PTUN Jakarta Terima Gugatan Warga Jakut Soal Sertifikat Tak Kunjung Terbit Selama 25 Tahun

Editor: Joko Supriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi Gedung PTUN Jakarta

TRIBUNTANGERANG.COM - PTUN Jakarta resmi menerima gugatan sejumlah warga pemilik ruko Marinatama Mangga Dua terkait pembatalan Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 477. 

Dalam agenda sidang hari ini, pihak ketiga juga turut dipanggil namun sayangnya mangkir dari agenda persidangan. 

"Hasil sidang ini, Kemhan tidak datang," kata Wisnu, salah satu warga kepada wartawan. 

Kendati demikian, sidang terus berlanjut di salah satu ruang sidang Kantor PTUN Jakarta. 

Sementara kuasa hukum 42 warga pemilik ruko, Subali mengatakan, surat gugatan yang diajukan pihaknya ke PTUN sudah dinyatakan sempurna. 

"Hasil sidangnya, surat gugatan sudah dinyatakan sempurna, dan memanggil sekali lagi Kemhan," ujarnya. 

Menurut Subali, materi sidang hari ini sudah ke tahap persiapan kelengkapan berkas. Kemudian pada pekan depan, sidang akan kembali berlanjut dengan agenda jawaban. 

Sekedar diketahui, sejumlah warga Marinatama Mangga Dua dan kuasa hukumnya mengajukan gugatan terkait pembatalan Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 477 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. 

Gugatan ke PTUN Jakarta tersebut diawali saat para warga itu telah membeli ruko pada tahun 1997 dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) kepada PT WB

Namun di tengah bergulirnya waktu, tiba-tiba pada tahun 2001 Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Utara menerbitkan SHP Nomor 477. 

Hal ini membuat para warga pemilik ruko tersebut khawatir. Padahal, setelah warga menandatangani PPJB, PT WB menjanjikan akan menerbitkan Sertifikat Hak Guna Bangun (SHGB). 

Namun, sampai saat ini apa yang dijanjikan kepada pemilik ruko tersebut hanya hiasan semata. Terbukti dari tahun 1997 hingga sekarang sertifikat HGB belum juga diterbitkan.

Ruko saat ini dikelola oleh koperasi di salah satu institusi. Tak hanya itu, warga juga dituntut untuk membayar sewa perpanjangan dengan nilai harga yang tidak masuk akal mencapai Rp300 juta per tahun, namun mendapat potongan (diskon) 50 persen sehingga membayar Rp150 juta.

Dia menilai terbitnya SHP itu bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah Negara. Kalaupun mau diterbitkan BPN, berupa hak pengelolaan lahan (HPL). 

Wisnu mengaku, pihaknya merasa lega karena gugatannya sudah dapat berlanjut ke tahap berikutnya. 

"Itu gugatan kita sudah diterima. Dan untuk legalitasnya segala macam sudah oke, sudah lanjut," tutupnya. 

Adapun sidang PTUN Jakarta hari ini dipimpin oleh Hakim Ketua Juliant Prajaghupa dengan anggota Dwika Hendra Kurniawan dan Gugun Surya Gumilang dengan no perkara 236/G/2025 PTUN Jakarta.