Resiliensi Ekonomi RI Jadi Sorotan DBS di Tengah Disrupsi Dunia

Editor: Joko Supriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

DBS menilai meski sebagian besar ekspor tekstil, furnitur, dan alas kaki Indonesia ke pasar Amerika Serikat (AS) terdampak tarif, imbasnya diperkirakan lebih kecil dibanding negara ASEAN lain.

TRIBUNTANGERANG.COM - DBS Group Research menilai ekonomi Indonesia memiliki daya tahan relatif kuat di tengah tekanan perdagangan global.

Penilaian itu disampaikan bersamaan dengan keputusan Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 5 persen dalam Rapat Dewan Gubernur, Rabu (20/8/2025).

"Sejumlah indikator aktivitas dengan frekuensi tinggi menunjukkan pelemahan momentum pertumbuhan di paruh kedua tahun ini, ditambah situasi perdagangan global yang cukup menantang, membuat BI memilih untuk tetap menjaga kebijakan yang mendukung pertumbuhan. Keputusan ini diambil di tengah inflasi yang masih sesuai target dan rupiah yang relatif stabil,” ujar Senior Economist DBS Bank Radhika Rao dalam keterangan tertulisnya, Kamis (21/8/2025).

DBS menilai meski sebagian besar ekspor tekstil, furnitur, dan alas kaki Indonesia ke pasar Amerika Serikat (AS) terdampak tarif, imbasnya diperkirakan lebih kecil dibanding negara ASEAN lain.

Beberapa faktor penopang ekonomi domestik menurut DBS antara lain inflasi yang mereda, meningkatnya belanja kesejahteraan pemerintah, serta arus masuk investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) yang positif.

"Indonesia memiliki posisi yang relatif lebih baik dalam menghadapi gelombang tarif baru dari AS. Struktur ekonomi yang beragam memberikan ketahanan yang diperlukan,” kata Radhika.

Selain itu, DBS menekankan pentingnya negosiasi perjanjian perdagangan bebas dengan mitra strategis, penghapusan hambatan tarif bagi lebih dari 99 persen produk Indonesia ke pasar AS, serta pengelolaan valuta asing yang komprehensif.

DBS juga memperkirakan inflasi Indonesia tetap terjaga dalam kisaran 3–4 persen sepanjang 2025–2026.

BI diprediksi mempertahankan sikap dovish hingga kuartal IV 2025, seiring potensi pelonggaran kebijakan moneter The Fed. 

Defisit fiskal diperkirakan bertahan di bawah 3 persen PDB, sementara pertumbuhan ekonomi 2026 berpeluang meningkat hingga 5,4 persen, tertinggi sejak 2018.

Dari sisi pasar keuangan, imbal hasil obligasi menurun seiring ekspektasi penurunan suku bunga, sementara rotasi saham ke big caps dinilai lebih tahan volatilitas global.

“Valuasi pasar saat ini masih relatif menarik dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya,” ujar Equities Specialist DBS Group Research Maynard Arif.

Selain itu, aliran modal asing yang sempat mereda juga diproyeksikan pulih pada paruh kedua tahun ini. Di sisi lain, nilai tukar USD/IDR diperkirakan akan mengalami konsolidasi jangka pendek, mencerminkan stabilisasi pasar dan adaptasi terhadap kebijakan moneter global.