Lifestyle
Pengguna Telehealth Saat Pandemi Meningkat 40 kali lipat
Sejak pandemi Covid-19, tingkat adopsi telehealth di Indonesia tumbuh pesat. Tidak hanya dari sudut pandang pengguna, tetapi juga dari investasi.
TRIBUNTANGERANG.COM, TANGERANG - Sejak pandemi Covid-19, tingkat adopsi telehealth di Indonesia tumbuh pesat.
Tidak hanya dari sudut pandang pengguna, tetapi juga dari investasi dalam industri kesehatan digital secara keseluruhan.
Perkembangan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
Danu Wicaksana, Managing Director di Good Doctor Technology Indonesia berbicara dalam acara The NextDev Talent Scouting Pitching “Health Revolution” Track dan membagikan pengamatannya tentang bagaimana Covid-19 bertindak sebagai katalis untuk meningkatkan kecepatan adopsi dan penerimaan layanan kesehatan virtual.
Baca juga: Telemedicine pada Penyandang Diabetes Melitus, Gula Darah Lebih Terkontrol, ini Alasannya
“Dalam dua tahun terakhir, pengguna telehealth meningkat sekitar 40 kali lipat. Sedangkan dari sisi investasi dan pendapatan hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2019 jika kita mengingat masa pra-Covid," kata Danu, Senin (21/3/2022).
Selain itu, Covid-19 mengubah pandangan industri teknologi perawatan kesehatan dan memberikan lebih banyak dorongan kepada para pemangku kepentingan untuk memikirkan kembali bagaimana mereka dapat memberikan akses yang lebih besar ke layanan kesehatan berkualitas yang terjangkau bagi semua orang.
Pandemi Covid- 19 menjadi katalisator yang mendorong beberapa perubahan perilaku konsumen, penyedia layanan kesehatan dan badan regulasi (dalam hal ini Kementerian Kesehatan).
Perubahan perilaku konsumen terlihat dari pengguna telehealth yang meningkat dari 11 persen di tahun 2019 menjadi 76 persen di tahun 2021.
Baca juga: Puskesmas Pondok Ranji Melayani Telemedicine untuk Warga yang Mau Konsultasi dari Rumah
Dari perspektif penyedia layanan kesehatan, mereka berpacu dengan waktu untuk membangun layanan telehealth baru atau menganjurkan penggunaan layanan telehealth yang sudah tersedia.
Terutama ketika serangkaian lonjakan kasus Covid-19 dan rawat inap memberikan tekanan kuat kepada staf dan sumber daya rumah sakit, meningkatnya ketakutan akan potensi penularan virus karena fasilitas perawatan kesehatan tradisional memaksa banyak orang untuk mengadopsi layanan telemedicine untuk berbicara dengan profesional perawatan kesehatan yang kredibel dengan aman.
Terakhir, badan regulasi juga mulai membuka lebih banyak peluang pada inovasi teknologi, termasuk layanan telemedicine.
Menurut Danu, ada 4 elemen yang bisa menjadi motor penggerak utama industri telehealth di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang tetap relevan di era new normal, yaitu:
Baca juga: Warga Marunda Ingin Anies Kirim Tim Dokter Periksa Mereka yang Terdampak Pencemaran Batu Bara
1. Kesenjangan penawaran-permintaan yang besar. Jumlah dokter dan ketersediaan tempat tidur di rumah sakit jauh di bawah standar WHO.
2. Distribusi sumber daya medis yang tidak merata. Jumlahnya lebih sedikit dan distribusinya tidak merata. Berdasarkan data Ikatan Dokter Indonesia (IDI), sebaran dokter sebagian besar berada di Pulau Jawa dan sebagian Sumatera yang terkonsentrasi di kota-kota besar.
3. Akses layanan kesehatan publik yang tidak efisien. Banyak waktu terbuang yang biasanya dihabiskan untuk perjalanan ke rumah sakit, ditambah dengan lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk menunggu untuk berbicara dengan profesional kesehatan di rumah sakit, diikuti dengan lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk menunggu obat diberikan. Banyak orang mengambil waktu kerja untuk mengunjungi fasilitas kesehatan tradisional sehingga tingkat produktivitas tempat kerja pun terpengaruh.
