Kasus ACT

Beda dengan Ahyudin, Ibnu Khajar dan Heriyana Ajukan Eksepsi dalam Sidang Kasus Penggelapan Dana ACT

Ibnu Khajar dan Hariyana turut menjalani sidang perdana kasus dugaan penggelapan dana donasi di PN Jaksel, Selasa (15/11/2022).

Penulis: Ramadhan L Q | Editor: Ign Agung Nugroho
Tribun Tangerang/Ramadhan LQ
Ibnu Khajar saat menjalani sidang perdana kasus dugaan penggelapan dana donasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa (15/11/2022). 

TRIBUNTANGERANG.COM, JAKARTA - Selain eks Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT), Ahyudin, dua terdakwa lainnya, yakni Ibnu Khajar dan Hariyana turut menjalani sidang perdana kasus dugaan penggelapan dana donasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa (15/11/2022).

Keduanya juga tidak dihadirkan secara langsung dalam ruang sidang.

Hal itu sama seperti sidang Ahyudin sebelumnya.

Tampak Ibnu Khajar dan Hariyana dihadirkan secara virtual melalui sambungan video conference dari rumah tahanan (rutan) Bareskrim Mabes Polri.

 

 

Sama dengan Ahyudin, Ibnu Khajar serta Hariyana juga didakwa melakukan penggelapan dana donasi dari Boeing untuk keluarga atau ahli waris korban kecelakaan Lion Air JT 610.

Saat membacakan dakwaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjelaskan bahwa keduanya melakukan perbuatan tersebut secara bersama-sama dengan Ahyudin.

"Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan, dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain," kata jaksa JPU.

"Barang tersebut ada dalam kekuasaannya karena ada hubungan kerja atau karena pencahariannya atau karena mendapat upah untuk itu," sambungnya.

Perkara berawal pada 29 Oktober 2018, di mana terjadi insiden maskapai Lion Air dengan nomor penerbangan 610, dengan pesawat Boeing 737 Max 8, jatuh usai lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. 

Kejadian tersebut mengakibatkan 189 penumpang dan kru meninggal dunia.

"Atas peristiwa tersebut, Boeing menyediakan dana sebesar USD 25.000.000 sebagai Boeing Financial Assistance Fund (BFAF) untuk memberikan bantuan finansial yang diterima langsung oleh para keluarga (ahli waris) dari para korban kecelakaan Lion Air 610," ujar JPU.

"Selain itu Boeing juga memberikan dana sebesar USD 25.000.000 sebagai Boeing Community Investment Fund (BCIF) yang merupakan bantuan filantropis kepada komunitas lokal yang terdampak dari kecelakaan, di mana dana tersebut tidak langsung diterima oleh para ahli waris korban, namun diterima oleh organisasi amal, atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh ahli waris korban," lanjutnya. 

 

Hariyana saat menjalani sidang perdana kasus dugaan penggelapan dana donasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa (15/11/2022).
Hariyana saat menjalani sidang perdana kasus dugaan penggelapan dana donasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa (15/11/2022). (Tribun Tangerang/Ramadhan LQ)

 

Terkait hal tersebut, kata JPU, Boeing telah mendelegasikan kewenangan kepada administrator dari BCIF yaitu Mr Feinberg dan Ms Biros untuk menentukan program individual, proyek atau badan amal yang akan didanai dengan uang yang diberikan Boeing untuk BCIF dan untuk mengawasi penggunaan dana tersebut agar digunakan dengan benar.

Boeing telah menentukan persyaratan-persyaratan mendasar yang harus dipenuhi oleh para penerima dana, termasuk kondisi di mana uang tidak dapat digunakan untuk kepentingan pribadi setiap individu, namun Boeing tidak menentukan persyaratan untuk memilih atau mengawasi administrasi penggunaan BCIF.

 

Baca juga: PPATK Temukan Adanya Dugaan Transaksi ACT ke Jaringan Teroris Al-Qaeda

 

Administrator bekerja bersama-sama dengan para keluarga untuk memilih program-program individual, proyek atau kegiatan amal yang akan didanai merujuk pada lampiran Protokol Boeing Community Investment Fund (BCIF) tertanggal 20 April 2020.

Kemudian sebanyak 189 keluarga korban selaku ahli waris telah mendapatkan santunan dari perusahaan Boeing yaitu masing-masing ahli waris mendapakan dana sebesar USD 144.320 atau senilai Rp 2 miliar (kurs Rp 14.000).

"Di mana santunan tersebut diterima langsung oleh ahli waris sendiri. Selain itu ahli waris juga mendapatkan dana santunan berupa dana sosial BCIF dari perusahaan Boeing yang mana selanjutnya secara aktif pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) menghubungi keluarga korban dan mengatakan bahwa Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) telah mendapatkan amanah (ditunjuk) dari Perusahaan Boeing untuk menjadi Lembaga yang akan mengelola dana sosial/BCIF dari Perusahaan Boeing dan meminta keluarga korban untuk merekomendasikan Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) kepada pihak Perusahaan Boeing," kata JPU.

"Yang mana kemudian keluarga korban diminta pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk menandatangani dan mengisi beberapa dokumen/formulir pengajuan, yang harus dikirim melalui email ke Perusahaan Boeing, agar dana sosial/BCIF tersebut dapat dicairkan oleh pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan dapat dikelola oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk pembangunan fasilitas sosial. Dan selanjutnya atas petunjuk dari Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) keluarga korban diminta untuk mengisi formulir yang formatnya didapat dari Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT)," lanjutnya.

 

Baca juga: BNPT Jalin Kerjasama dengan India dan Turki Untuk Ungkap Dugaan Aliran Dana ACT ke Jaringan Teroris

 

Kemudian email yang dikirimkan ke pihak Perusahaan Boeing atas petunjuk pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) di dalam email tersebut disebutkan dengan jelas bahwa dana social/BCIF yang diminta untuk dikelola oleh pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) adalah sebesar USD 144.500.

"Dan selanjutnya pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) menghubungi keluarga korban agar menyetujui/merekomendasikan dana sosial/BCIF akan digunakan untuk pembangunan fasilitasi sosial yang direkomendasikan dari pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk mendapatkan bantuan dana sosial (BCIF) dari perusahaan Boeing tersebut kepada pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT)," kata JPU.

"Bahwa pembangunan fasilitas sosial yang ditujukan kepada penerima manfaat berdasarkan rekomendasi dari ahli waris korban kecelakaan pesawat lion air JT610 yang terjadi pada bulan Oktober 2018 yang merekomendasikan kepada pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk pembangunan sarana Pendidikan dengan menggunakan anggaran dana CSR dari perusahaan Boeing adalah sebanyak 68 ahli waris," sambungnya.

Seiring berjalannya waktu, terdakwa Hariyana dan Ibnu Khajar bersama-sama Ahyudin yang mengetahui penggunaan dana BCIF harus sesuai dengan peruntukkannya sebagaimana tertulis dalam Protocol BCIF April 2020 pada kenyataannya tetap memproses pengajuan dan pencairan dana pembangunan fasilitas pendidikan program implementasi Boeing tersebut sekalipun mengetahui nilai RAB yang disetujui oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) jauh di bawah nilai proposal yang diajukan dan yang diterima oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dari pihak Boeing.

"Bahwa Kemudian berdasarkan "Laporan Akuntan Independen Atas Penerapan Prosedur Yang Disepakati Bersama Mengenai Penerimaan dan Pengelolaan Dana BCIF BOEING Tahun 2018 sampai dengan 2021” oleh akuntan Gideon Adi Siallagan. M. Acc. CA. CPA tanggal 8 Agustus 2022 ditemukan bahwa dari jumlah uang sebesar Rp 138.546.388.500 dana BCIF yang diterima oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dari Boeing tersebut yang benar-benar digunakan untuk implementasi kegiatan Boeing adalah hanyalah sejumlah Rp 20.563.857.503 dengan perincian sebagai berikut, pembayaran proyek boeing sesuai PKS, pembayaran proyek boeing atas nama Lilis Uswatun, pembayaran proyek boeing atas nama Francisco," kata JPU.

Sedangkan sisa dana BCIF tersebut digunakan oleh Ahyudin bersama-sama dengan Ibnu Khajar dan Hariyana tidak sesuai dengan implementasi Boeing dan malah digunakan bukan untuk kepentingan pembangunan fasilitas sosial sebagaimana yang ditentukan dalam Protocol BCIF adalah sebesar Rp 117 miliar.

"Bahwa untuk proses pencairan dana di luar implementasi dana Boeing tersebut dilakukan oleh Terdakwa Ahyuding selaku President GIP dengan cara memberi instruksi melalui chat/panggilan WhatsApp maupun lisan kepada Saksi Hariyana binti Hermain selaku VIce President GIP," ujar JPU.

"Padahal Terdakwa Ahyudin dan Saksi Hariyana binti Hermain, serta dengan sepengetahuan Saksi Ibnu Khajar selaku Presiden ACT, padahal mereka mengetahui bahwa dana BCIF tersebut tidak boleh digunakan untuk peruntukan lain selain untuk kegiatan implementasi Boeing, namun Saksi Hariyana tetap meneruskan instruksi tersebut kepada Saksi Echwan Churniawan selaku Bendahara Yayasan ACT sehingga tim keuangan memprosesnya agar dapat dilakukan pencairan dimana dana tersebut dipergunakan di luar peruntukan kegiatan implementasi Boeing," lanjut JPU.

Usai JPU membacakan dakwaan, kuasa hukum Ibnu Khajar dan Hariyana mengajukan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan itu.

"Setelah kami mendengar surat dakwaan ada hal-hal yang kami kritis terkait formil-formil dakwaan, akan ajukan eksepsi," ujar tim kuasa hukum, dalam persidangan, Selasa.

Ibnu Khajar dan Hariyana juga diminta tim kuasa hukum kepada majelis hakim untuk hadir secara langsung di persidangan berikutnya.

"Guna menghadirkan terdakwa terlebih dahulu berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dan pengawal tahanan," kata JPU.

Kuasa hukum kemudian diminta majelis hakim untuk menyusun eksepsi selama satu pekan dan sidang kembali digelar, Selasa (22/11/2022) mendatang.

Ahyudin, Ibnu Khajar, dan Hariyana didakwa melanggar Pasal 374 KUHP subsider Pasal 372 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (m31)

Foto: Ibnu Khajar dan Hariyana jalani persidangan. (Ramadhan L Q)

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved