Ancaman Krisis Pangan Global

Dunia di Ambang Krisis Kelaparan Global, Kaum Ekonomi Lemah Bakal Lebih Menderita

Harga pangan dunia pada Maret 2022 mencapai rekor tertinggi, imbas dari konflik Rusia-Ukraina. FAO memprediksi bakal terjadi krisis pangan global.

Penulis: Ign Prayoga | Editor: Ign Prayoga
realnoe vremya
Ilustrasi: Panen di ladang gandum. Harga pangan dunia pada Maret 2022 mencapai rekor tertinggi sebagai dampak dari konflik Rusia-Ukraina 

TRIBUNTANGERANG.COM, TANGERANG -- Harga pangan dunia pada Maret 2022 mencapai rekor tertinggi selama satu dekade terakhir.

Tingginya harga pangan dunia merupakan imbas dari konflik Rusia-Ukraina.

Penulis Dow Jones, Yusuf Khan menjelaskan, pendorong kenaikan harga pangan adalah meroketnya harga biji-bijian dari Rusia dan Ukraina yang naik 17,1 persen (year on year/yoy).

Selama bertahun-tahun, hasil bumi Rusia dan Ukraina merupakan komoditas penting di pasar pangan dunia. Sekitar 50 negara tergantung pada ekspor pangan Rusia dan Ukraina.

Baca juga: Tak Gentar atas Ancaman Pembubaran, Mahasiswa Bakal Gelar Unjuk Rasa Besar di Depan Istana

Untuk sektor gandum, kedua negara menyumbang 30 persen, sementara untuk ekspor jagung global dalam tiga tahun terakhir baik Rusia maupun Ukraina memasok sekitar 20 persen.

Kini, setelah perang berkecamuk, Rusia dan Ukraina mulai membatasi ekspor bahan pangannya.

Baru-baru ini, Perdana Menteri Ukraina, Denys Shmyhal mengatakan negaranya akan mengurangi produksi jagung sebanyak 20 persen dari total ekspor tahun lalu. Pengurangan pasti terjadi sebagai imbas dari berkurangnya area tanam.

Baca juga: Jadi Menu Favorit Berbuka Puasa, Pedagang Es Timun Suri Raup Keuntungan Rp 1 Juta per Hari

Tak hanya itu saja, inflasi harga pangan makin memburuk lantaran adanya perubahan cuaca ekstrim serta penguncian pascapandemi. Inilah yang kemudian membuat munculnya kelangkaan bahan pangan hingga memicu kenaikan harga.

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebut lonjakan harga terjadi secara global, dimana saat ini kenaikan tersebut telah menyentuh angka 159,3 poin. Angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan bulan Februari lalu yang hanya 141,4.

Kenaikan ini diklaim dapat memicu penumpukan inflasi pada konsumen. Seperti Sri Langka yang belakangan ini dikabarkan mengalami inflasi hingga memantik krisis ekonomi hebat.

Baca juga: Tergiur dengan Tawaran Dapat Bansos, Wanita Lansia 65 Tahun Justru Kehilangan Perhiasan Emas 15 Gram

Hal ini dialami Sri Langka lantaran negara ini tergantung pada produk impor, naiknya harga bahan-bahan pertanian seperti pupuk, produk pangan serta bahan bakar. Seluruh keadaan itu membuat Sri Langka kehabisan devisa negara.

Kenaikan harga pangan juga telah membuat beberapa negara berkembang mengalami krisis kelaparan global.

Nantinya jika kenaikan ini terus melaju bukan tidak mungkin jika kasus kelaparan dan gizi buruk di Asia-Pasifik, Afrika timur hingga utara, serta wilayah Timur Tengah terus meningkat.

FAO memprediksi keempat wilayah tersebut nantinya akan mengalami kekurangan gizi hingga menyerang 13 juta orang dari yang sebelumnya hanya sekitar 8 juta orang.

Baca juga: Beli Mitsubishi Pajero Sport Pakai Uang Receh Koin Rp 500, H. Endang Awalnya Liat Respon Dealer Dulu

Penderitaan kaum ekonomi lemah pun bakal semakin dalam. "Biaya energi yang tinggi, biaya makanan yang tinggi, dan kebutuhan yang tinggi, segmen termiskin dalam populasi akan paling merasakan tekanan," tambah Wakil Direktur Pasar dan Perdagangan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB Josef Schmidhuber.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved