Daftar 10 Suku di Indonesia yang Mencetak Sarjana Terbanyak Berdasarkan Data BPS
Berdasarkan data Suku Batak menyumbang jumlah lulusan sarjana terbanyak dengan persentase 18,02 persen. Suku kedua yang paling banyak menghasilkan sa
Suku Betawi berada di deretan kelima lulusan sarjana terbanyak 14,38 %
Suku Betawi berasal dari Batavia (nama Jakarta), ibukota Indonesia. Dalam sejarahnya, suku Betawi terbentuk dari proses asimilasi antaretnis yang dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda untuk kepentingan politik dan ekonomi.
Suku Betawi atau 'Jakarta asli' dikatakan muncul sebagai kelompok etnolinguistik yang berbeda pada masa kolonial melalui perkawinan campuran di Jakarta antara penduduk asli (terutama Bali) dengan orang Tionghoa, Arab, dan Eropa.
Pada 2010 suku Betawi merupakan salah satu dari enam suku terbesar di Indonesia.
Hasil sensus penduduk tahun 2020 menunjukkan bahwa penduduk suku Betawi di Indonesia paling banyak berada di Pulau Jawa sebesar 99,30 % . Sementara sebagian kecil sisanya tersebar di pulau-pulau lain.
Persentase penduduk suku Betawi di Pulau Sumatra dan Kalimantan berturut-turut adalah 0,47?n 0,12 % .
Sedangkan persentase terkecil penduduk suku Betawi berada di Pulau Bali dan Nusa Tenggara serta Sulawesi yaitu 0,04 % .
Adapun di Pulau Maluku dan Papua sebesar 0,03 % . Berdasarkan pendidikan, enam dari sepuluh penduduk suku Betawi yang berusia 25 tahun ke atas telah memiliki pendidikan tinggi SMA/sederajat atau perguruan tinggi.
Hampir setengah dari penduduk suku Betawi berusia 25 tahun ke atas mempunyai pendidikan tinggi pada jenjang SMA/sederajat yaitu 49,81?n 14,38 % telah tamat perguruan tinggi.
Selanjutnya mereka yang tidak atau belum pernah sekolah, tamat SD/sederajat, dan tamat SMP/sederajat berturut-turut sebanyak 4,66 % ; 16,64 % , dan 14,50 % .
6. Suku Melayu
Suku Melayu ada di urutan keenam lulusan sarjana terbanyak 12,67 % Suku Melayu pada publikasi ini mencakup suku Melayu, Melayu Asahan, Asahan, Melayu Langkat, Langkat, Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Banyu Asin, Melayu Lahat, Kikim, Lematang, Lintang, Pasemah, Gumai, Kisam, Serawai, Semendo, Melayu Semendo, Semidang, Melayu Pontianak, Melayu Sambas, Jambi, dan Bengkulu.
Jika dilihat menurut pulau, lebih dari tiga perempat penduduk suku Melayu terdapat di Pulau Sumatra (75,85 % ), kemudian di Pulau Kalimantan (20,02 % ), Pulau Jawa (3,74 % ), Pulau Bali dan Nusa Tenggara (0,26 % ), Pulau Sulawesi (0,10 % ), serta Pulau Maluku dan Papua (0,04 % ).
Menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan, penduduk suku Melayu berumur 25 tahun ke atas paling banyak tamat SD/sederajat (30,51 % ). Diikuti oleh lulusan SMA/sederajat (29,39 % ), SMP/sederajat (16,05 % ), perguruan tinggi (12,67 % ) dan mereka yang tidak atau belum pernah sekolah (11,37 % ).
7. Suku Banjar
Suku Banjar peringkat ketujuh lulusan sarjana terbanyak 11,24 % Suku Banjar merupakan suku yang berasal dari Kalimantan Selatan.
Suku Banjar pada publikasi ini mencakup suku Banjar, Banjar Kuala, Batang Banyu, dan Pahuluan.
Suku Banjar banyak tersebar di Pulau Kalimantan dan Sumatra. Sebaran suku Banjar ini berkaitan dengan perilaku imigrasi penduduknya yang disebut madam, yaitu bepergian merantau jauh dari kampung halaman dan tidak kembali dalam waktu yang lama.
Terdapat setidaknya beberapa kali gelombang migrasi orang-orang Banjar pada masa penjajahan Belanda akibat politik, monopoli, serta diskriminasi ekonomi.
Banyak penduduk suku Banjar yang melakukan migrasi ke Tanjung Jabung Barat (Jambi), Tambilah Riau, serta berbagai daerah di Sumatra Utara seperti Langkat, Serdang Bedagai, dan Medan.
Tradisi madam dapat tercermin dari persentase penduduk suku Banjar yang merupakan migrasi seumur hidup yaitu sebesar 7,11 % .
Lebih lanjut, hasil sensus penduduk tahun 2020 memperlihatkan bahwa penduduk suku Banjar paling banyak tersebar di Pulau Kalimantan dengan persentase (88,27 % ), kemudian Pulau Sumatra (10,62 % ), Pulau Jawa (0,89 % ), Pulau Sulawesi (0,16 % ), Pulau Maluku-Papua (0,04 % ) serta Bali dan Nusa Tenggara (0,03 % ). Dari segi pendidikan, penduduk suku Banjar berusia 25 tahun ke atas paling banyak menamatkan pendidikan tertinggi pada jenjang SD/sederajat (34,85 % ), diikuti oleh lulusan SMA/sederajat (26,08 % ), SMP/sederajat (17,33 % ), perguruan tinggi (11,24 % ), dan mereka yang tidak atau belum pernah sekolah (10,50 % ).
8. Suku Jawa
Suku jawa bertengger di posisi delapan lulusan sarjana terbanyak 9,56 % Suku Jawa merupakan suku dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia.
Suku Jawa dalam publikasi ini meliputi suku Jawa, Samin, Tengger, Nagaring, dan Nagarigung.
Selain sebagai suku dengan penduduk terbanyak, suku Jawa juga merupakan kelompok suku yang penduduknya tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Pergerakan orang dari Jawa ke pulau-pulau lain utamanya disebabkan oleh program transmigrasi.
Jika dilihat menurut pulau, penduduk suku Jawa tersebar di Pulau Jawa (78,33 % ), kemudian dilanjutkan dengan Pulau Sumatra (17,05 % ), Pulau Kalimantan (2,9 % ), Pulau Sulawesi (0,8 % ), Pulau Maluku dan Papua (0,55 % ), serta Pulau Bali-Nusa Tenggara (0,37 % ).
Dari segi pendidikan, penduduk suku Jawa berusia 25 tahun ke atas paling banyak menamatkan pendidikan tertinggi pada jenjang SD/sederajat (33,13 % ), diikuti oleh lulusan SMA/sederajat (27,20 % ), SMP/sederajat (19,90 % ), mereka yang tidak atau belum pernah sekolah (10,19 % ), dan lulusan perguruan tinggi (9,57 % ).
9. Suku Sunda
Suku Sunda menempati urutan kesembilan lulusan sarjana terbanyak 7,59 % Suku Sunda yang meliputi suku Sunda dan Suku Naga, merupakan suku dengan jumlah penduduk yang banyak di Indonesia.
Kalau dilihat menurut pulau, sebagian besar penduduk suku Sunda mendiami Pulau Jawa dengan persentase 95,89 % .
Pulau Sumatra menjadi terbanyak kedua yang ditinggali oleh penduduk suku Sunda, meskipun persentasenya di bawah 5 % .
Sisanya tersebar di pulau-pulau lainnya di Indonesia. Dari sisi pendidikan, penduduk suku Sunda berumur 25 tahun ke atas paling banyak menamatkan pendidikan tertinggi pada jenjang SD/sederajat (43,38 % ), disusul oleh lulusan SMA/sederajat (23,75 % ), SMP/sederajat (19,26 % ), perguruan tinggi (7,59 % ), dan mereka yang tidak atau belum pernah sekolah (6,01 % ).
10. Suku Madura
Suku Madura berada di deretan kesepuluh lulusan sarjana terbanyak 4,15 % Suku Madura merupakan salah satu suku dengan penduduk terbanyak di Indonesia.
Penduduk suku Madura banyak tersebar di Pulau Jawa dengan persentase 92,48?n sisanya tersebar di pulau lain seperti Pulau Kalimantan sebesar 6,40?n di Pulau Sumatra, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, serta Maluku hingga Papua dengan persentase di bawah 1 % .
Dalam hal pendidikan, penduduk suku Madura berusia 25 tahun ke atas paling banyak menamatkan pendidikan tertinggi pada jenjang SD/sederajat (39,67 % ), kemudian SMA/sederajat (12,70 % ), SMP/sederajat (12,64 % ), dan perguruan tinggi (4,15 % ).
Sementara itu, penduduk suku Madura yang tidak atau belum pernah bersekolah mencapai 30,84 % .
Nyaris tak ada perubahan dalam satu dekade
Statistik Ahli Madya BPS, Dendi Handiyatmo, berkata meskipun data yang dikumpulkan berlangsung dua tahun silam, namun dia meyakini kondisinya masih sama di masa sekarang.
Sebab perubahan sosial dan demografi suatu rumah tangga tidak akan terlalu cepat. "Perkembangan rumah tangga selama dua tahun tidak terlalu banyak berubah, termasuk perilaku dari orang-orangnya," jelasnya.
Namun yang menarik, ia juga bilang bahwa data terkait tingkat pendidikan untuk sepuluh suku terbesar di Indonesia relatif tidak banyak perubahan dalam satu dekade lalu.
Suku Batak dan Minangkabau, klaimnya, menjadi yang teratas dalam menyumbang lulusan sarjana di Indonesia. "Iya sama [hasil data tingkat pendidikan] sama seperti tahun 2010, secara persentase [Batak dan Minangkabau] cukup besar."
Hanya saja BPS tidak memiliki data soal apa alasan rumah tangga dari suku Batak atau Minangkabau memiliki lebih banyak anggota keluarga berpendidikan tinggi.
Begitu pun sebaliknya dari suku Jawa yang mempunyai lebih sedikit lulusan sarjana.
"Kalau alasannya enggak ditanya karena itu butuh ketelitian dari si penanya. Sementara petugas kami standar semua hanya mengumpulkan data."
Mengapa suku Batak menganggap pendidikan penting?
Hasrat orang Batak menggapai pendidikan tinggi tak lepas dari budaya dan prinsip hidup yang dianut. Orang Batak mengenal tiga istilah: hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Masing-masing artinya adalah keturunan, kesejahteraan dan kemuliaan.
Menurut Kepala Batakologi Universitas HKBP Nommensen Medan, Manguji Nababan, puncak pencapaian yang dianggap keberhasilan oleh orang Batak adalah sahala dan kuaso, yakni wibawa dan kekuasaan.
"Nah, untuk mendapatkan sahala dan kuaso, tidak ada jalan lain selain pendidikan," ujar Manguji, Kamis (30/01).
Ia juga bilang, orang Batak selalu berusaha agar hidupnya berwibawa, sehingga dapat mendatangkan kekuasaan.
Inilah yang dianggap sebagai puncak kesuksesan. Untuk memerolehnya, orang Batak percaya dengan prinsip hagabeon, hamoraon dan hasangapon.
Dalam Bahasa Indonesia, hagabeon bermakna keturunan atau anak. Artinya, orang Batak mesti menikah ketika sudah cukup syarat. Setelah cita-cita pertama ini tercapai, maka orang Batak akan berpikir untuk mencapai hamoraon, yakni kesejahteraan atau kekayaan.
Maksudnya, orang Batak akan terdorong untuk memeroleh pundi-pundi penghasilan yang besar.
Tujuan hidup terakhir dalam prinsip orang Batak adalah hasangapon, yaitu kehormatan atau kemuliaan.
"Apabila dia sudah memiliki hagabeon kemudian hamoraon, maka dia bercita-cita mendapatkan hasangapon atau kemuliaan. Itulah hirarkinya. Itu semua akan didapatkan melalui jalur pendidikan," ujar Manguji.
Prinsip hidup hagabeon, hamoraon dan hasangapon dalam komunitas Batak disampaikan oleh orang tua kepada anak-anaknya secara turun-temurun.
Hal itu disampaikan dalam hari-hari besar keagamaan maupun kebudayaan sebagai pengingat mereka dalam menjalani hidup.
Menurut Manguji, keinginan kuat orang Batak mengenyam pendidikan tinggi sudah ada sejak zaman dulu.
Sebelum adanya pendidikan formal, orang Batak sudah terbiasa menuntut ilmu dari Datu, yakni tokoh sentral dalam ritual magis masyarakat Batak yang berperan sebagai tabib atau orang pintar yang dihormati.
Pada masa itu, orang Batak juga belajar dari Raja Patik mengenai hukum, aturan, dan norma dalam bermasyarakat. Orang Batak lantas mulai mengenal pendidikan formal setelah masuknya zending untuk menyebarkan ajaran Kristen Protestan pada 1861.
"Otomatis pengaruh pendidikan Barat itu sudah masuk," ujarnya. Kala itu, lanjut Manguji, sudah dibuka sekolah formal seperti di Sipoholon, Tapanuli Utara. Orang Batak disiapkan untuk menjadi tenaga terampil agar bisa bekerja di perusahaan-perusahaan.
"Sangat tinggi animo masyarakat Batak untuk mengenyam pendidikan saat itu. Karena memang mereka jadi bisa bermigrasi (merantau)," ujarnya. Selain prinsip hidup hagabeon, hamoraon dan hasangapon, hasrat menggapai pendidikan tinggi di kalangan komunitas Batak juga tak lepas dari ajaran agama dan faktor lain.
Orang Batak selalu berupaya agar anak-anaknya lebih sukses dari mereka. Filosofi ini dapat dilihat dari bentuk rumah adat Batak yang bagian atap belakangnya lebih tinggi dari bagian depan.
"Budaya kompetisi juga memengaruhi. Orang Batak suka berlomba-lomba, tapi bukan dalam konotasi negatif. Berkompetisi itu bukan berarti berlawan. Jadi ada kebanggaan kalau anak orang Batak itu pergi merantau," ujarnya.
Menurut Manguji, prinsip hagabeon, hamoraon dan hasangapon di kalangan orang Batak masih berlaku sampai saat ini. Hanya saja, sekarang terdapat pergeseran motivasi. "Kalau semangat itu tetap tinggi. Tapi sekarang motivasinya sudah ada tambahan. Jadi ada rasa malu kalau dalam keluarga Batak itu tidak ada yang sarjana, tidak sekolah. Jadi sudah lebih ke gengsi," tuturnya mengakhiri.
Bagaimana dengan suku Minangkabau?
Di Sumatra Barat ada petuah kuno untuk terus menimba ilmu dan pendidikan setinggi-tingginya: Iduk batungkek aka, mati batungkek budi. Artinya adalah "hidup bertopang akal atau ilmu pengetahuan, mati ditopang kebaikan yang dilakukan".
Budayawan Minangkabau, Viveri Yudi, menuturkan petuah tersebut menjadi pegangan orang Minangkabau sehingga sangat mengedepankan pendidikan. Bahkan sejak dari lahir.
"Dari mulai lahir, itu sudah di dalam sistem kebudayaan orang Minang sudah ada fungsi yang menunggu dia," kata pria yang akrab disapa Mak Kari. Menurutnya, lahirnya seorang perempuan di Minangkabau sudah ditetapkan untuk menjadi seorang ibu. Seterusnya, seorang ibu akan menjadi bundo kanduang di rumah gadang.
"Mereka dari lahir sudah diajari dari awal, bagaimana mengatur keluarga dan sudah diberikan informasi-informasi tentang hal tersebut."
Sementara, seorang lelaki di Minangkabau, saat lahir mereka sudah disiapkan untuk menjadi pemimpin seperti mamak atau bahkan penghulu atau datuak.
"Dengan begitu, perempuan dan laki-laki di Minangkabau itu sudah jelas fungsinya dari awal mereka lahir." Sebelum adanya perguruan tinggi, orang Minangkabau merangsang anak cucunya untuk berpikir dengan berbagai metode dan tempat yang telah disiapkan yakni surau.
Mereka lantas diberikan pengetahuan dan diajari berpikir tentang agama. Selain itu, orang Minang juga akan diberikan pendidikan di sasaran (sebuah tempat untuk belajar silek). Para ninik mamak kemudian akan membimbing kemenakannya melalui media silek.
Mereka akan diajarkan bahwa silek itu tidak untuk membunuh orang, silek adalah media untuk mempelajari tentang kehidupan. "Contohnya, kita mulai dari hidup ini mulai belajar berdiri terlebih dahulu. Lalu melangkah.
Dalam basilek jangan kasar, mencari rasa. Belajar basilek itu bukan untuk membunuh orangnya, tetapi upaya terakhir untuk membunuh kesombongan orang lain," paparnya. Selanjutnya, orang Minang juga diberikan jalur menimba ilmu di lapau (warung).
"Ketika sudah mulai remaja, anak-anak minang sudah mulai berdialektika dengan informasi-informasi yang ada di lingkungan, kampung sebelah dan rantau, itu dibicarakan di lapau itu." Selain itu, orang Minang juga disuruh untuk menggali ilmu di rantau.
"Di rantau ini yang paling penting seorang itu bermanfaat untuk orang lain dan menjaga marwah kampung halaman," sambungnya. "Ketika ada lembaga pendidikan yang namanya perguruan tinggi, itu semangatnya sudah ada. Tetapi tidak terkait dengan masalah ekonomi, tetapi semangat sebuah keluarga itu untuk menyekolahkan anaknya, mereka mau menjual tanah, menjual sawah dan ternak untuk anaknya menjadi sarjana," jelasnya.
Hal itu dilakukan oleh orang Minangkabau agar seorang anak itu bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, keluarga dan orang di sekitarnya. Mak Kari menuturkan, dalam sebuah petuah menyatakan, karatau madang di ulu, babuah babungo balun. Karantau bujang dahulu, di rumah paguno balun. Artinya: "ke rantaulah kamu, karena di rumah belum berguna."
"Maksudnya, jika seseorang itu belum berguna dan bermanfaat di kampungnya, dia belum dianggap orang dalam tanda kutip," katanya menjelaskan. Alasan lainnya orang Minangkabau mau menyekolahkan anaknya hingga sarjana karena faktor persyaratan pendidikan untuk mencari pekerjaan yang saat ini sudah semakin tinggi.
"Faktor lainnya yang mendorong orang Minang itu menjadi sarjana adalah karena orang banyak yang suka berdagang, merantau dan harus berguna serta bermanfaat..." "Berbicara dengan anak kemenakan dan harus membina mereka jadi harus memiliki pendidikan yang lebih tinggi. Walaupun sarjana itu tidak menjamin seseorang itu sudah menjadi 'Minangkabau'," tukasnya.
Mengapa suku Jawa melihat pendidikan tinggi berbeda?
Antropolog agama dan budaya dari Universitas Indonesia, Amanah Nurish, mengatakan secara historis suku Jawa sebetulnya melek literatur sejak lama –yang ditandai oleh keberadaan artefak-artefak kuno di masa kerajaan.
Fondasi kuat itu pula, klaimnya, yang turut melahirkan pemikir-pemikir ulung di era kemerdekaan Indonesia termasuk pemimpin negara hingga saat ini.
Beranjak ke masa Orde Baru yang dipimpin Suharto dan memusatkan pembangunan hingga perekonomian di Pulau Jawa, secara tak langsung membuat orang-orang Jawa mendapatkan previlese alias keistimewaan di segala bidang ketimbang suku-suku lain –yang tanpa disadari membuat "kepedulian" mereka pada pendidikan jadi bergeser.
"Dan karena dekat dengan kekuasaan, untuk menjadi pengusaha misalnya, apakah harus jadi sarjana? Enggak juga kan..."
"Jadi faktor jawa sentris itu pada akhirnya membuat orang-orang Jawa sendiri males mengupgrade pendidikan lebih tinggi dalam konteks formal."
"Tapi orang Batak, Minang, atau Bugis kalau tidak pintar bisa kerja apa?" Namun, menurut Aminah Nurish, ada faktor lain yang membuat orang Jawa memandang pendidikan tinggi secara berbeda, meskipun kampus-kampus terbaik berada di tanah Jawa.
Kesadaran itu adalah: orang berpendidikan belum menjamin bakal sukses. "Orang Jawa itu punya kesadaran pendidikan tinggi tidak menjamin orang menjadi lebih bermoral, bermartabat, sukses."
"Di komunitas orang Jawa, orang yang tidak bermartabat, nggak ada harganya. Berbeda dengan suku-suku lain yang masih menganggap gelar sarjana itu sesuatu yang luar biasa." Sehingga, yang dikejar orang Jawa saat ini adalah kesejahteraan ekonomi.
Apalagi melihat biaya untuk menempuh jenjang pendidikan tinggi semakin mahal sekarang-sekarang ini. Ditambah, problem kemiskinan.
"Orang disekolahkan sampai sarjana, habis ratusan juta terus hanya untuk bekerja jadi karyawan yang gajinya kecil, buat mereka ya usaha saja dibanding punya gelar."
"Ada unsur ketidakpercayaan terhadap pendidikan tinggi."
Artikel ini telah tayang di Kompas.com
Dapatkan Informasi lain dari Tribuntangerang.com via saluran Whatsapp di sini
Baca berita TribunTangerang.com lainnya di Google News
Daftar 10 Provinsi Termiskin di Indonesia, Wilayah Indonesia Bagian Timur Mendominasi |
![]() |
---|
Angka Kemiskinan di Provinsi Banten pada Maret 2024 Capai 791,610 Orang |
![]() |
---|
Awal Tahun 2024, Indeks Inflasi Kota Tangerang Sentuh Angka 2,46 Persen |
![]() |
---|
Angka Pengangguran Masih Jadi Tantangan Besar di Kabupaten Tangerang |
![]() |
---|
Mendagri Tito Atensi Daerah dengan Tingkat Inflasi Tinggi Segera Lakukan Pengendalian |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.