Sakit Hati Digusur Jokowi Ratusan KK di Rusunawa Jatinegara Nunggak Bayar Sewa

Ratusan penghuni Rusunawa Jatinegara memilih untuk menunggak bayar sewa karena sakit hati menjadi korban gusuran.

Penulis: Nuri Yatul Hikmah | Editor: Joko Supriyanto
Wartakotalive.com
Ratusan penghuni Rusunawa Jatinegara memilih untuk menunggak bayar sewa karena sakit hati menjadi korban gusuran. 

TRIBUNTANGERANG.COM, JAKARTA - Ratusan penghuni Rusunawa Jatinegara memilih untuk menunggak bayar sewa karena sakit hati menjadi korban gusuran.

Warga Rusunawa Jatinegara memang menjadi korban gusuran di tahun 2015 silam.

Mereka merupakan warga Kampung Pulo, Jakarta Timur.

Namun, meski sudah 8 tahun berpindah tempat ternyata mereka masih sakit hati karena rumahnya kini dipindah ke rumah susun sewa (rusunawa).

Mereka mengaku masih sakit hati, lantaran tak mendapatkan sepeser pun uang kerohiman atau biaya ganti rumahnya yang kini sudah rata dengan tanah.

Padahal, Gubernur DKI Jakarta kala itu, Joko Widodo (Jokowi), menjanjikan bakal membayar rumah-rumah warga di Kampung Pulo itu.

Alih-alih diberi uang pengganti, warga gusuran Kampung Pulo justru harus merasakan dinginnya lantai Rusunawa Jatinegara Barat, karena harta bendanya habis kena gusur.

Sementara, pemerintah disebut-sebut hanya mengeluarkan omong kosong saja.

Menurut Ketua RT 01 RW 09 Rusunawa Jatinegara Barat, Lita menyebut, mulanya warga dijanjikan akan disedikan unit rusun yang lengkap beserta perabot di dalamnya.

Namun kenyataannya, tidaklah demikian. Untuk mendapat kasur lantai sebagai alas tidur saja, warga harus adu otot terlebih dahulu dengan pengelola rusun. 

"Karena mereka dipindahkan secara paksa, rumah dia besar tiba-tiba dipindahin cuma dua kotak, dua kamar. Jadi dia punya rasa kesal, sakit hati. Sekarang gimana mereka mau bayar rumah, lu (pemerintah) aja enggak bayar (rumah yang digusur), jadi mereka itu bukan tidak mampu tetapi ada unsur sakit hati," kata Lita saat ditemui Warta Kota di Rusunawa Jatinegara Barat, Jakarta Timur, Jumat (4/8/2023).

"Bahkan saya sendiri tidak sempat mengangkut barang-barang yang ada di rumah, karena memang sudah ada mobil beko yang menghancurkan rumah kami. Jadi ibaratnya benar-benar kami ini diusir udah kayak binatang," imbuh dia.

Padahal, ungkap dia, kala itu Jokowi menjanjikan akan membayar semua harta benda warga, sampai kandang ayam sekalipun. 

"Waktu itu Jokowi pertama terpilih menjadi gubernur, dia datang ke Kampung Pulo mengatakan 'Setuju enggak kalau Kampung Pulo digusur dengan pembayaran sesuai?', jadi bukan cuman rumah yang dibayar, dari kandang ayam, kandang kambing, bahkan pohon, air sepic tank semua dibayar," ungkap Lita.

"Setelah itu mereka setuju dong karena bukan ganti rugi, tetapi ganti untung. Jadi karena itu mereka setuju," lanjut dia. 

Namun rupanya, keputusan setuju itu menjadi mimpi buruk terpanjang bagi warga Kampung Pulo.

Pasalnya setelah melewati beberapa kali rapat bersama pejabat pemerintah Pemprov DKI Jakarta, diketuk palu lah bahwasannya tidak ada pembayaran sama sekali untuk warga yang digusur.

"Dengan waktu berjalan tiba-tiba Pak Jokowi jadi presiden, gantilah sama Ahok, rapat pertama lancar. Rapat kedua terlaksana, rapat ketiga itu mulai ada lonjakan itu tidak akan ada pembayaran full tetapi pembayaran itu cuma akan dibayar sesuai dengan NJOP," kata Lita.

Kala itu, lanjut dia, warga masih legowo dengan keputusan tersebut, asalkan rumah-rumah mereka yang hancur, bisa dibayar. 

Namun, tiba-tiba ada perubahan lagi yang menyebut bahwa tanah mereka tidak dibayar karena milik negara.

Sehingga yang dibayar hanyalah bangunannya saja. 

"Kami ikutin lagi enggak masalah dan rapat yang terakhir itu benar-benar rapat yang bikin argumen naik darah warga," kata dia.

"Pada tanggal 14 April 2015 bulan Agustus, itu rapat terakhir dinyatakan tidak ada pembayaran sama sekali. Marah lah kami, apa alasan mereka tidak mau membayar uang gusuran di Kampung Pulo? waktu itu Ahok bilang kalau misalkan itu adalah tanah negara, itu tandanya kami warga liar," katanya lagi.

Lita berujar, apabila warga Kampung Pulo adalah liar, tidak mungkin mereka memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang terdaftar, Kartu Keluarga (KK), serta tidak mungkin memiliki biodata yang jelas.

Lebih lanjut, Lita mengarakan bahwa para warga yang dipindahkan ke Rusunawa Jatinegara, tak lagi memiliki usaha lantaran ikut tergusur. 

Sementara untuk memulai usaha yang baru, para warga tidak diperkenankan mengisi lapak dagang sebelum melunasi tunggakan sewa rusun.

"Mereka kan yang tadinya pedagang di Kampung Pulo, yang punya warung, punya tempat usaha, setelah pindah ke sini kan mereka kehilangan tempat dagang," kata Lita.

"Sedangkan kalau misalkan dagang di sini harus memenuhi persyaratan yaitu harus lunas tunggakannya, gimana mau lunas, mau bayar cicilan, sedangkan itunya aja (rumah gusuran) belum dibayar. Seharusnya kasih izin dulu mereka dagang, baru mereka bisa mencicil bukan lunasi dulu baru dicicil," lanjut dia.

Selain itu, menurut Lita, para warga Rusunawa Jatinegara menjadi sering menunggak bayar sewa lantaran tidak mempunyai pekerjaan lagi. 

"Atau mereka punya pekerjaan, cuman pekerjaan dia itu tidak sesuai dengan pendapatannya. Jadi cukup untuk buat makan saja," jelas dia. 

Pasalnya, lanjut Lita, warga dibebankan dengan biaya sewa rusun sebesar Rp 300 ribu setiap bulannya, di luar biaya listrik dan air. 

Selain itu, ada bunga berjalan sebesar Rp 7.000 apabila warga sampai jatuh tempo belum membayar. 

"Awalnya kami itu gratis dulu enam bulan ditempatin di rumah susun. Setelah kami tempatkan itu, ternyata ada perubahan tiga bulan gratis," kata Lita.

"Setelah kami pindah, perjanjian ada bantuan ini bantuan itu, tadi fasilitasnya ada TV, kompor, tempat tidur, semuanya sudah ada. Nyatanya waktu pas kami pindah itu tidak ada apa-apa anak kosong," imbuhnya.

Menurutnya, kebanyakan warga yang membayar uang sewa adalah pencari rusun atau yang tidak terprogram.

Sementara untuk warga gusuran atau yang terprogram, diakui oleh Lita, banyak dari mereka yang menunggak bayar sewa lantaran rasa sakit hati tersebut. 

Total, sda 515 pintu dalam Rusunawa Jatinegara Barat itu. Tetapi, satu pintu unit, bisa diisi oleh dua atau tiga kartu keluarga (KK).

Sehingga jika diperkirakan, penghuni Rusunawa Jatinegara Barat, ada sebanyak 1.630 jiwa.

"Sampai sekarang masih berharap enggak putus asa untuk digratiskan atau dikembalikan. Saya berharap ingin dikembalikan rumah kami, kalau memang bisa," jelas Lita.

"Tetapi kalau enggak bisa, kami minta digratiskan. Kalau misal bida dikembalikan kami minta rusunawa ini menjadi rusun kami," pungkasnya. (m40)

 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved