Laporan Wartawan
TribunTangerang.com, Ikhwana Mutuah Mico
TRIBUNTANGERANG.COM, PAMULANG - Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Kota Tangerang Selatan (Tangsel) menonaktifkan sementara Kepala SD Negeri Ciledug Barat, Benda Baru, Pamulang, menyusul dugaan keterlibatan dalam praktik penjualan seragam sekolah kepada orang tua murid sebesar Rp1,1 juta per anak.
Langkah ini diambil sebagai bentuk komitmen Dindikbud Tangsel dalam menjaga integritas dan transparansi dunia pendidikan di lingkungan sekolah negeri.
“Sudah saya nonaktifkan dari jabatannya terhitung hari ini sampai sanksi diputuskan,” ujar Kepala Dindikbud Tangsel, Deden Deni, saat dikonfirmasi, Senin (11/8/2025).
Deden menjelaskan, proses penyelidikan telah diserahkan kepada tim khusus dari inspektorat, dan hasilnya kini tengah diproses lebih lanjut oleh Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kota Tangsel.
“Masih dalam proses, karena BKPSDM juga membentuk tim untuk menentukan sanksi yang tepat,” jelas Deden.
Menurutnya, apapun sanksi yang akan dijatuhkan nantinya diharapkan menjadi keputusan yang adil dan transparan.
Adapun sanksi yang tengah dipertimbangkan terhadap kepala sekolah bersangkutan meliputi empat kategori, yaitu pencopotan dari jabatan, penurunan pangkat, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat.
Sebelumnya, Tangsel sempat dihebohkan dengan kisah memilukan seorang ibu rumah tangga asal Pamulang, Nur Febri Susanti (38), yang harus merelakan kedua anaknya gagal masuk SD Negeri Ciledug Barat.
Penyebabnya, Febri tak sanggup membayar pungutan seragam sekolah yang mencapai Rp1,1 juta per anak.
Padahal, sebelumnya, Febri telah menerima surat resmi dari pihak sekolah pada 11 Juli 2025 yang menyatakan bahwa kedua anaknya telah diterima di sekolah tersebut.
"Anak saya sudah diterima, tapi saat daftar ulang disodori daftar biaya seragam Rp1,1 juta. Itu harus lunas dan ditransfer ke rekening pribadi kepala sekolah," kata Febri saat ditemui di rumahnya di kawasan Benda Baru, Pamulang, Rabu (16/7/2025).
Febri mengaku keberatan dengan permintaan tersebut, mengingat kondisi ekonomi keluarganya.
Diketahui, dalam kesehariannya ia berjualan pempek secara online, sementara suaminya bekerja sebagai tukang parkir di kawasan Rempoa, Ciputat.
"Penghasilan suami saya pas-pasan. Saya juga jualan seadanya. Kalau bisa dicicil, mungkin kami masih bisa usahakan. Tapi ini diminta langsung, tanpa opsi," ujarnya.
Menurut Febri, selain mahal, mekanisme pembayaran melalui rekening pribadi kepala sekolah juga membuatnya tidak nyaman. Ia pun sempat membagikan pengalamannya ke media sosial.
Tak hanya itu, Febri mengaku mendapatkan respons yang mengecewakan dari pihak sekolah.
"Kepala sekolahnya bilang, kalau saya tidak sanggup, lebih baik cari sekolah lain saja," ungkapnya.
Adapun, biaya seragam yang diminta itu meliputi pakaian muslim, baju batik, rompi, topi, atribut, serta buku paket pelajaran.
Namun, Febri menilai besaran biaya tersebut tidak masuk akal untuk sekolah negeri yang seharusnya menerapkan prinsip pendidikan gratis. (m30)