Kabar Duka
Profil Eben Burgerkill Meninggal Dunia Saat Konser 48 Tahun Godbles di ICE BSD
Eben Burgerkill diduga mengalami serangan jantung hingga mengembuskan napas terakhirnya usai konser 48 tahun Godbless
Penulis: Irwan Wahyu Kintoko | Editor: Dian Anditya Mutiara
TRIBUNTANGERANG.COM BANDUNG - Eben Burgerkill meninggal dunia saat sedang beraksi diatas panggung, Jumat (3/9/2021) sore.
Eben Burgerkill diduga mengalami serangan jantung hingga mengembuskan napas terakhirnya.
Informasi yang diperoleh wartawan menyebutkan, Eben Burgerkill baru saja selesai memainkan sebuah lagu sebelum terjatuh di panggung.
Sesaat setelah terjatuh diatas panggung, Eben Burgerkill disebutkan pingsan.
Sebelumnya, Eben Burgerkill terlihat ikut beraksi di Konser 48 Tahun Godbless yang digelar virtual di ICE, Tangerang, Banten, Selasa (31/8/2021).
Eben Burgerkill disebutkan mengembuskan napas terakhirnya di RS Bungsu, Bandung, Jumat pukul 15.59 WIB.

"Telah meninggal dunia Aris Tanto (Eben Burgerkill)," tulis pesan yang diterima wartawan, Jumat sore.
Piyu Padi Reborn menyebutkan, Burgerkill tampil sebelum Padi Reborn.
"Almarhum (Eben Burgerkill) jatuh di atas stage. Mohon doanya," tulis Piyu Padi Reborn.
Kiki Aulia, sahabat Eben Burgerkill, membenarkan kabar meninggal Ebenz Burgerkill.
"Kabar itu benar (Eben Burgerkill meninggal dunia)," kata Kiki Aulia alias Ucup.
Profil Eben
Eben menyanyikan lagu itu lebih dari 30 tahun lalu. Lagu tersebut lagu pertama Iwan Fals yang bisa ia bawakan. Yang mengajarkannya seorang pengrajin kayu bernama Mat Ramli
. "Dia yang ajarin gitar," tutur Eben.
Saat remaja ia juga punya panggilan yang berasal dari lagu Iwan, yaitu Bento. Itu karena ia kerap mentraktir teman-temannya--layaknya bos eksekutif dan tokoh papan atas. "He-he, kalau di tongkrongan harus punya nickname," ujar Eben, yang bernama tulen Aries Tanto.
Tetapi gaya bermusik Iwan tak banyak memengaruhinya. Sebab ia lebih pilih band-band Eropa, seperti Gojira, Hacride, atau Lyxanzia.
Selain itu band Amerika old-school seperti Megadeth, Slayer, dan Anthrax juga jadi fondasinya bermusik. "Dari awal, Burgerkill sepakat untuk mengeksplorasi musik. Jangan stagnan," ujar Eben.
Eben adalah gitaris Burgerkill dan juga satu-satunya pendiri band yang masih bertahan. Bersama Burgerkill sejak 1995, ia telah malang melintang mencicipi berbagai macam panggung.
Dari skala kecil hingga pentas internasional macam Soundwave, Big Day Out di Australia, Bloodstock Festival (Inggris) dan Wacken Open Air (Jerman).
Prestasi internasional Burgerkill pun tak main-main, mereka pernah jadi penyabet kategori Metal As F*ck dari majalah Metal Hammer asal Inggris.
Hampir seluruh panggung besar dalam negeri juga telah dijajal. Mulai dari Java Rockin'land, Sonic Fair, Hammersonic hingga ke penjuru Kalimantan di Kukar Rockin' Fest.
Kini, band yang pernah jadi pembuka konser Lamb of God di Indonesia itu diperkuat vokalis Iyupi Yupiki alias Vicky menggantikan mendiang Ivan Firmansyah. Anggota lainnya, pembetot bas yang kalem, Ramdan Agustiana, gitaris Agung Ridho, dan Putra Pra Ramadhan, sebagai drummer yang terpilih lewat audisi--mengganti Abdul Kandris.
Band besutan Eben ini dinilai jurnalis Metal Hammer, Dom Lawson, sebagai harta karun di tengah citra buruk Indonesia sebagai negara korup. Juga amat jarang komunitas metal bisa hidup di negara berkembang. Hal itulah yang membuat kategori Metal as F*ck, yang merupakan kategori penghargaan band metal inspiratif, jatuh ke Burgerkill pada 2013.
Penghargaan tersebut semakin mengukuhkan popularitas Burgerkill hingga kini. Jumlah begundal--sebutan penggemar mereka--yang terlihat di akun @burgerkill mencapai 700 ribuan, dan terus bertambah. "Yang terdaftar resmi sebanyak 3 ribu orang," kata Eben.
Beritagar.id menyatroni rumah dedengkot band musik cadas ini pada Kamis lalu (13/7/2017) di Jalan Gemuruh, Turangga, Bandung. Dia mengenakan kacamata. Rambutnya yang gondrong dikuncir ekor kuda tertutup topi. Ia baru selesai salat asar. "Ibadah mah kewajiban bro," ujarnya, lantas menaikkan dua sudut bibirnya.
Kepada Heru Triyono, Andi Baso Djaya, Aditya Nugraha dan fotografer Wisnu Agung Prasetyo, Eben bercerita tentang ancaman pembakaran gitar oleh ayahnya, titik terendah Burgerkill dan pertarungan aliran di Ujungberung. Berikut kisahnya:
Panggil saya Bento
Bermula di SMA Negeri 1 Ujungberung. Pada 1993 Eben masuk ke sana dan bertemu Ivan dan Kimung, yang merupakan personel awal band. Mereka sering bertemu di ruangan guru bimbingan konseling karena sering kena kasus.
Mereka kedapatan mencoret-coret seragam yang digambar logo band kesukaan hingga tertangkap tangan sedang merokok. Nah, sambil dihukum di ruangan itu, mereka membicarakan musik, sampai akhirnya sepakat bikin band pada 1995.
Band itu bernama Burgerkill, yang merupakan ide dari Eben. Filosofinya sederhana: mengubah nama restoran Burgerking menjadi Burgerkill karena terdengar keren. Itu saja.
Bagi Eben, titik tertinggi band besutannya adalah ketika touring di Australia dan bermain di festival besar seperti Soundwave dan Big Day Out. Tentu termasuk juga penghargaan Metal as F*ck itu. "Tapi kami tidak puas sampai di situ," ujar Eben.
Sebenarnya panggilan Aries Tanto bukan Eben ketika tumbuh besar di Jakarta. Panggilannya Bento, diambil dari lagu Iwan Fals dengan judul Bento juga--dari album Swami (1989). Anak tongkrongan di Manggarai Jakarta memanggilnya dengan sebutan itu.
Ia sempat bergaul lama di kawasan tersebut. Ada nama gang Glatik di daerah itu yang merupakan tempat tinggal neneknya. Ketika itu Iwan Fals memang yang paling disuka publik--yang lagunya kerap didendangkan oleh anak-anak Manggarai.
Setiap kali makan atau trip bersama anak tongkrongan itu, Eben selalu jadi juru bayarnya. Selalu begitu. Sehingga anak-anak menjulukinya Bento. Tak peduli tanggal tua atau musim paceklik. Tidak pusing berapa orang teman yang ikut bersamanya, dia selalu yang membayar.
Dari panggilan Bento, lama-lama orang hanya memanggil kata depannya saja. "Ben, ben," kisahnya.
Kemudian nama panggilannya jadi Eben setelah pindah sekolah ke Ujung Berung, Bandung. "Gue dikeluarkan dari SMA 82," kata Eben.
Bandung sebenarnya pilihan keduanya untuk meneruskan sekolah. Pilihan pertamanya adalah Surabaya. Namun karena omnya yang tinggal di Surabaya itu polisi dan galak, membuatnya batal ke sana.
Eben saat itu merasa sudah malas menyelesaikan sekolah. "Tapi nyokap mendorong gue agar meneruskan," tutur lulusan Design Produk Itenas Bandung ini.
Eben memang dekat dengan Ibunya, juga ayahnya yang merupakan pengusaha mebel. Ia punya satu saudara pria. Pada masa kecilnya, sang ayah membebaskan Eben untuk menentukan masa depan. Termasuk di bidang seni.
Tetapi ada satu yang dilarang sang ayah: main gitar. Eben dituntut untuk tidak bermain gitar, tapi justru boleh memainkan piano dan organ. Ayahnya berharap, ia tak seperti anak tongkrongan yang menghabiskan malam dengan main gitar dan bermabuk-mabukan.
Karena kekeh belajar gitar, Eben kerap berdebat dengan ayahnya--yang menuntut Eben menjadi pengusaha nantinya, bukan gitaris.
Namun Eben terlanjur kesengsem oleh teknik gitar andalan para gitaris band-band Eropa, seperti dari Gojira, Hacride, atau Lyxanzia.
Selain itu band-band Amerika old-school seperti Megadeth, Slayer, dan Anthrax. "Gue nekat belajar," tuturnya.
Penderitaan Eben tak lama berlangsung. Di usianya ke-12, ia memberanikan diri membeli gitar sendiri dari celengannya. Kemudian ia belajar dari seorang pengrajin kayu bernama Mat Ramli.
Mat Ramli ini tinggal di sebuah mes bengkel kayu depan rumahnya.
Untuk beberapa waktu Eben sempat terlibat kucing-kucingan dengan ayahnya--saat belajar gitar. Bahkan ayahnya sempat akan membakar gitarnya ketika nilai sekolah Eben jelek.
"Yang jadi kambing hitam bokap gitar gue," katanya.
Namun hal itu terjadi hanya sesaat karena setelah melihat jiwa seni pada diri Eben membuat ayahnya mengalah. Lama-lama sang ayah mendukung--tapi dengan catatan. "Bokap selalu bilang, good job, I support you. Tapi jangan pernah tinggalin sekolah."
Selanjutnya, gitar pun jadi sahabat dan teman bertualang Eben untuk menjelajahi musik cadas, termasuk heavy metal--sampai akhir hidupnya. (lokadata)