Lifestyle

Hari Kampanye untuk Mengakhiri Spesiesisme Sedunia, Mempertimbangkan Rasa Empati pada Hewan

Istilah "spesiesisme" diciptakan oleh psikolog Inggris Richard D. Ryder pada tahun 70an dan dipopulerkan oleh filsuf Australia Peter Singer.

Penulis: | Editor: Lilis Setyaningsih
istimewa/Act For Farmed Animals
Kelompok perlindungan hewan memperingati sebuah perayaan global untuk mempromosikan gagasan perlakuan yang sama bagi para spesies hewan yang berbeda 

TRIBUNTANGERANG.COM, JAKARTA — Pernahkah kita mempertanyakan mengapa kita bisa menyayangi beberapa hewan, namun mengonsumsi yang lainnya?

Pada tanggal 27 Agustus, diperingati sebagai Hari Kampanye untuk Mengakhiri Spesiesisme Sedunia (World Day for the End of Speciesism), untuk menyoroti perdebatan ini serta membantu meningkatkan kesadaran mengenai dampak hubungan kita dengan para hewan.

Di seluruh dunia, banyak organisasi dan kelompok sukarelawan ikut mengundang orang untuk mempertimbangkan kembali rasa empati mereka terhadap spesies hewan yang berbeda-beda.

Istilah "spesiesisme" diciptakan oleh psikolog Inggris Richard D. Ryder pada tahun 70an dan dipopulerkan oleh filsuf Australia Peter Singer dalam bukunya "Animal Liberation", yang diterbitkan pada tahun 1975.

Istilah ini menyelidiki dan menantang alasan mengapa manusia meletakan para hewan yang hidup berdampingan dengannya secara hierarkis, dan memutuskan spesies mana yang layak mendapat pertimbangan moral—dan mana yang tidak.

“Meskipun tidak ada perbedaan mendasar terkait dengan kemampuan mereka untuk mengalami rasa sakit dan memiliki emosi, dalam praktiknya kami menilai bahwa hewan yang diternak mengalami penderitaan yang jauh lebih intens dan berkepanjangan," ungkap Among Prakosa Manajer 21 Hari Vegan di Act For Farmed Animals (AFFA), sebuah kampanye bersama yang dijalankan oleh Animal Friends Jogja dan Sinergia Animal untuk meningkatkan kesejahteraan hewan di Indonesia.

Ia mengatakan, hewan yang diternak—seperti sapi, babi, dan ayam—harus tunduk pada praktik yang dianggap tidak bermoral, yang di banyak negara mungkin dinilai “mengerikan” untuk hewan peliharaan, seperti menghabiskan seluruh hidup mereka dikurung di ruang kecil, dan dimutilasi tanpa penghilang rasa sakit.

"Maka dari itu, hari ini adalah hari yang penting bagi kita untuk meluangkan waktu dan merenungkannya," imbuhnya.

Lebih dari standar ganda

Setiap tahun, lebih dari 70 miliar hewan darat dibunuh untuk dikonsumsi di seluruh dunia.

Jumlah ini 50 kali lebih banyak dibandingkan jumlah hewan yang saat ini dipelihara sebagai hewan kesayangan.

Menurut Among, pembedaan ini tentu saja menimbulkan perdebatan.

“Kita berbicara tentang miliaran sentient being, atau makhluk yang dapat merasakan sakit. Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa babi sama cerdasnya dengan anjing, dan mereka sama-sama bisa merasakan penderitaan," jelas Among, Sabtu (27/8/2022).

Tingkat perlindungan yang diberikan kepada setiap spesies sangat bervariasi antar negara, budaya, dan dari waktu ke waktu.

Baca juga: Harga Telur Diperkirakan akan Kembali Normal Dua Pekan Lagi

Dalam beberapa kasus kurang dari satu tahun. Misalnya, di tahun 2021, Inggris secara legal mengakui semua hewan vertebrata sebagai sentience, yang berarti mereka memiliki kapasitas untuk mengalami perasaan positif dan negatif seperti kesenangan, kegembiraan, rasa sakit, dan kesusahan.

Tahun ini, pemerintah Inggris menambahkan beberapa spesies invertebrata, seperti lobster, gurita, dan kepiting, ke dalam daftar ini.

Hal ini membantu memastikan bahwa kebutuhan dan kapasitas mereka untuk merasakan sakit dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan.

Hukum juga telah menyesuaikan ilmu pengetahuan di seluruh dunia.

Indeks Hak Hewan menawarkan gambaran tentang bagaimana berbagai spesies hewan diperlakukan dan dilindungi di seluruh dunia.

Indonesia berada di peringkat 36, skornya buruk dalam hal persentase hutan lindung dibandingkan total luas hutan, skor indeks kinerja lingkungan, pelarangan peternakan hewan untuk diambil bulunya, pengakuan terhadap hewan sebagai sentience, dan mendukung deklarasi universal atas kesejahteraan hewan.

Namun Indonesia lebih baik dalam hal penggunaan pestisida pada lahan pertanian, pengakuan atas penderitaan hewan, dan adanya hukum yang melarang tindak kekejaman terhadap hewan.

Baca juga: Kuliner Jakarta dan Sekitarnya, Sop Daging dan Gabus Pucung RM Ibu Wati Rasanya Nendang

Selama beberapa dekade ini, psikologi di balik spesiesisme telah menarik minat banyak para peneliti.

Di tahun 2019, sebuah penelitian menemukan bahwa empati dan kasih sayang terhadap spesies lain terus meningkat tergantung pada seberapa dekat hubungannya dengan manusia dan apakah mereka memiliki kesamaan sifat dengan kita.

Hasil serupa sebelumnya telah diamati oleh Janis Driscoll di University of Colorado pada tahun 1995, pengamatannya menunjukkan bahwa orang lebih cenderung memberi peringkat mamalia lain sebagai spesies "yang lebih disukai" daripada ikan atau burung.

“Fakta bahwa non-mamalia tidak dianggap sebagai hewan yang dapat disukai dapat membuat orang tidak peka terhadap penderitaan mereka.

Meskipun kita mungkin cenderung kurang berempati dengan ayam, misalnya, itu tidak berarti bahwa, mereka tidak memiliki kemampuan untuk merasakan dan menderita, bahkan sebaliknya.

"Namun, dalam hal jumlah, mereka adalah salah satu spesies yang paling menderita dalam sistem pangan kita”, ungkap Among.

Baca juga: Bukan Jargon, Studi Psikologi Membuktikan, Mencintai Diri Sendiri Adalah Kunci Kesehatan Mental

Menurut penelitian Driscoll, spesies non-mamalia juga umumnya dianggap kurang “pintar” oleh masyarakat.

“Ikan adalah contoh yang bagus. Meskipun bukti luas terkait dengan persepsi nyeri dan kemampuan kognitif kompleks yang dimiliki mereka, termasuk kemampuan pengenalan diri serta kompetensi matematika, ikan, merupakan spesies yang paling tidak dilindungi oleh kebijakan kesejahteraan hewan, terutama karena kesanggupan merasa mereka sangat diabaikan”, imbuhnya.

Bagi Among, semakin banyak pengetahuan tentang hewan sebagai sentience, semakin banyak orang yang merasakan paradoks di piring mereka.

“Jika seseorang tersentak saat mereka memikirkan pembunuhan anjing, bagaimana bisa, mereka memakan spesies yang terbukti memiliki kognisi dan perilaku yang sama kompleksnya, seperti babi?” katanya.

Seiring dengan masalah kesehatan dan lingkungan, mempertanyakan spesiesisme adalah salah satu alasan mengapa begitu banyak orang mengadopsi pola makan yang welas asih dalam beberapa tahun terakhir.

"Di Indonesia, Act for Farmed Animals telah membantu lebih dari 3.600 orang untuk membuat keputusan yang lebih sadar, memberikan dukungan secara online dengan gratis dari ahli gizi khusus dan resep nabati yang mudah”, tambah Among. .

Untuk mempelajari lebih lanjut tentang tantangan 21 Hari Vegan, akses ke: 21hariveg.org

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved