Partai Politik

Kini Bela Moeldoko, Jasa Yusril Sempat Ingin Dipakai Demokrat, tapi Harganya Dianggap Tak Masuk Akal

Herzaky menyebut peristiwa itu terjadi seminggu sebelum terbit keputusan Kemenkumham, sekitar minggu ketiga Maret 2021.

Editor: Yaspen Martinus
Dok pribadi
Mewakili kepentingan hukum empat anggota Partai Demokrat, advokat Yusril Ihza Mahendra dan Yuri Kemal Fadlullah mengajukan judicial review AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung. 

TRIBUNTANGERANG, JAKARTA - Ketua Bappilu Partai Demokrat Andi Arief menyebut Yusril Ihza Mahendra menawarkan jasa membela DPP Partai Demokrat kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dengan membanderol harga Rp 100 miliar.

“Terkait informasi Rp 100 miliar, kami mempersilakan media untuk langsung menanyakannya kepada Bang Andi Arief."

"Beliau yang punya informasi itu. Kami sendiri belum bertemu langsung dengan Bang Andi Arief. Nanti akan kami tanyakan,” ujar Kepala Bakomstra DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra, Kamis (30/9/2021).

Baca juga: DUA Pekan Beruntun Indonesia Bebas Zona Merah Covid-19, Risiko Rendah Bertambah

Namun, Herzaky menyebut peristiwa itu terjadi seminggu sebelum terbit keputusan Kemenkumham, sekitar minggu ketiga Maret 2021.

Ia mengakui memang ada masukan kepada DPP Partai Demokrat untuk menggunakan Yusril sebagai pengacara Demokrat. Pendekatan pun dilakukan kepada Yusril.

Tapi, kerja sama itu urung dilakukan, karena menurut pengurus DPP yang ditunjuk menemui tim Yusril, harganya tidak masuk akal, mengingat posisi DPP Partai Demokrat kepemimpinan AHY berada di pihak yang benar.

Baca juga: Jika Terima Tawaran Kapolri, 56 Pecatan KPK Bakal Jadi ASN Bidang Pencegahan Korupsi

Seminggu kemudian, Kemenkumham menolak mengesahkan kepengurusan hasil KLB dengan Ketua Umum Moeldoko.

Artinya, kata Herzaky, keyakinan Partai Demokrat benar, kepemimpinan AHY berada di pihak yang benar secara hukum dan sah diakui pemerintah.

Kemudian tiga bulan lalu, sekitar Juni 2021, Partai Demokrat mendapatkan informasi ada rencana judicial review dari kubu Moeldoko.

Baca juga: DAFTAR Terbaru Zona Hijau Covid-19 di Indonesia: Dua di Papua Barat, Satu di Papua

Sebelumnya, Moeldoko juga sempat memimpin rapat bersama timnya terkait gugatan di PTUN, bertempat di kediamannya di Kompleks Mewah Jalan Kencana Indah, di dekat kawasan bukit golf Pondok Indah Jakarta Selatan.

"Adapun rencana judicial review itu dimatangkan pada awal Agustus melalui pertemuan di rumah Moeldoko di Jalan Lembang Menteng."

"Menurut informasi, rumah di jalan Lembang yang sering dijadikan tempat berpolitik kelompok KLB itu, sebenarnya adalah rumah negara, tepatnya milik Angkatan Darat," bebernya.

Baca juga: Mau Terus Berantas Korupsi, Pecatan KPK Bentuk IM57+ Institute, Novel Baswedan Jadi Executive Board

Rapat awal Agustus di rumah Moeldoko di Jalan Lembang tersebut, kata Herzaky, dihadiri oleh Joni Alen dan Marzuki Ali.

Rapat itu diawali dengan Zoom Meeting antara KSP Moeldoko dengan Yusril. Baru kemudian dilakukan rapat bersama Tim Yusril terkait teknis pelaksanaannya.

“Nah, ini yang jadi persoalan. Namanya juga ditunjuk sebagai pengacara, ya pasti ada rupiahnya, ada kontraknya."

Baca juga: Yakin Rezim Firli Bahuri Takkan Lama di KPK, Busyro Muqoddas: Osteoporosis Moral, Harus ke ICU

"Kok sekarang Pak Yusril berkoar-koar soal demi demokrasi."

"Ini yang bikin kader Demokrat marah."

"Sudahlah Bung Yusril, akui saja pembelaan terhadap KSP Moeldoko ini demi rupiah, bukan demi demokrasi, maka itu akan lebih masuk akal dan diterma oleh kita semua,” tegas Herzaky.

Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 RI 1 Oktober 2021: Suntikan Pertama 92.161.001, Dosis Kedua 51.750.697

Terkait judicial review dari kubu Moeldoko, Herzaky menegaskan Partai Demokrat tidak gentar.

Partai Demokrat akan menghadapi proses hukum tersebut secara optimis dan upaya optimal.

“Seperti Ketum AHY sampaikan, kami tidak gentar. Kami akan hadapi."

Baca juga: 4 Teroris MIT Poso MAsih Berkeliaran, Operasi Madago Raya Diperpanjang Hingga Akhir 2021

"Pak Yusril itu kalau jadi pengacara itu tidak selalu menang kok."

"Apalagi kami yakin kami di pihak yang benar."

"Pak Menko Mahfud juga sudah sampaikan, JR Yusril tidak ada gunanya."

Baca juga: Bukan Jebakan, Kapolri Berniat Panggil 57 Pecatan KPK untuk Dijadikan ASN Polri

"Hanya menarik rupiah KSP Moeldoko saja."

"Bukti bahwa Yusril tidak selalu menang, cek saja di internet."

"Jadi dengan izin Allah, kami akan hadapi proses hukum ini."

"Insyaallah, kami akan memenangkannya,” papar Herzaky.

Ada Kevakuman Hukum

Mewakili kepentingan hukum empat anggota Partai Demokrat, advokat Yusril Ihza Mahendra dan Yuri Kemal Fadlullah mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung.

Judicial Review dimaksud meliputi pengujian formil dan materiel terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat Tahun 2020, yang disahkan Menkumham pada 18 Mei 2020.

Oleh karena AD/ART sebuah parpol baru dinyatakan sah dan belaku setelah disahkan Menkumham, maka termohon dalam perkara pengujian AD/ART Partai Demokrat adalah Menteri Hukum dan HAM.

Yusril dan Yuri mengatakan, langkah menguji formil dan materiel AD/ART Parpol merupakan hal baru dalam hukum Indonesia.

Keduanya mendalilkan bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk menguji AD/ART Parpol, karena AD/ART dibuat oleh sebuah parpol atas perintah undang-undang dan delegasi yang diberikan Undang-undang Partai Politik.

"Nah, kalau AD/ART Parpol itu ternyata prosedur pembentukannya dan materi pengaturannya ternyata bertentangan dengan undang-undang, bahkan bertentangan dengan UUD 1945."

"Maka lembaga apa yang berwenang untuk menguji dan membatalkannya?" Kata Yusril, Kamis (23/9/2021).

Yusril mengatakan ada kevakuman hukum untuk menyelesaikan persoalan di atas.

Mahkamah Partai yang merupakan quasi peradilan internal partai, tidak berwenang menguji AD/ARD.

Begitu juga Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perselisihan internal parpol yang tidak dapat diselesaikan oleh Mahkamah Partai, tidak berwenang menguji AD/ART.

Pengadilan TUN juga tidak berwenang mengadili hal itu, karena kewenangannya hanya untuk mengadili sengketa atas putusan tata usaha negara.

"Karena itu saya menyusun argumen yang insyaallah cukup meyakinkan dan dikuatkan dengan pendapat para ahli, antara lain Dr Hamid Awaludin, Prof Dr Abdul Gani Abdullah, dan Dr Fahry Bachmid."

"Bahwa harus ada lembaga yang berwenang menguji AD/ART untuk memastikan apakah prosedur pembentukannya dan materi muatannya sesuai dengan undang-undang atau tidak."

"Sebab, penyusunan AD/ART tidaklah sembarangan, karena dia dibentuk atas dasar perintah dan pendelegasian wewenang yang diberikan oleh undang-undang," tuturnya.

Yusril dan Yuri mengatakan, kedudukan parpol sangatlah mendasar dalam kehidupan demokrasi dan penyelenggaraan negara.

Dia menyebut ada enam kali kata partai politik disebutkan di dalam UUD 1945.

Ada puluhan kali partai politik disebut di dalam undang-undang, bahkan ada undang-undang khusus yang mengatur partai politik, seperti yang sekarang berlaku, yakni UU 2/2008 tentang Partai Politik dengan perubahan-perubahannya.

Lembaga-lembaga seperti Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi malah tidak satu kalipun disebut di dalam UUD 1945.

Yusril menjelaskan, di dalam UUD 1945 disebutkan antara lain hanya partai politik yang boleh ikut dalam Pemilu Legislatif (Pileg), hanya partai politik yang boleh mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden.

Usai Pemilu, fraksi-fraksi partai politik memainkan peranan besar dalam mengajukan dan membahas RUU, membahas calon duta besar, Panglima TNI dan Kapolri, Gubernur BI, BPK, KPK dan seterusnya.

Di daerah, sebelum ada calon independen, hanya partai politik yang bisa mencalonkan kepala daerah dan wakilnya.

Begitu partai politik didirikan dan disahkan, partai tersebut tidak bisa dibubarkan oleh siapapun, termasuk oleh Presiden.

Partai politik hanya bisa dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

"Nah, mengingat peran partai yang begitu besar dalam kehidupan demokrasi dan penyelenggaraan negara, bisakah sebuah partai sesuka hatinya membuat AD/ART?"

"Apakah kita harus membiarkan sebuah partai bercorak oligarkis dan monolitik, bahkan cenderung diktator, padahal partai adalah instrumen penting dalam penyelenggaraan negara dan demokrasi?"

"Jangan pula dilupakan bahwa partai-partai yang punya wakil di DPR RI itu juga mendapat bantuan keuangan yang berasal dari APBN, yang berarti dibiayai dengan uang rakyat."

"Saya berpendapat jangan ada partai yang dibentuk dan dikelola suka-suka oleh para pendiri atau tokoh-tokoh penting di dalamnya, yang dilegitimasi oleh AD/ART-nya, yang ternyata bertentangan dengan undang-undang dan bahkan UUD 1945," bebernya.

Yusril melanjutkan, Mahkamah Agung harus melakukan terobosan hukum untuk memeriksa, mengadili dan pemutus apakah AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 bertentangan dengan undang-undang atau tidak.

Apakah perubahan AD/ART dan pembentukan AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 telah sesuai dengan prosedur yang diatur oleh undang-undang atau tidak.

Apakah materi pengaturannya, seperti kewenangan Majelis Tinggi yang begitu besar dalam Partai Demokrat, sesuai tidak dengan asas kedaulatan anggota sebagaimana diatur dalam UU Partai Politik?

"Apakah wewenang Mahkamah Partai dalam AD/ART yang putusannya hanya bersifat rekomendasi, bukan putusan yang final dan mengikat sesuai tidak dengan UU Partai Politik?"

"Apakah keinginan 2/3 cabang Partai Demokrat yang meminta supaya dilaksanakan KLB baru bisa dilaksanakan jika Majelis Tinggi setuju, sesuai dengan asas kedaulatan anggota dan demokrasi yang diatur oleh UU Parpol atau tidak?"

"Demikian seterusnya sebagaimana kami kemukakan dalam permohonan uji formil dan materiel ke Mahkamah Agung," jelasnya.

Yusril mengatakan, Menteri Hukum dan HAM memang diberi kewenangan untuk mengesahkan AD/ART partai politik, ketika partai itu didirikan dan mengesahkan perubahan-perubahannya.

Namun, sebagai pejabat yang hanya bertugas untuk mengesahkan, Menteri Hukum dan HAM biasanya dalam posisi tidak enak untuk memeriksa terlalu jauh materi pengaturan AD/ART partai politik yang diajukan kepadanya.

Apalagi, menteri tersebut juga berasal dari partai politik tertentu.

Menurutnya, Menkumham tidak boleh punya kepentingan terhadap AD/ART sebuah partai yang diminta untuk disahkan.

Jadi urusan prosedur pembentukan dan materi pengaturannya memang lebih baik diuji formil dan materil oleh Mahkamah Agung.

Sehingga jika seandainya Mahkamah Agung memutuskan AD/ART itu bertentangan dengan UU, maka Menkumham sebagai Termohon tinggal melaksanakan saja amar putusan Mahkamah Agung, dengan mencabut Keputusan Pengesahan AD/ART partai tersebut.

"Kami berpendapat bahwa pengujian AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung ini sangat penting dalam membangun demokrasi yang sehat di negara kita."

"Bisa saja esok lusa akan ada anggota partai lain yang tidak puas dengan AD/ART-nya yang mengajukan uji formil dan materil ke Mahkamah Agung. Silakan saja."

"Sebagai advokat, kami bekerja secara profesional sebagai salah satu unsur penegak hukum di negara ini sesuai ketentuan UU Advokat."

"Bahwa ada kubu-kubu tertentu di Partai Demokrat yang sedang bertikai, kami tidak mencampuri urusan itu."

"Urusan politik adalah urusan internal Partai Demokrat."

"Kami fokus kepada persoalan hukum yang dibawa kepada kami untuk ditangani," tegasnya. (Vincentius Jyestha)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved