FGD Golkar

MIPI Ingatkan Sistem Pemerintahan Jakarta Bersifat Tunggal Sejak Zaman Belanda

Jakarta harus tetap menjadi provinsi karena dilihat dari historis berdirinya Jakarta. Tidak bisa turun kelas.

Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: Lilis Setyaningsih
pexels/alifia-harina
Setelah tidak jadi ibu kota negara, Jakarta diharapkan tetap jadi pusat ekonomi dan pusat kesehatan 

TRIBUNTANGERANG.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Penasihat Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) Prof M. Ryaas Rasyid mengingatkan, bahwa sistem pemerintahan di Jakarta sejak zaman penjajahan Belanda adalah pemerintahan tunggal.

Artinya, segala kebijakan diatur di tingkat provinsi, dari yang awalnya dipimpin Wali Kota hingga sekarang menjadi Gubernur.

“Tidak pernah tuh Jakarta dipecah (sistem pemerintahan otonom tingkat dua), jadi aturannya dibuat seragam dan jadwal kegiatannya seragam serta layanannya dibuat seragam,” ujar Prof Ryaas pada Selasa (22/3/2022).

Hal itu dikatakan Prof Ryaas saat diskusi kelompok atau focus group discussion (FGD) yang digelar DPD Golkar DKI Jakarta, di Menteng, Jakarta Pusat.

Baca juga: Pasca Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta akan Bersaing dengan Kota Metropolitan Luar Negeri

Acara yang digelar dengan melibatkan Warta Kota (Tribunnetwork/Kompas Gramedia) ini dihadiri sejumlah narasumber lainnya, yaitu Guru Besar IPDN Prof Sadu Wasistiono, Ketua Komisi II Fraksi Golkar Ahmad Doli Kurnia.

Prof Ryaas mengaku, tidak bisa membayangkan sejumlah regulasi yang akan dikeluarkan Wali Kota di Jakarta jika pemerintah pusat melimpahkan kewenangan pada daerah tingkat dua.

Masing-masing Wali Kota di Jakarta bisa saja membentuk Peraturan Daerah (Perda), yang berpotensi tidak saling selaras.

“Anda bisa bayangkan kalau sudut daerah itu kabupaten dan kota masing-masing otonomi, beda-beda Perda-nya. Nah ini yang mungkin harus dipikirkan dampaknya itu, menguntungkan atau tidak,” katanya.

Baca juga: Baru Sekitar 65 Persen Warga Jakarta yang dapat Mengakses Air Bersih, Targetnya 79,61 Persen

Karena itu, Prof Ryaas enggan membahas soal kemungkinan Jakarta yang berpotensi menjadi provinsi umum lainnya di Indonesia atau tidak.

Kebijakan ini berimplikasi pada sistem pemerintahan di Jakarta, karena kursi Wali Kota dan Bupati tidak lagi menjadi jabatan birokrat yang diisi PNS eselon II, tetapi menjadi jabatan politik dari partai politik (parpol) maupun independen.

Dari sisi pengawasan, akan ada DPRD Kota maupun Kabupaten di Jakarta.

Namun untuk Kabupaten Kepulauan Seribu, dianggap tidak memenuhi syarat menjadi daerah otonom tingkat dua karena jumlah penduduknya relatif sedikit.

Baca juga: Prof Ryaas Rasyid: Jakarta Jadi Pusat Bisnis saat Ibu Kota Pindah ke Kalimantan Timur

“Soal nanti (sistem) pemerintahan itu perlu kita diskusikan, saya belum berani mengatakan bahwa harus mengikuti daerah lain secara sekonyong-konyong (tiba-tiba) begitu kan. Apakah ada otonomi, ataukah tetap seperti ini supaya jangan menambah urusan,” ucapnya.

“Karena kalau itu dibuat seperti persis provinsi yang lain, harus ada DPRD nah itu kalau saya orang partai politik pasti suka. Saya punya pengalaman dengan pemekaran daerah itu yang paling semangat adalah parpol, begitu daerah dibuka maka lapangan pekerjaan terbuka lagi kan karena ada lagi DPRD,” lanjutnya.

Menurutnya, pemerintah pusat harus membahas secara mendalam jika menginginkan adanya pelimpahan kewenangan kepada pemerintahan tingkat dua.

Sumber: Warta Kota
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved