Paus Fransiskus Minta Aung San Suu Kyi Dibebaskan dan Tawarkan Perlindungan di Vatikan

Editor: Joseph Wesly
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pemimpin sipil Myanmar yang digulingkan, Aung San Suu Kyi, saat berpidato di Myanmar Education Development, Naypyidaw, 28 Januari 2020.

TRIBUN TANGERANG.COM, VATIKAN- Pemimpin sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi kini sedang menjalani masa tahanan 27 tahun atas berbagai tuduhan mulai dari korupsi hingga tidak mematuhi pembatasan pandemi Covid.

Suu Kyi (78), mantan pemimpin sipil Myanmar yang dihormati karena menggalakkan perdamaian di negaranya.

Namun Suu Kyi ditangkap oleh junta ketika militer melakukan kudeta Myanmar pada 2021.

Media-media lokal melaporkan, ia menderita masalah kesehatan selama ditahan.

Paus Fransiskus pada Selasa (24/9/2024) menawarkan perlindungan bagi Aung San Suu Kyi di Vatikan. 

"Saya meminta pembebasan Aung San Suu Kyi dan saya bertemu putranya di Roma. Saya mengusulkan kepada Vatikan untuk memberinya perlindungan di wilayah kami," kata Sri Paus, menurut laporan pertemuan dengan para Yesuit di Asia Tenggara dalam kunjungannya awal bulan ini. 

Baca juga: Ketika Paus Fransiskus Kritik Trump dan Harris, Singgung Soal Aborsi dan Pengusiran Imigran

Koran Corriere della Sera kemudian menerbitkan artikel oleh pendeta Italia Antonio Spadaro yang mengutip hasil pertemuan pribadi di Indonesia, Timor Leste, dan Singapura itu antara 2-13 September 2024. 

"Kita tidak bisa tinggal diam tentang situasi di Myanmar saat ini. Kita harus melakukan sesuatu," Paus dilaporkan mengatakan demikian, dikutip dari kantor berita AFP.

"Masa depan negara Anda haruslah damai berdasarkan penghormatan terhadap martabat dan hak setiap orang, serta penghormatan terhadap sistem demokrasi yang memungkinkan setiap orang berkontribusi untuk kebaikan bersama," lanjutnya.

Pada 2015, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang dipimpin Su Kyi memenangi pemilihan umum demokratis pertama di Myanmar dalam 25 tahun.

Peraih Nobel Perdamaian pada 1991 ini pernah dipuji sebagai pelopor hak asasi manusia. 

Akan tetapi, ia kehilangan dukungan dari para pendukung internasional pada 2017 setelah dituduh tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan tentara Myanmar menganiaya minoritas Rohingya. 

Penindasan itu kemudian menjadi subyek investigasi genosida oleh PBB yang masih berlangsung. Menurut para pengungsi Rohingya di negara tetangga Myanmar yakni Bangladesh, penganiayaan tersebut terus berlanjut. Artikel ini telah tayang di Kompas.com 

Dapatkan Informasi lain dari Tribuntangerang.com via saluran Whatsapp di sini

Baca berita TribunTangerang.com lainnya di Google News