Pengamat: Bicara PKI Tanpa Sebut Nama Gatot Nurmantyo Enggak Seru
Menurutnya, paham komunis saat ini sudah tidak laku dijual, dan publik justru lebih tertarik dengan keriuhan polemik atau pro-kontra sinyalemen itu.
TRIBUNTANGERANG, JAKARTA - Khairul Fahmi, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) mengatakan, tudingan mantan Gatot Nurmantyo komunisme telah menyusup ke tubuh TNI, kurang masuk akal.
Menurutnya, paham komunis saat ini sudah tidak laku dijual, dan publik justru lebih tertarik dengan keriuhan polemik atau pro-kontra sinyalemen itu.
"Menurut saya, tudingan bahwa paham komunis sudah menyusup ke tubuh TNI itu kurang masuk akal."
Baca juga: Bareskrim Tetapkan 5 Tersangka Penganiaya Muhammad Kece, Ada Irjen Napoleon Bonaparte dan Ketua RT
"Paham komunis ini sudah tidak laku dijual," kata Fahmi ketika dihubungi Tribunnews, Selasa (28/9/2021).
Di sisi lain, ia menduga para prajurit TNI yang dianggap memiliki paham kiri oleh Gatot, adalah orang-orang yang dinilainya memiliki kedekatan dengan lingkaran kekuasaan saat ini.
"Nah, ini saya kira berlebihan," tambah Fahmi.
Baca juga: Bekas Panglima Laskar FPI Tak Jadi Tersangka Penganiaya M Kece Meski Ada di TKP, Ini Kata Bareskrim
Ia mengatakan, pembinaan mental ideologi merupakan salah satu pilar TNI dalam menjaga kedisiplinan, loyalitas, dan moral prajurit.
Dengan demikian, kata dia, TNI sangat serius terkait hal tersebut, baik melalui profiling dan screening dalam proses seleksi prajurit, penanaman doktrin di lembaga pendidikan, maupun mekanisme reward and punishment dalam pembinaan SDM di kesatuan.
Fahmi melanjutkan, meski Gatot sudah pensiun dari TNI dan sampai saat ini tak berpartai, dia banyak terlibat dalam kegiatan yang bersifat politis.
Baca juga: Ingin Dijadikan ASN oleh Kapolri, 56 Pegawai KPK: Kami Apresiasi, Walau Masih Jauh dari Harapan
Dengan demikian, kata dia, sulit untuk tidak melihat peringatan Gatot soal bahaya laten komunis, diangkat untuk kepentingan politiknya.
"Pak Gatot ini tampaknya memang konsisten mengangkat isu ini, terutama setiap mendekati akhir September."
"Tanpa kita sadari, dia menjadi 'top of mind' dan menjadi bagian dari perbincangan, perdebatan, dan pemberitaan tiap kali negara ini bersiap memperingati Hari Kesaktian Pancasila," beber Fahmi.
Baca juga: 56 Pegawai KPK yang Mau Direkrut Jadi ASN Polri Tak Bakal Jadi Penyidik
Namun demikian, menurutnya wajar jika Gatot secara konsisten memilih isu komunisme untuk menjaga dan mengelola eksistensinya.
Isu G30S/PKI, kata dia, memang masih sangat menarik bagi sebagian masyarakat, terutama kelompok-kelompok Islam maupun kelompok-kelompok yang terasosiasi dengan militer.
Isu semacam itu, kata dia, banyak diminati oleh influencer dan buzzer, baik online maupun offline.
Baca juga: Kapolri Ingin Jadikan 56 Pegawai KPK ASN Polri, Boyamin Saiman: Saran Saya Ya Diterima Saja
Selain itu, menurutnya ada banyak orang yang dengan senang hati dan sukarela akan menggaungkan narasi dan aksi apapun yang terkait isu G30S, baik positif maupun negatif.
"Ada banyak media yang memberi ruang bagi kemunculan Gatot, setiap tahun."
"Sekarang ini ibaratnya, membincangkan PKI tanpa menyebut nama Gatot itu enggak ramai, enggak seru," ulas Fahmi.
Baca juga: Ingin Dijadikan ASN oleh Kapolri, Ini Daftar 7 Pegawai KPK Tak Lulus TWK yang Pernah Jadi Polisi
Fahmi melihat hal tersebut menjadi peluang yang sangat dimengerti dan kemudian dikelola oleh Gatot dan timnya.
"Bayangkan saja, dia enggak perlu repot membuat isu yang bisa menjamin eksistensi."
"Apalagi ditambah kata kunci 'TNI' dan 'Dudung' seperti sekarang. Jelas ramai," paparnya.
Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 RI 29 September 2021: Suntikan Pertama 90.361.002, Dosis Kedua 50.688.220
Masalahnya, lanjut Fahmi, sama seperti isu khilafah yang kerap dikonsumsi oleh kelompok lain, isu komunisme akhirnya menjadi bara yang terus dipertahankan tetap menyala.
Ia justru khawatir bahwa penguasa, elite politik, dan para penyedia jasa pendampingan politik, seperti tidak punya niatan membantu masyarakat keluar dari trauma masa lalu dan mendapatkan kebenaran.
Isu-isu tersebut, kata dia, justru terkesan digunakan untuk adu kuat, menghadirkan polarisasi, memelihara kecurigaan dan rasa takut yang menyebar di kalangan masyarakat.
Baca juga: Irjen Napoleon Bonaparte Sempat Damai dengan M Kece, Kasus Tetap Lanjut karena Bukan Delik Aduan
Padahal, kata dia, keduanya sama-sama sumir dan ujung-ujungnya adalah pembodohan publik.
"Justru jika diterus-teruskan dan mendapat ruang terus-menerus, perpecahan yang mestinya bukan ancaman faktual ini malah berpotensi menjadi faktual," cetus Fahmi.
Sebelumnya, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo menuding PKI menyusupi TNI.
Baca juga: Epidemiolog: Covid-19 Bukan Flu, Membiarkannya Menjadi Endemi Bukan Rencana yang Tepat
Tudingan itu dikaitkan dengan pembongkaran patung tokoh militer di Museum Darma Bhakti Kostrad.
Panglima Kostrad Letjen TNI Dudung Abdurachman membenarkan patung tiga tokoh yang tadinya ada di Museum Darma Bhakti Kostrad itu, kini sudah tidak ada.
Ketiga patung itu adalah patung Jenderal TNI AH Nasution (Menko KSAB), Mayjen TNI Soeharto (Panglima Kostrad), dan Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo (Komandan RPKAD).
Patung tersebut, kata Dudung, dibuat pada masa Panglima Kostrad Letjen TNI Azmyn Yusri (AY) Nasution pada 2011 sampai 2012.
Dudung mengatakan, kini patung tersebut diambil oleh penggagasnya, yakni Letjen TNI (Purn) AY Nasution sendiri, yang meminta izin kepadanya selaku Panglima Kostrad saat ini.
Ia menghargai alasan pribadi Letjen TNI (Purn) AY Nasution yang merasa berdosa membuat patung-patung tersebut, menurut keyakinan agamanya.
"Jadi, saya tidak bisa menolak permintaan yang bersangkutan," jelas Dudung lewat keterangan tertulis, Senin (27/9/2021).
Dudung membantah tudingan yang mengaitkan penarikan tiga patung tersebut untuk melupakan peristiwa sejarah pemberontakan G30S pada 1965.
Ia juga menegaskan tudingan tersebut tidak benar.
Dudung menegaskan dirinya dan Letjen TNI (Purn) AY Nasution mempunyai komitmen yang sama, yakni tidak akan melupakan peristiwa terbunuhnya para jenderal senior TNI AD, dan perwira pertama Kapten Piere Tendean.
"Jadi, tidak benar tudingan bahwa karena patung diorama itu sudah tidak ada, diindikasikan bahwa AD telah disusupi oleh PKI."
"Itu tudingan yang keji terhadap kami," tuturnya.
Seharusnya, kata dia, Gatot selaku senior di TNI, terlebih dahulu melakukan klarifikasi dan menanyakan langsung kepada dirinya selaku Panglima Kostrad.
Dudung juga mengingatkan pentingnya tabayun dalam Islam, agar tidak menimbulkan prasangka buruk yang membuat fitnah, dan menimbulkan kegaduhan terhadap umat dan bangsa.
Ia melanjutkan, foto-foto peristiwa serta barang-barang milik Panglima Kostrad Mayjen TNI Soeharto saat peristiwa 1965, masih tersimpan dengan baik di museum tersebut.
"Hal ini sebagai pembelajaran agar bangsa ini tidak melupakan peristiwa pemberontakan PKI dan terbunuhnya pimpinan TNI AD serta Kapten Piere Tendean," beber Dudung. (Gita Irawan)