Tahan dan Paksa Penonton DWP Tes Urine Acak, Polisi Disebut Sewenang-wenang: Harus Ada Bukti Awal
Kecuali ada barang bukti ada alat bukti yang cukup sehingga orang harus menjalani tes urine.
TRIBUN TANGERANG.COM, JAKARTA- Polisi disebut sewenang-wenang dalam hal pemaksaan tes urine yang dilakukan terhadap penotnon Djakarta Warehouse Project.
Pasalnya saat melakukan tes urine, polisi tidak membawa surat perintah dari pengadilan sehingga seharusnya hal tersebut harus dilakukan secara sukarela.
Kecuali ada barang bukti ada alat bukti yang cukup sehingga orang harus menjalani tes urine.
Namun bila meras tidak menyalahgunakan narkoba atau memilki narkoba seseorang bisa menolak tes urine.
Hal itu dikatakan Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati.
Dia mengatakan polisi telah berbuat sewenang-wenang dengan memaksa para penonton DWP melakukan tes urine secara acak hingga menahan mereka di kantor polisi.
Katanya, Razia semacam itu juga dinilai bertentangan dengan hukum.
Baca juga: Amir Penonton DWP Cerita Kisahnya Diperas Polisi Meski Urine Dinegatif, Harus Bayar Rp 350 Juta
Mengacu pada pasal 75 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, penggeledahan dan tes yang menggunakan sampel dari bagian tubuh—baik urine, rambut, atau darah—hanya boleh dilakukan dalam konteks penyidikan.
Dalam penyidikan pun, kata Maidina, polisi harus memiliki dua alat bukti sebagai dasar penggeledahan dan tes urine.
Maidina menjelaskan penggeledahan harus berdasar pada izin pengadilan dan tidak bisa dilakukan secara acak.
"Di izin tersebut harus dijabarkan apa bukti permulaan yang cukup," kata Maidina.
Dalam kondisi tertentu, aparat bisa menggeledah tanpa izin pengadilan kalau seseorang tertangkap tangan menguasai narkotika.
"Kalau tidak ada temuan narkotika, ini sifatnya bukan penyidikan, tapi sifatnya pencegahan. Bisa ditolak karena sifatnya sukarela," jelasnya.
"Kalau enggak ada barang bukti narkotikanya, tidak bisa dipaksa tes urine. Sekali pun dia dites urine, pendekatannya bukan penghukuman yang membuat orang takut sehingga bisa diancam dengan membayar uang tertentu biar enggak dipenjara," kata Maidina.
Lalu bagaimana masyarakat sebaiknya merespons razia acak dan sewenang-wenang seperti ini?
Maidina menyarankan masyarakat bisa menanyakan lebih dulu dasar mereka ditarik.
"Kalau dibilang tindak pidana narkotika, tanya mana bukti narkotikanya? Ditemukan atau tidak? Kalau dibilang untuk pencegahan, tanya juga surat perintah untuk melakukan penggeledahan itu mana?" kata Maidina.
"Di surat perintah itu, harus ditujukan tindakan yang benar-benar spesifik terhadap nama kita, kondisi event-nya harus dijelaskan. Seharusnya, surat perintah diterbitkan oleh pengadilan."
Ketika tindakan itu disebut sebagai pencegahan, maka masyarakat bisa menolak dengan mengatakan,
"Saya tidak tertangkap tangan menggunakan narkotika, saya tidak tertangkap tangan memegang narkotika, saya bisa menolak untuk upaya pencegahan tersebut".
Kalau seseorang akhirnya melakukan tes urine secara sukarela dan hasilnya positif, maka polisi juga tidak bisa menjadikan hasil tes urine tersebut untuk menahan atau memenjarakan seseorang.
"Pilihannya adalah untuk bisa direhab. Kalaupun dipidana, itu adalah penyalahgunaan narkotika. Kalaupun penyalahgunaan narkotika, orang itu tidak bisa ditahan sama sekali," jelas Maidina.
Diduga dilakukan secara terorganisir
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mendesak agar polisi mengusut kasus ini secara transparan.
Tak cuma dalam ranah etik, tapi juga pidana.
Bambang menduga tindakan sewenang-wenang polisi ini dilakukan secara terorganisir.
"Ada alur komando, ada tes urine, ada tahapan-tahapan yang dilakukan. Ini jelas dilakukan secara terorganisir," kata Bambang ketika dihubungi.
"Kalau Divisi Propam benar-benar serius menjadikan ini sebagai momen pembenahan, harus dibuka secara transparan.
Personel yang terlibat, bukan hanya di level bawah saja, bahkan yang memberi komando, harus ditindak," tuturnya.
Menurutnya, modus pemerasan lewat razia semacam ini sudah menjadi rahasia umum di satuan narkotika.
Ini bukanlah kasus pemerasan berkedok razia narkoba pertama. Hanya saja, kasus-kasus sebelumnya tak sampai viral di publik.
"Modus pemerasan yang terjadi di DWP ini hanya puncak gunung es. Kasus seperti itu sangat banyak, hanya saja karena ini korbannya melibatkan WNA, banyak yang bisa bersuara dengan leluasa," kata Bambang.
Namun selama ini, Bambang menilai tak ada pengawasan dan penindakan terhadap personel yang melakukannya.
Kasus semacam ini akhirnya menjadi ladang uang aparat dan terus berulang.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Choirul Anam—yang ikut mengawasi gelar perkara kasus ini—mengatakan polisi telah menyusun struktur peristiwa lengkap dari kasus ini.
"Struktur peristiwa itu juga menunjukkan struktur pertanggungjawaban. Dalam konteks nanti bagaimana kerangka pemberian sanksi, ya kalau dengan struktur pertanggungjawaban ya proporsional," kata Anam.
"Orang yang paling bertanggungjawab akan mendapat sanksi lebih berat," tuturnya.
Anam juga mengatakan kasus ini berpeluang besar untuk diusut hingga ke ranah pidana.
"Kami akan berkomunikasi dengan Reskrim ketika proses etiknya sudah berjalan. Kalau dalam proses etik nanti kelihatan struktur peristiwanya seperti apa, saya yakin Kapolri dan Kabareskrim akan menindaklanjuti itu," kata Anam. Artikel ini telah tayang di Kompas.com
Informasi lain dari Tribuntangerang.com via saluran Whatsapp di sini
Baca berita TribunTangerang.com lainnya di Google News
Kepala Desa di Banten Bakal Jalani Tes Urine, Mendes: Mereka Harus jadi Panutan Masyarakat |
![]() |
---|
Peran Masing-masing 3 Polisi yang Dipecat Polri karena Peras Penonton Djakarta Warehouse Project |
![]() |
---|
Terbukti Ikut dalam Kasus Pemerasan Penonton DWP, Eks Kanit Dihukum Demosi 8 Tahun |
![]() |
---|
Polri Sudah Pecat 3 Polisi yang Terlibat Pemerasan Penonton DWP, Uang Rp 2,5 Miliar Dikembalikan |
![]() |
---|
Punya Prestasi Segudang, AKBP Malvino Edward Yusticia Dipecat Polri karena Peras Penonton DWP |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.