Pengelolaan Pangan di Indonesia Dianggap Semerawut, Ketergantungan Impor Tinggi dan Harga Fluktuatif

Tingginya jumlah impor pangan serta fluktuatifnya harga-harga kebutuhan pokok menunjukkan semrawutnya pengelolaan pangan di Indonesia.

Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: Lilis Setyaningsih
Tribun Medan
Tumpukan kardus minyak goreng kemasan ditemukan di Deliserdang, Sumut, Jumat (18/2/2022). Satgas Pangan Provinsi Sumatera Utara menduga ada praktik penimbunan minyak goreng di gudang tersebut. 

TRIBUNTANGERANG.COM, JAKARTA - Perhimpunan Petani Nelayan Seluruh Indonesia (PPNSI) menilai, pemerintah belum memiliki rancangan induk (grand design) yang jelas terkait swasembada pangan.

Tingginya jumlah impor pangan serta fluktuatifnya harga-harga kebutuhan pokok menunjukkan semrawutnya pengelolaan pangan di Indonesia.

“Ada yang salah dari pengelolaan pangan yang selama ini pemerintah usung dengan masih sangat fokus menggenjot produksi tanpa memikirkan kemakmuran petani,” ujar Ketua PPNSI Drh. Slamet pada Rabu (16/3/2022).

Slamet mengatakan, melindungi hak-hak petani adalah tugas prioritas pemerintah, karena persoalan pangan ini adalah hidup mati suatu bangsa. Tanpa petani yang kuat, mustahil negara ini bisa mewujudkan kedaulatan pangan.

Baca juga: SIAP-SIAP! Harga Pangan di Jakarta Diprediksi Naik Mulai Maret hingga Mei saat Idul Fitri 2022

“Pemerintah juga harus fokus ke persoalan mendasar bangsa ini seperti ketersediaan pangan yang cukup, aksesibilitas dan kestabilan harga jual, hentikan semua sinematisasi politik penundaan pemilu, radikalisasi kelompok agama tertentu dan lain-lain,” katanya.

“Karena jika masyarakat merasakan bahwa negara ini hadir maka tanpa diminta pun mereka akan loyal kepada siapapun pemimpin negeri ini,” lanjutnya.

Slamet mengatakan, mahalnya harga minyak goreng, kedalai, cabai dan beberapa komoditas pangan penting lainnya benar-benar menunjukkan betapa lemahnya pengelolaan pangan dalam negeri.

Bagaimana tidak, untuk menyediakan stok minyak goreng yang notabene bahan bakunya tersedia sangat banyak saja pemerintah seperti kewalahan.

Baca juga: Warga Berharap Pemerintah Gelar Operasi Pasar Minyak Goreng

“Apatah lagi mengelola stok pangan yang berasal yang bahan bakunya berasal dari negara lain, sehingga tidak mengherankan jika banyak pihak yang mulai meragukan komitmen pemerintah terkait ketahanan dan kedaulatan pangan,” jelasnya.

Sedikit kilas balik pada tahun 2014 lalu, kata dia, Presiden Joko Widodo banyak mengungkapkan ide-ide tentang ketahanan pangan nasional dengan memastikan kecukupan kebutuhan pangan, keterjangkauan dan penghentian impor pangan.

Menurutnya memaksimalkan potensi dalam negeri adalah kunci keberhasilan.

Namun yang menjadi pertanyaan, selama hampir delapan tahun ini sejauhmana perkembangan pengelolaan pangan di Indonesia? Berdasarkan hasil studi terkait indeks keberlanjutan pangan pada tahun 2020 menunjukkan, bahwa Indonesia menempati urutan  ke 60 dari 67 negara yang diukur.

Baca juga: 24 Ton Minyak Goreng Kemasan Diduga Ditimbun, Polres Lebak: Pelaku Terancam Denda Rp 100 Miliar

Dengan nilai tersebut, posisi Indonesia jauh lebih buruk dari negera-negara Afrika seperti Ethopia urutan ke-27, Zimbabwe ke-31 dan Zambia ke-32. Begitu juga dari hasil analisis Indeks Kelaparan Global (Global Hunger Index), menunjukkan nilai GHI Indonesia terus mengalami penurunan bahkan tahun 2020 menyentuh angka 20.1 atau masuk dalam kategori negara dengan status kelaparan kronis.

“Fakta-fakta ini juga disampaikan oleh rektor IPB Prof. Arif Satria bahwa banyak yang perlu dibenahi dalam kebijakan kedaulatan pangan di Indonesia,” imbuh Slamet.

Selain itu, Indonesia juga masih menggantungkan sebagian besar pemenuhan kebutuhan pangan melalui impor. Beberapa contoh impor komoditas pertanian seperti gula, gandum, kedelai, daging sapi, garam dan lain-lain justru mencapai fase yang sangat buruk pada era Presiden Jokowi.

Sumber: Warta Kota
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved