Anggota DPRD Jawa Barat Zaini Shofari Kritik Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu KDM karena Dipaksakan

Pria yang juga merupakan ketua fraksi PPP DPRD Jawa Barat ini mengatakan meski bersifat sukarela namun menurutnya gerakan tersebut

Editor: Joseph Wesly
TribunJabar.i /Nazmi Abdurrahman/Tribunnews.com/Fersianus Waku
PROGRAM RP 1000 DIPAKSAKAN- KolasE ketua fraksi PPP DPRD Jawa Barat, Zaini Shofari dan Dedi Mulyadi. Zaini Shofari mengatakan program Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu dipaksakan. 

TRIBUNTANGERANG.COM, JAKARTA- Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu yang digagas oleh Dedi Mulyadi dikritik oleh anggota DPRD Jawa Barat Zaini Shofari.

Zaini Shofari mengatakan yang akrab disapa Poe Ibu ini terkesan dipaksakan.

Pria yang juga merupakan ketua fraksi PPP DPRD Jawa Barat ini mengatakan meski bersifat sukarela namun menurutnya gerakan tersebut dianggap dipaksakan.

Zaini mengatakan Program yang tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 149/PMD.03.04/KESRA yang diteken Dedi tertanggal 1 Oktober 2025 lalu pastinya akan diikuti oleh ASN.

Pasalnya ASN disebutnya tidak akan berani melakukan perlawanan karena Dedi Mulyadi merupakan seorang Gubernur.

Diketahui bahwa warga dan ASN di seluruh Jawa Barat.

"Saya ingin menggarisbawahi gerakan poe ibu ini yang dirasa dipaksakan atas nama kesetiakawanan mulai ASN, siswa sekolah, hingga warga untuk diajak menyisihkan Rp 1000. Jika ASN pastinya akan mengikuti apa yang disampaikan atasannya, yakni gubernur," ujar Zaini Shofari, Minggu (5/10/2025), dilansir TribunJabar.id.

Progam tersebut juga dianggap bertolak belakang karena kebijakan KDM sebelumnya.

Pasalnya KDM diketahui sempat melarang masyarakat untuk meminta-minta sumbangan, seperti untuk sarana pembangunan masjid di pinggir jalan.

KDM juga diketahui melarang adanya pungutan di sekolah karena sekolah gratis untuk siswa-siswinya.

Namun kini, katanya KDM justru mengajarkan bahkan menormalisasikan atau melegalkan pungutan yang seolah-olah sebagai soliditas.

"Saya contohkan, di pinggir jalan, masyarakat yang meminta sumbangan bantuan untuk sarana keagamaan dilarang tapi tak diberikan solusinya. Kemudian, untuk pesantren, majelis, atau lembaga keagamaan justru menjadi nol untuk bantuan hibah," jelas Zaini, Minggu, dilansir dari TribunJabar.id.

"Selanjutnya, gerakan Poe Ibu ini Pemprov Jabar menyandarkannya pada PP Nomor 39 Tahun 2012 tentang Kesejahteraan Sosial, namun di satu sisi KDM menabrak terkait rombongan belajar yang tertuang di dalam Permendikbudristek Nomor 47 Tahun 2023 yang semula 36 rombel dioptimalkan menjadi 50 siswa per rombel," sambungnya.

Zaini menilai model semacam ini tidaklah baik dalam tata kelola bernegara, khususnya dalam hal keuangan.

"Artinya, ketidakmampuan negara dalam hal ini Pemprov Jabar dalam mengelola tata keuangan Pemprov, sehingga masyarakat dilibatkan. Padahal, pajak dan lain sebagainya sudah dilaksanakan masyarakat," kata Zaini.

"Lantas, jangan kemudian dalih banyak warga yang mengadukan ke lembur kuring, kemudian dijadikan alasan atau dasar KDM sebagai bagian dari kesetiakawanan," lanjutnya.

Zaini mengatakan bahwa masyarakat Jabar jika ada yang sakit maka tetangganya pasti membantu.

Kemudian, masyarakat yang kurang mampu atau tak makan, maka tetangganya pasti membantu. 

"Jadi, jangan kemudian direduksi seolah dengan institusional ini masyarakat terus bisa bergerak atas nama edaran," tutur Zaini.

Tujuan Program

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi meluncurkan program menyisihkan uang Rp1.000 per hari yang dinamakan Gerakan Rereongan Poe Ibu

Program ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 149/PMD.03.04/KESRA yang diteken Dedi tertanggal 1 Oktober 2025 lalu. Adapun program ini berlaku bagi warga dan ASN di seluruh Jawa Barat.

Ternyata ada alasan bersifat sosial yang tertuang dalam program terbaru Dedi tersebut yakni banyaknya warga miskin yang masih sulit dalam memenuhi kebutuhan pendukung untuk berobat seperti biaya transportasi atau biaya lainnya.

"Banyak orang yang rumah sakitnya gratis tetapi tidak punya biaya untuk ongkos ke rumah sakitnya. Tidak punya biaya untuk nungguin di rumah sakitnya. Tidak punya biaya untuk bolak-balik kemoterapi," kata Dedi, dikutip dari Kompas.com, Senin (6/10/2025).

Dedi juga menjelaskan metode pengumpulan uang yang digunakan layaknya tradisi jimpitan di mana warga bisa meletakan uang Rp1.000 di kotak kecil yang disediakan di depan rumahnya.

Nantinya, jelas Dedi, uang itu akan dikelola oleh bendahara di lingkungan tersebut dan dialokasikan untuk membantu warga yang kesulitan.

Ia pun meminta uang yang sudah terkumpul itu selalu dilaporkan ke warga oleh pihak pengelola.

"Setiap bulan harus dilaporkan pada seluruh penyumbang. Di setiap RT sudah ada grup WA sekarang. Di RW ada grup WA. Sangat mudah," katanya.

Dedi turut menegaskan uang yang terkumpul itu tidak akan masuk dalam kas daerah atau APBD.

"Tidak ada kaitan dengan APBD atau APBN," katanya.

Terkait terbitnya SE, Dedi mengungkapkan hal itu sebagai wujud ajakan darinya untuk menumbuhkan solidaritas warga Jawa Barat.

"Yang ada adalah gubernur mengajak, menghimbau seluruh jajaran pemerintah untuk sama-sama membangun solidaritas sosial," ujar Dedi.

Diragukan Warga, Takut Uang Disalahgunakan

Namun, program Dedi ini diragukan warga Jawa Barat salah satunya Edi Kusnaedi yang merupakan warga Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung.

Ia mengatakan uang yang sudah terkumpul tersebut akan disalahgunakan oleh pihak pengelola.

"Seribu rupiah itu kan kecil sekali. Tapi kalau dikumpulkan banyak orang, pasti hasilnya besar. Bisa bantu anak-anak sekolah atau orang sakit yang tidak mampu," ujar Edi pada Sabtu (4/10/2025), dikutip dari Tribun Jabar.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com 

Dapatkan Informasi lain dari Tribuntangerang.com via saluran Whatsapp di sini

Baca berita TribunTangerang.com lainnya di Google News

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved