karena membebani pekerja yang memiliki upah jauh dari harapan.

"Kami sendiri masih miskin. Dari mana pemikiran pemerintah buat itu jadi sebuah kewajiban. Serikat buruh menolak ini," kata Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban.

Elly mengatakan, mekanisme iuran Tapera tidak jelas membuat pekerja bingung dengan kepastian pencairan tabungannya sehingga ia tidak sepakat dengan iuran Tapera yang terkesan memaksa pekerja untuk ikut mengiur.

"Saya ambil upah Jakarta Rp 5,06 juta, sekitar Rp 126.000 per 1 bulan harus tabung dan tidak tahu kapan ambil (tabungan) karena diwajibkan usia 20 sampai 58 tahun. Di era fleksibilitas tenaga kerja saat ini tidak ada yang menjamin saya di perusahaan itu sampai 58 tahun, bagaimana dengan yang sudah meninggal?" ujarnya.

Artikel ini telah tayang diĀ Kompas.com