TRIBUN TANGERANG.COM, KENDARI- Kasus guru Supriyani kini memasuki babak baru. Meski masih berstatus tersangka, setidaknya Supriyani kini bisa menghirup udara segar.
Supriyani kini menjadi tahanan luar setelah permohonan pengacaranya dikabulkan setelah kasus yang menjeratnya viral di media sosial.
Kasus Supriyani viral di media sosial setelah dituduh melakukan penganiayaan terhadap muridnya sendiri.
Ayah korban, Aipda Wibowo yang merupakan seorang polisi melaporkan Supriyani ke Polsek Baito, Sulawesi Tenggara.
Penyidik di Polsek yang merupakan kolega ayah korban melakukan penyelidikan dan menatapkan Supriyani menjadi tersangka.
Selanjutnya korban diserahkan ke Kejaksaan untuk menunggu jadwal sidang.
Namun di sisi lain, Supriyani membantah melakukan aksi pemukulan terhadap muridnya sendiri.
Dia mengaku tidak pernah melakukan pemukulan karena dia dan sang murid berbeda kelas.
Namun setelaj Supriyani dilaporkan ke polisi muncul kejanggan dalam kasus ini.
Polisi disebutkan meminta uang damai hingga Rp 50 juta.
Berikut rangkuman 3 daftar kejanggalan kasus guru honorer Supriyani.
- Hasil Visum sebut korban terjatuh
Berdasarkan hasil visum, korban ternyata bukan dipukul Supriyani. Luka yang didapati putra Aipda Wibowo bukan berasal dari pukulan.
Baca juga: Eks Kabareskrim Sebut Kasus Supriyani Tidak Berakhir di Meja Hijau bila Aparat Paham Hukum
Sang bocah ternyata terluka karena jatuh di sawah.
Sebelumnya sang bocah juga pernah mengaku bahwa luka yang dialaminya itu karena jatuh di sawah.
Hal tersebut diungkapkan, Ketua PGRI Sultra, Abdul Halim Momo mengatakan kondisi korban berdasar hasil visum mengalami luka bukan seperti dipukul.
"Hasil visum yang merah-merah itu itu benturan benda tajam," kata Abdul Halim Momo.
Menurutnya korban juga mengakui bahwa luka itu didapat setelah jatuh di sawah.
Memang diakui anak itu dia jatuh di sawah tapi isu kasusnya dialihkan seakan guru ini kriminalisasi, ada kesan pemerasan," katanya.
Kuasa hukum Supriyani, Andri Darmawan mengatakan kondisi korban berdasar dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) pun sangat janggal.
Katanya kondisi korban mengalami kulit melepuh, bukan luka pukulan sapu.
"Korban dipukul menggunakan sapu sebanyak satu kali, saat dicocokkan dengan bekas luka, rasanya janggal sekali," katanya.
2. Ada dugaan permintaan uang
Kades Wonua Raya, Rokiman menyebut ada permintaan uang dalam kasus yang menjerat Supriyani.
Guru Supriyani diminta agar menyerahkan uang Rp 50 juta agar kasus tersebut dianggap selesai.
Namun keterangan Rokiman kini justru berubah-ubah.
Baca juga: Jilat Ludah Sendiri, Kades Rokiman Bantah Kanit Reskrim Minta Uang Damai Rp 50 Juta ke Supriyani
Sebelumnya,Rokiman viral pernah menyebat bahwa sosok yang meminta uang damai sebesar Rp 50 juta adalah Kanit Reskrim Polsek Baito.
Rokiman menyebut Kanit Reskrim Polsek Baitolah yang meminta dana Rp 50 Juta ke Supriyani agar dugaan kasus penganiayaan yang menimpa Supriyani bisa dicabut dan kasus selesai.
Namun kini Kades Rokiman menjilat ludahnya sendiri.
Kades Rokiman kini muncul dengan pengakuan baru soal sosok yang memiliki ide untuk memberikan uang Rp 50 juta agar kasus dugaan pengainiayaan yang ditudukan kepada Supriyani bisa selesai.
Sebelumnya, kronologi munculnya uang damai Rp 50 juta itu dibeberkan Kepala Desa Wonua Raya, Rokiman.
Rokiman menyebut angkat Rp 50 juta muncul saat menanyakan perkembangan kasus ini ke Polsek Baito.
Namun, kini beredar video viral pengakuan berbeda Rokiman soal uang damai pada kasus guru honorer dituding aniaya murid.
Baca juga: Buntut Jadikan Guru Supriyani Tersangka, Penyidik Polsek Baito Diperiksa Propam Polda Sultra
Dalam video viral itu, pria yang mengenakan jaket tersebut menjelaskan mengenai soal uang damai Rp 50 juta pada kasus guru honorer, Supriyani.
Awalnya Rokiman terlebih dahulu memperkenalkan diri serta jabatannya sebagai kades di Desa Wonoua Raya.
Setelah itu ia kemudian menceritakan soal awal munculnya uang damai Rp 50 juta.
Kata Rokiman, ia sebagai pemerintah desa berinisiatif untuk mencoba melakukan mediasi.
Karena sebagai tokoh masyarakat ia tak tega melihat masalah yang menimpa warganya.
Rokiman pun kemudian mencoba melakukan mediasi dengan cara diadakannya 'uang damai' untuk mendamaikan guru dan orangtua murid yang merupakan polisi.
"Saya sebagai pemerintah merasa bagaimana dengan warga saya. Saya mencoba untuk memediasi sendiri. Menawarkan opsi itu," katanya, melansir dari Tribun Sultra.
3. Korban kelas 1B
Daftar kejanggalan terakhir yakni posisi Supriyani dan korban.
Supriyani wali kelas 1A, sedangkan korban kelas 1B.
Dalam dakwaan disebut Supriyani memukul korban pukul 10.00 WITA
Sedangkan kata wali kelas 1B, LI, kelas telah kosong di jam tersebut.
Baca juga: Berani, Kepala Desa Wonua Raya Bongkar Sosok yang Meminta Uang Damai ke Supriyani
"Tidak sinkron karena keterangan wali kelas korban jam tersebut murid sudah pulang," katanya.
Mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji angkat bicara soal kasus yang menjerat guru honorer Supriyani.
Kata Susno Duadji kasus yang menjerat Supriyani seharusnya tidak terjadi bila polisi dan jaksa paham hukum.
Kasus yang mendera Supriyani tidak seharusnya berakhir di meja hijau terkait atas dugaan penganiayaan terhadap anak polisi berinisial RD.
Susno mengatakan kasus yang menimpa Supriyani menunjukan kurangnya pemahaman hukum dari aparat.
Pensiunan jenderal bintang tiga ini mengatakan kasus ini memiliki banyak kejanggalan dan rekayasa yang sangat tinggi.
"Saya sangat prihatin dan sedih. Kasus ini bau-baunya rekayasanya sangat tinggi" ujar Susno melansir dari Nusantara TV Prime.
Menurut Susno, kasus ini semestinya tidak masuk ranah pidana jika aparat penegak hukum memahami aturan dan yurisprudensi.
Baca juga: Anak Aipda Wibowo Hasyim Sempat Beri Pengakuan Berbeda Hingga Nama Supriyani Terseret
Susno menjelaskan berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung dan Peraturan Pemerintah tahun 2004, tindakan guru dalam mendidik murid tidak dapat dipidana.
"Guru itu harusnya bebas karena sudah dilindungi oleh yurisprudensi bahwa tindakan seperti itu bukanlah tindak pidana." sambungnya.
Lebih lanjut, Susno juga geram dengan proses hukum yang diterima kejaksaan tanpa mempertimbangkan fakta materiil.
Ia menegaskan bahwa proses hukum pidana harus berlandaskan pada kebenaran materil, bukan sekadar berkas administrasi.
"Pidana itu harus mencari kebenaran materiil. Kalau saksinya korban itu anak-anak maka dia itu bukan saksi, gugur itu saksi." tegasnya.
Eks Jenderal Bintang Tiga Polri juga mengingatkan aparat yang menangani kasus ini perlu memahami undnag-undang yang melindungi guru.
Dia mengimbau para junior di Polri untuk lebih mempelajari hukum dan memahami aturan-aturan yang berlaku dalam melindungi guru dari kasus hukum.
Dapatkan Informasi lain dari Tribuntangerang.com via saluran Whatsapp di sini
Baca berita TribunTangerang.com lainnya di Google News