Akta Kelahiran Jadi Kendala dalam Upaya Memutus Lingkaran Setan Kemiskinan di Kampung Pemulung
Anak-anak di kampung pemulung di Jurangmangu Barat, Ciputat, Tangsel, tak punya akta kelahiran sehingga sulit mendapatkan pendidikan formal.
Penulis: Rafzanjani Simanjorang | Editor: Ign Prayoga
TRIBUNTANGERANG.COM, CIPUTAT -- Ibu Acang adalah nama yang populer di kampung pemulung di Jurangmangu Barat, Ciputat, Tangerang Selatan. Dia adalah mantan pemulung yang kini jadi pengepul.
Ibu Acang meyakini pendidikan bisa merubah masa depan anak-anak. Dia pun memanfaatkan sebuah bangunan yang dinamai ruang belajar untuk dimanfaatkan oleh anak-anak pemulung setiap akhir pekan.
"Setiap orangtua pasti mau anaknya sukses, tidak memulung seperti orangtuanya," ujar Ibu Acang kepada TribunTangerang.com di lokasi, Jumat (13/5/2022).
Acang dan warga sudah memiliki kesadaran bahwa pendidikan jadi kunci untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik. Namun, ada kendala lain untuk mengenyam pendidikan formal bagi anak-anak di kampung pemulung.
Baca juga: GOR Dimyanti Kota Tangerang Terendam Banjir, Arena Porprov Banten 2022 Ini Rusak Parah
Acang mengatakan, anak-anak pemulung kerap tak bisa mengenyam pendidikan formal karena tidak punya dokumen kependudukan seperti akta lahir dan lainnya.
Apalagi pada keluarga pemulung yang merupakan pendatang dari luar daerah. Padahal, sebagai orangtua, mereka ingin buah hatinya sukses.
Mengusung tekad memutus lingkaran setan kemiskinan, Acang memanfaatkan ruang belajar menjadi sumur pengetahuan agar anak-anak pemulung bisa menimba ilmu.
"Semoga ini bisa diperhatikan pemerintah. Masak anak-anak nantinya mulung lagi karena saat ini tidak bisa sekolah," kata ibu dua anak ini.
Acang berharap pemerintah bisa membantu pemulung lewat kebijakan-kebijakannya. Di antaranya melarang impor sampah dan melihat urgensi penggusuran pangkalan pemulung.
Menurut Acang, sampah impor menjatuhkan harga barang-barang bekas hingga setengahnya. Padahal, barang bekas seperti botol plastik dan kardus kemasan merupakan barang-barang andalan untuk dijual ke pengepul yang kemudian menjualnya ke industri plastik dan kertas daur ulang.
"Impor sampah itu merusak harga, bahkan bisa setengah. Jadi kalau pemerintah impor sampah, semuanya tidak laku," kata Acang.
"Padahal mulung merupakan profesi terakhir ketika semua jalan telah buntu," imbuhnya.
Terkait lahan yang jadi pangkalan para pemulung, Acang juga minta pemerintah memperhatikannya dan tidak asal menggusur pemulung yang menempati lahan tersebut. "Kalau lahan belum mau dipakai, kiranya diberikan waktu dulu kepada para pemulung," kata Acang. (raf)