Asal-usul Panggilan 'Gus' dan yang Berhak Menyandangnya

Meski hal itu hanyalah candaan, namun sebutan goblok dianggap tidak pantas disebutkan oleh seorang ulama yang bergelar Gus.

Editor: Joseph Wesly
wikipedia
Ilustrasi Gus.(wikipedia) 

TRIBUN TANGERANG.COM- Baru-baru ini viral aksi Gus Miftah yang menghina pedagang es teh di Magelang. Pria berambut gondrong ini menyebut sang penjual es teh yang bernama Sunhaji goblok.

Meski hal itu hanyalah candaan, namun sebutan goblok dianggap tidak pantas disebutkan oleh seorang ulama yang bergelar Gus.

Akibat ulahnya tersebut, netizen mendesak agar Gus Miftah dicopot dari posisinya sebagai utusan khusus presiden bidang agama. 

Ada juga netizen yang merasa Miftah bukanlah anak kiai sehingga tidak layak menyandang panggilan Gus.

Gus Miftah juga disebut beka marbot masjid dan berasal dari Lampung. 

Namun Miftah membantah klaim itu. Dia mengatakan dirinya adalah keturunan ulama Syaikh Hasan Besari Ponorogo sehingga layak menyandang panggilan Gus.

Lantas siapa yang layak mendapat panggila Gus?

"Gus" adalah gelar atau panggilan yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Gus adalah nama julukan atau nama panggilan untuk anak laki-laki.

Baca juga: Isi Teguran Presiden Prabowo kepada Gus Miftah karena Hina Pedagang Es Teh

Gus juga digunakan sebagai nama panggilan untuk putra ulama, kyai, atau orang yang dihormati. 

Di sisi lain, Gus diartikan sebagai panggilan untuk anak laki-laki atau pemilik pesantren. Gelar Gus sering dikaitkan dengan pria yang menjadi tokoh kondang, terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU).

Salah satu tokoh yang erat dipanggil Gus adalah mantan Presiden keempat Indonesia Abdurrahman Wahid, yakni Gus Dur.

Panggilan Gus berasal dari Jawa Timur

Guru Besar bidang Ilmu Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Syamsul Bakri mengatakan, gelar Gus berasal dari Jawa Timur.

"Gus adalah panggilan untuk Mas, kalau di Jawa. Istilah ini berkembang dari Jawa Timur," kata dia, saat dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Rabu (4/12/2024).

Awalnya, Syamsul menyampaikan, gelar Gus digunakan untuk panggilan anak laki-laki dari seorang Kyai di Jawa, sedangkan untuk anak perempuan dipanggil Ning.

Gelar ini digunakan di lingkungan pesantren NU di Jawa Timur. Menurut dia, tidak ada kriteria khusus untuk dipanggil Gus karena gelar ini tidak berkaitan dengan keilmuan.

Dikutip dari NU Online, panggilan Gus juga tidak harus untuk orang alim dalam bidang agama. Bergulirnya waktu, istilah Gus melebar dan digunakan untuk panggilan seorang mubaligh. Mubaligh sendiri adalah orang yang menyampaikan ajaran Islam kepada orang lain.

Tapi, sangat disayangkan, panggilan Gus akhirnya dikapitalisasi untuk menipu atau sekadar mencari keuntungan.

"Akhirnya banyak gus-gus palsu atau KW," ucapnya.

Menurut Syamsul, penggunaan panggilan Gus semakin meluas karena migrasi penganut NU ke wilayah Jawa Tengah hingga Jawa Barat.

Istana hingga Waketum Gerindra Beri Respon Soal Muncul Desakan Copot Gus Miftah dari Utusan Presiden

"Masyarakat sekarang juga tidak tahu asal-usulnya, asal mubaligh, maka dipanggil Gus. Dukun pun juga ada yang dipanggil Gus," kata dia. 

"Banyak yang bukan Gus tapi dipanggil Gus. Dan mereka bangga, dianggap putra kyai," tandas Syamsul.

Arti panggilan Gus dalam tradisi keraton

Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jawa Tengah, Drajat Tri Kartono mengatakan, ada dua versi yang menerangkan soal makna panggilan Gus.

Pertama, ada yang menjelaskan bahwa panggilan Gus berasal dari tradisi di keraton.

"Keraton itu memberi panggilan 'Bagus' sebagai satu bentuk dari penghargaan terhadap orang-orang yang memang luhur, bagus budi pekertinya," kata dia, saat dihubungi Kompas.com, Rabu. 

Ia mencontohkan, panggilan Gus diberikan kepada Sri Susuhunan Pakubuwono IV yang sekitar tahun 1700-1800 dipanggil dengan gelar Sunan Bagus.

"Kenapa begitu? Karena memang beliau orang yang memang pintar dan telah menciptakan banyak karya-karya sastra yang kemudian menjadi rujukan sampai sekarang," jelas dia.

Gelar serupa juga disematkan kepada Ranggawarsita, seorang penyair dan pujangga besar di Jawa dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Ia dikenal dengan nama Bagus Burhan.

Menurut Drajat, pada zaman Kerajaan Mataram, gelar Gus juga digunakan untuk memanggil anak-anak kyai.

Hal ini bermula dari relasi antara kyai dan para raja-raja di Jawa. Para kyai biasanya diberi tempat tersendiri di dekat raja, yaitu di sekitar masjid atau yang sering disebut dengan Kauman.

Kedekatan relasi ini membuat para raja memberikan panggilan khusus untuk anak para kyai, yaitu Gus.

"Untuk membedakan juga antara keturunan-keturunan raja yang biasanya dipanggil dengan Raden Mas, maka anak kyai diberi panggilan Gus," terang Drajat.

"Mengalirlah di situ kebiasaan gelar-gelar Gus kepada keturunan-keturunan kyai atau orang-orang sekitar kyai," imbuh dia. Asal-usul panggilan Gus versi kedua adalah berasal dari keturunan kyai itu sendiri.

Drajat menyampaikan, panggilan Gus ditujukan untuk anak laki-laki dari seorang kyai yang memiliki pesantren.

"Jadi dia itu dipanggil Gus sebagai penghormatan terhadap orang yang berilmu dan memiliki karakter-karakter yang baik, baik pengetahuannya, perilakunya, sopan santunnya, adat, dan kekayaan ilmunya," kata Drajat.

Selain anak laki-laki dari seorang kyai, menantu kyai juga biasanya dipanggil dengan sebutan Gus.

Siapa saja yang layak dipanggil gus?

Nyatanya, panggilan Gus kini tidak hanya digunakan untuk keturunan kyai. Namun, Drajat menggarisbawahi agar istilah Gus sebaiknya digunakan untuk seseorang dengan kapasitas tertentu, seperti penguasaan agama.

"Yang penting adalah bahwa panggilan atau gelar Gus itu merupakan sebuah panggilan kepada orang yang memang mempunyai kapasitas dan validitas yang terkait dengan penguasaan agama dan penguasaan ilmu," terang Drajat.

Panggilan Gus juga sebaiknya tidak hanya disematkan kepada seseorang yang hanya punya ilmu pengetahuan, seperti profesor.

Aspek-aspek tersebut perlu dipenuhi karena seseorang yang dipanggil Gus nantinya dalam lingkungan masyarakat akan menjadi tokoh yang menjadi pusat pembelajaran.

Bahkan seorang Gus juga menjadi orang yang dipercaya sebagai guru serta rujukan. Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Informasi lain dari Tribuntangerang.com via saluran Whatsapp di sini

Baca berita TribunTangerang.com lainnya di Google News

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved