Punya Banyak Dokter Ahli, PP Muhammadiyah Minta ke Kapolri agar Ekshumasi Jenazah Afif Maulana

Editor: Joseph Wesly
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Afrinaldi (36, kanan) dan Anggun (32) berfoto dengan potret Afif Maulana (13), di kantor LBH Padang, Kota Padang, Sumatera Barat.

TRIBUN TANGERANG.COM, JAKARTA- Kasus tewasnya, Afif Maulana, remaja berusia 13 tahun di kota Padang masih belum menemui titik terang.

Polisi mengatakan bahwa Afif Maulana tidak masuk dalam daftar yang ditangkap polisi.

Polisi juga secara resmi mengatakan bahwa korban tidak pernah dianiaya polisi.

Namun pernyataan berbeda diungkap LBH Padang. LBH mengatakan, berdasarkan pengakuan dari orang yang diamankan polisi Afif diduga dianaya polisi hingga tewas.

Pasalnya beberapa remaja yang juga ditangkap saat itu mengatakan melihat Afif terakhir kali saat dikepung polisi yang melakukan razia geng motor.

Kini kabar terbaru datang dari Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LBHAP PP Muhammadiyah). Mereka mendatangi Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (22/7/2024).

Kedatangannya adalah untuk melayangkan surat kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berisi permohonan untuk dilakukan ekshumasi terhadap jenazah Afif Maulana, bocah 13 tahun di Padang, Sumatra Barat.

"Kami dari LBHAP PP Muhammadiyah Jakarta telah mendapatkan kuasa dari orang tua Afif Maulana, di sini ada surat kuasanya dan beliau sudah mendatangi kantor PP Muhammadiyah dan meminta bantuan pendampingan hukum," ujar Ketua Riset dan Advokasi Publik LBHAP PP Muhammadiyah, Gufroni, kepada wartawan, Senin.

Menurut dia, ekshumasi perlu dilakukan guna mengetahui penyebab kematian Afif Maulana.

Rencana ekshumasi ini bahkan sejalan dengan Kapolri yang sempat menyatakan pada awal Juli lalu bahwa jenazah Afif perlu dilakukan ekshumasi.

Baca juga: Pakar Forensik Tidak Temukan Kemungkinan Afif Maulana Lompat dari Jembatan Seperti Pernyataan Polisi

"Kami sudah ketemu dengan teman-teman LBH Padang, bahkan kami juga sudah koordinasi dengan Komnas HAM termasuk juga dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Jadi ini adalah rencana bersama kita untuk mengungkap sebetulnya apa yang menjadi penyebab Afif Maulana tewas," ujar dia.

"Apakah karena penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang selama ini beredar atau karena melompat dari Jembatan Kuranji. Ini kan dua hal berbeda, sehingga untuk melihat apa yang menjadi penyebab latar belakang, maka harapannya dengan adanya ekshumasi atau autopsi ulang bisa terungkap apakah betul dia jatuh atau karena faktor kekerasan fisik oleh aparat kepolisian di Padang," sambungnya.

Pihaknya, ucap Gufroni, bahkan siap jika diminta turut serta dalam ekshumasi itu dengan melibatkan dokter forensik.

"Kami mendengar pernyataan dari Bapak Kapolri kalau tidak salah tanggal 3 Juli intinya adalah akan mendorong untuk dilakukan autopsi ulang dengan melibatkan pihak luar," katanya.

"Maka atas itulah kami merasa bahwa kami punya pengalaman dokter-dokter Muhammadiyah siap membantu bilamana diperlukan untuk menjadi dokter forensik dari pihak Mabes Polri," lanjut dia.

Kontras Sebut Kasus Kekerasan Anak Seperti Afif Maulana, Kado Pahit HUT Bhayangkara

Koordinator komisi untuk orang hilang dan korban kekerasan (Kontras), Dimas Bagus Arya menyebut kasus kematian Afif Maulana menjadi kado pahit HUT ke-78 Bhayangkara .

Hasil survei Litbang Kompas, citra positif Polri naik 73,1 persen.

Namun, dalam catatan Kontras ada sejumlah kejadian yang justru mencoreng nama baik kepolisian.

"Mulai dari kasus Vina, yang menunjukkan ada ketidak profesionalitasan dalam institusi kepolisian dan ada permasalahan yang cukup akut di kepolisian. Ditambah lagi kasus penyiksaan terhadap anak. Ini semakin mencoreng korps Bhayangkara," ujar Dimas, Selasa (2/7/2024) di gedung YLBHI, Jakarta.

Ada yang salah dengan institusi kepolisian, termasuk bagaimana institusi kepolisian sebagai aparat penegak hukum nyatanya masih melanggengkan praktik yang sangat tidak manusiawi.

Praktik yang Dimas maksudkan adalah praktik penyiksaan dan praktik yang menyasar anak.

"Padahal pada standar ketentuan internasional, anak harus ditetapkan sebagai subjek hukum. Tidak boleh mendapat penghukuman secara fisik," ucapnya.

Hal tersebut kata Dimas telah diatur oleh Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.

Polisi harus mempertimbangkan tiga hal, prinsip nesesitas, legalitas dan proporsionalitas.

Dimas mengatakan, dari kasus Afif dan teman-temannya menunjukkan kultur kekerasan masih lestari di tubuh institusi kepolisian.

"Dalam satu tahun kemarin, Kontras juga menyoroti ada 14 korban anak yang jadi korban penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian," ujarnya.

Tahun ini pun, aparat kepolisian menjadi aktor pelaku dominan dalam konteks penyiksaan yang dilakukan baik untuk urusan pengakuan (mengejar pengakuan hukum) maupun untuk penghukuman.

Kontras secara terang-terangan mengatakan ada yang salah dengan institusi kepolisian.

Kontras juga menyoroti kasus Afif. Khususnya inkonsistensi pernyataan kepolisian atau Kapolda Sumatera Barat.

"Serta ada upaya untuk intimidasi, ada upaya tindakan-tindakan mengancam pendamping hukum, keluarga korban ataupun saksi-saksi. Kami melihat ini upaya untuk obstruction of justice," ucapnya.

Kontras melihat hal tersebut adalah upaya kepolisian menghalangi pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi keluarga korban.

Menurutnya, langkah Polda Sumatera Barat tersebut sangat fatal.

"Karena dalam konteks penegakan hukum, tindakan obstruction of justice merupakan salah satu langkah awal terjadinya pelanggaran hak asasi manusia," ucapnya. Artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com

 

Dapatkan Informasi lain dari Tribuntangerang.com via saluran Whatsapp di sini

Baca berita TribunTangerang.com lainnya di Google News