TRIBUNTANGERANG.COM, JAKARTA - Bila ada banjir di Jakarta, nama Kampung Pulo hampir dipastikan akan disebut.
Pasalnya kampung yang berada di Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur itu menjadi salah satu titik langganan banjir.
Padahal menilik sejarahkan, Kampung Pulo, memiliki sejarang panjang sebagai pemukiman.
Bahkan, konon sudah berdiri sejak tahun 1800an, sejak penjajahan kolonial Belanda.
Baca juga: Ini Pertimbangan RW 01, Kelurahan Larangan Utara, Kota Tangerang Didapuk jadi Kampung Demokrasi
Awalnya Kampung Pulo adalah sebuah hutan dan oleh pendatang dari Arab wilayah tersebut dikelola.
Dengan meminta surat izin kepada Pemerintah Belanda, orang tersebut mamanfaatkan tanah yang cukup luas.
Namun ada syarat yang harus dilakukan orang Arab bermarga Al Idryus yakni membayar upeti dari hasil mengelola lahan di sana.
Habib Soleh Al Idryus, salah satu keturunan orang pertama di Kampung Pulo ini menceritakan, sewaktu orangtuanya masih ada ia sempat membaca surat izin tersebut sekira tahun 1830an.
Baca juga: Banjir Bandang Terjang Kampung Cisarua, Satu Keluarga Hanyut Terbawa Air
Namun, saat ini surat itu sudah tidak diketahui ke mana karena terakhir dipegang oleh orangtuanya.
"Jadi buyut-buyut saya menikah dengan orang pribumi, sampai almarhum orangtua (ayahnya) menikah sama orang betawi asli sini," katanya saat ditemui Sabtu (2/7/2022).
Nama Kampung Pulo ini diambil karena pada saat itu berada di pinggir bantara sungai yang mengalir deras dan bentuk pemukimannya saat itu seperti pulau.
Sehingga orang-orang yang hidup dijaman itu menyebutkan Kampung Pulo yang artinya pulau pemukiman.
Baca juga: Geliat Kampung Ondel-ondel Kramat Pulo Senen
Habib Soleh mengaku, warga yang hidup di jaman itu tak mudah mendapatkan izin dari Pemerintahan Belanda.
Karena mereka benar-benar menyeleksi orang yang ingin menggarap tanah di Kampung Pulo.
Jika dilihat tak menghasilkan apa-apa, warga tak akan mendapat izin untuk menggarap tanah di sana.
"Jadi kenapa di sini jadi banyak pemukiman, awalnya itu buyut saya dibantu sama warga terus bikinlah bangunan untuk berteduh akhirnya lama kelamaan banyak warga yang bikin serupa karena kan lahan ini harus menghasilkan untuk Belanda," jelasnya.
Sekira tahun 1900an, tanah di Kampung Pulo mulai banyak warga yang bermukim dengan membuat bangunan dari kayu atau bilik.
Kemudian juga ada benteng Belanda dengan nama sumur bor dan Habib Soleh sempat merasakan bermain di sana.
Namun saat ini, benteng Belanda sumur bor sudah diambil alih oleh pendatang China dan ia tak mengetahui lagi apakah masih ada atau tidak.
Padahal itu adalah saksi bisu dari perjuangan melawan penjajah Belanda dan ia berharap masih terawat.
Baca juga: Sepasang Kekasih Gasak Motor di Kampung Belimbing Kosambi Ditangkap Polisi
"Kalau enggak salah sekarang sudah dijadikan rumah, saya itu ngalamin (sumur bor benteng Belanda), sampai dibongkarnya juga ngalamin, tapi saya enggak paham saat itu ternyata punya pemerintah," ucapnya.
Kemudian, kali di seberang rumahnya dari jaman penjajahan Belanda sampai 1980an jadi tempat mandi kuda.
Para pemilik kuda dari berbagai Kecamatan di Jakarta Timur membawa ke kali tersebut termasuk delman.
"Jaman itu yang punya kuda jago-jagoan saja tuh, kaya si Banteng, tapi orang sini sama agama tuh kentel banget," jelasnya.
Tahun 1990 pernah alami banjir setinggi tiga meter dan musibah banjir
Dataran tanah Kampung Pulo ternyata sejajar dengan Kali Ciliwung yang tepat dekat pemukiman warga sekitar.
Bahkan, Habib Soleh pernah merasakan mengungsi ketika banjir besar melanda pemukimannya hingga ketinggian tiga meter.
Namun pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus melakukan perbaikan demi warganya tak alami banjir lagi.
Baca juga: 7 Pelaku Aksi Tawuran Antar Kampung 3 di Antaranya Ditetapkan Jadi Tersangka
"Terakhir tahun 2007 itu banjir sampai ke atap, buat mengungsi di lantai dua juga enggak karena tinggi banget banjirnya," jelasnya.
Kemudian, musibah kebakaran yang terjadi di wilayah rumahnya pernah terjadi yang besar ketika ia masih berusia satu tahunan.
Habib Soleh lahir sekira 1958 dan kebakaran besar terjadi pada tahun 1959 tepatnya hari Sabtu 24 Agustus.
Namun, ia tak mengerti secara pasti penyebab kebakaran yang terjadi sana karena ia masih di bawah umur belum mengerti apa-apa.
"Terakhir, beberapa bulan lalu ya, kebakaran di belakang sana, tapi enggak sebesar sewaktu saya kecil," tuturnya.
Penggusuran
Pada tahun 2012 silam, isu penggusuran Kampung Pulo sudah didengar oleh warga dan beberala kali pejabat pemerintah datang ke sana.
Termasuk Presiden Jokowi yang sempat bedialog dengan warga ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Dalam pertemuan dengan warga, Joko Widodo sempat menawarkan revitalisasi atau melakukan pembangunan rumah tanpa ada penggusuran.
Warga diberi tiga opsi oleh orang nomor satu di Indonesia saat ini yaitu berupa rumah deret, rumah paggung atau rumah susun.
Baca juga: Kampung Tangguh Jaya Antinarkoba Pertama di Pondok Maharta di Kota Tangerang Selatan
"Ngobrol di sini sama warga pak Jokowi, bahkan beliau salat di masjid dekat sini samping rumah," ungkap lelaki keturuna Arab.
Warga sekitar juga menanyakan soal ganti rugi apabila rumah di sana diganti oleh salah satu opsi yang diberikan.
Jokowi dengan tegas menyatakan, akan memberikan ganti untung, karena dia tidak mau ada warga yang rugi akibat kebijakan dari Pemprov DKI.
Banyak warga yanga akhirnya mengurus Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), bahkan ada yang sampai menggadaikan sepeda motor untuk dapat ganti untung.
Baca juga: Tersembunyi di Tanah Abang, Pasar Kampung Bali Jual kemeja Christian Dior Bekas Rp5.000
Sayangnya, tahun 2014, Joko Widodo maju di pemilihan Presiden RI dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok naik sebagai Gubernur.
"Akhirnya enggak ada lagi tuh ke sini, pak Ahok enggak pernah datang, jadinya warga cuma dapat janjinya saja," tururnya.
Sampai pada waktu penggusuran, warga tak mendapatkan apa-apa termasuk Habib Soleh yang harus kehilangan sejumlah tanah warisan dari orangtuanya.
Warga kemudian melakukan perlawanan kepada Pemprov DKI Jakarta yang saat ini ingin membongkar bangunan.
Baca juga: Destinasi Wisata Kota Tangsel : Kampung Keranggan Jadi Kampung Budaya Sunda Banten
Bentrokan antara warga dan aparat kepolisian tak terhindarkan lagi, tapi akhirnya pemilik bangunannya kalah juga dan harus relakan rumahnya digusur.
"Pak Gubernur Anies beberapa kali main ke sini, enggak pernah janji apa-apa sih beliau, kalau pak Ahok enggak pernah berani ke sini karena saya saja dikira macem-macem sama dia," ujar pria berkaos abu-abu. (m26)