MK Putuskan SD-SMP Negeri dan Swasta Gratis, Warga Sambut Baik Tapi Kapok dengan Janji Manis

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

MBG SEKOLAH KHUSUS - Suasana Sekolah Khusus (SKH) 1 Kota Tangerang Selatan, Senin (28/3/2025) itu tampak lebih semarak dari biasanya. (Warta Kota/Yulianto)  

TRIBUNTANGERANG.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan terkait wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar, tidak dikenakan biaya.

Hal itu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan UUD 1945.

Artinya, siswa yang berstatus wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) akan bebas biaya, baik pada sekolah negeri maupun untuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta).

Lalu seperti apakah tanggapan para orangtua yang tengah mempersiapkan sekolah untuk anak-anaknya?

Salah seorang ibu anak satu bernama Hapsari (31), putusan tersebut merupakan kabar baik untuk ssmua orang tua.

Pasalnya, hal tersebut akan membuat pendidikan di Indonesia semakin merata.

"Kalau swasta digratiskan maka setiap anak dipastikan bisa mengenyam pendidikan, tidak harus war (berebut) di sekolah negeri, karena tentu sekolah negeri pun memiliki kapasitas," kata Hapsari kepada Warta Kota, Kamis (29/5/2025).

Kendati demikian, Hapsari sebenarnya tak mau berharap banyak sebab sudah kapok dengan janji manis pemerintah.

Sehingga selama putusan tersebut belum diterapkan, maka Hapsari akan tetap menyiapkan dana pendidikan untuk anaknya yang kini berusia 4,5 bulan.

"Di era pemerintahan sekarang, suka tiba-tiba kasih janji manis, tapi dananya enggak ada, lalu mengorbankan hal lain. Kalau niatnya baik, tapi enggak bisa mengeksekusi, mending tidak usah," katanya. 

Pendapat lain juga disampaikan oleh Reva (34), ibu dua anak ini mengaku menyambut baik hal tersebut. 

Hanya saja, ia khawatir jika bayaran yang harus didapat anak swasta gratis adalah kualitas pendidikan dan fasilitas yang menurun.

"Karena kenapa orangtua memilih sekolah swasta? biasa memang mengejar kualitas sekolah dan cara mendidiknya," kata Reva kepada Warta Kota, Kamis.

"Yang negeri gratis aja kualitas enggak sama rata (kualitasnya), gimana mau seluruh sekolah bisa dijaga kualitas pendidikannya?" pungkas dia.

Terkait hal ini, Ubaid Martaji selaku Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebut jika keputusan MK tersebut adalah tonggak sejarah atas perjuangan ia dan rekan-rekan lainnya dalam memperjuangkan pendidikan di Indonesia. 

Sehingga, Ubaid memandang bahwasannya keputusan itu merupakan amanat konstitusi yang kini dipertegas oleh lembaga tertinggi hukum. 

Namun, kata dia, putusan ini tidak bisa hanya dialamatkan ke Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) semata, tapi juga harus kepada Presiden selaku kepala negara.  

"Putusan MK ini adalah perintah langsung kepada negara untuk menjamin hak dasar pendidikan anak. Dan dalam struktur negara kita, pemegang kunci implementasi perintah konstitusi ini adalah Presiden Republik Indonesia," kata Ubaid kepada Warta Kota, Kamis.

"Ini bukan hanya tugas Kemendikdasmen, karena Kemendikdasmen sendiri adalah kementerian dengan pengelolaan anggaran yang relatif kecil dibandingkan total anggaran pendidikan negara," imbuhnya.

Menurutnya, ada lima alasan mengapa Presiden RI, Prabowo Subianfo harus turun tangan mengawal putusan MK ini.

Pertama, terkait masalah anggaran pendidikan yang besar, tetapi justru salah urus.

"Fakta di persidangan menunjukkan bahwa anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD sesungguhnya lebih dari cukup untuk menggratiskan pendidikan dasar di seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta," ungkap Ubaid.

"Namun selama ini, anggaran tersebut terpecah dan dikelola oleh puluhan kementerian dan lembaga yang tidak terkait langsung dengan pendidikan, menyebabkan inefisiensi dan salah sasaran," lanjutnya.

Satu-satunya pihak yang dapat melakukan reformasi menyeluruh terhadap tata kelola anggaran tersebut adalah Presiden RI.

Kedua, adanya kewenangan lintas kementerian. Ubaid memandang, ada pengubahan skema pembiayaan pendidikan dan mengintegrasikan sekolah swasta ke dalam sistem bebas biaya. Sehingga, memerlukan koordinasi lintas kementerian yang kuat. 

Sementara koordinasi dan keputusan strategis pada level tersebut, hanya bisa dipimpin oleh Presiden.

Ketiga, Ubaid melihat bahwa implementasi putusan MK memerlukan payung hukum turunan yang kuat seperti Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres). 

"Proses pembentukan regulasi ini berada di bawah kendali Presiden sebagai kepala pemerintahan. Tanpa arahan tegas dari presiden, regulasi ini bisa tertunda atau tidak efektif," jelasnya.

Empat, kunci utama dalam penyuksesan ini digambarkan Ubaid melalui adanya political will.

"Tanpa komitmen politik yang jelas dari Presiden, putusan MK ini berisiko menjadi sekadar teks hukum tanpa dampak nyata di lapangan," jelas dia.

Terakhir, Ubais menyebut jika putusan MK ini adalah penegasan terhadap amanat Konstitusi UUD 1945 tentang hak setiap warga negara atas pendidikan. 

Sehingga sebagai kepala negara, Presiden memiliki tanggung jawab konstitusional dan moral tertinggi untuk memastikan hak ini terpenuhi tanpa hambatan biaya. (m40)