TRIBUNTANGERANG, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengapresiasi putusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) soal tes wawasan kebangsaan (TWK).
Untuk itu, KPK meminta Ombudsman dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berhenti mengurusi pelaksanaan TWK.
"MK dan MA untuk menegakkan supremasi hukum."
Baca juga: Mahfud MD Usul Bangun Lapas Baru di Lahan Sitaaan Kasus BLBI, Tinggal Cari Anggarannya
"Dan ini menegaskan bahwa tidak boleh lagi ada lembaga-lembaga lain yang membersamai dan menandingi kewenangan MK dan MA," ujar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron lewat keterangan tertulis, Jumat (10/9/2021).
Ghufron menuturkan, MA dan MK merupakan lembaga negara yang berwenang untuk menguji keabsahan perundang-undangan.
Menurutnya, rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM tidak perlu dilanjutkan karena MA dan MK sudah bersabda.
Baca juga: Minta Jokowi Evaluasi Kinerja Yasonna Laoly, Anggota Komisi III DPR: Terlalu Lama Nyaman di Situ
"MK dan MA telah memutuskan bahwa Perkom Nomor 01 Tahun 2021 tentang tata cara Peralihan Pegawai KPK Menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah konstitusional dan sah."
"Hal ini menepis tuduhan bahwa Perkom 1/2021 yang di dalamnya mengatur TWK pembentukannya dilakukan secara maladministrasi."
"Termasuk tuduhan bahwa melanggar HAM sebagai hak konstitusional pegawai KPK," tambahnya.
Baca juga: Budi Gunadi Sadikin Ungkap Menkes Italia Kaget 108 Juta Penduduk Indonesia Sudah Divaksin Covid-19
Namun begitu, pihaknya menghargai segenap pihak dan pegawai KPK yang telah menyalurkan haknya konstitusional untuk memohon pengujian tafsir terhadap UU 19/2019 dan Perkom Nomor 1 Tahun 2021.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) menolak gugatan uji materiel yang dilayangkan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021.
Perkom tersebut memuat tentang tes wawasan kebangsaan (TWK) bagi pegawai KPK.
Baca juga: Dirjen PAS dan Para Direktur Berkantor di Lapas Kelas I Tangerang, Fokus Relokasi 81 Napi Selamat
MA menimbang, secara substansial desain peralihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) telah mengikuti ketentuan UU 5/2014 tentang ASN.
Menurut MA, berdasarkan aturan itu, TWK telah menjadi alat ukur yang obyektif untuk memenuhi syarat pengisian jabatan.
"Menolak permohonan keberatan hak uji materiil Pemohon I: Yudi Purnomo dan Pemohon II: Farid Andhika,” demikian dikutip dari putusan perkara bernomor 26 P/HUM/2021, Kamis (9/9/2021).
Baca juga: Tiga Napi Meninggal di RSUD Tangerang, Korban Jiwa Kebakaran Lapas Kelas I Tangerang Jadi 44 Orang
Putusan tersebut disidangkan oleh ketua majelis hakim Supandi dan anggota majelis hakim Yodi Martono Wahyunadi dan Is Sudaryono.
MA berpendapat aturan TWK dalam Perkom 1/2021 merupakan sarana berupa norma umum yang berlaku bagi pegawai KPK.
Hal itu sebagai persyaratan formal yang diutangkan dalam regulasi kelembagaan guna memperoleh output materiel, yaitu pegawai KPK yang setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah yang sah.
Baca juga: Mahfud MD Usul Bangun Lapas Baru di Lahan Sitaaan Kasus BLBI, Tinggal Cari Anggarannya
“Para pemohon tidak dapat diangkat menjadi ASN bukan karena berlakunya Perkom 1/2021 yang dimohonkan pengujian, namun karena hasil asesmen TWK."
"Pemohon sendiri yang TMS (Tidak Memenuhi Syarat) sedangkan tindak lanjut dari hasil TWK tersebut menjadi kewenangan pemerintah,” bunyi putusan perkara.
MK Nyatakan TWK Konstitusional
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-undang 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan secara daring lewat saluran YouTube MK, Selasa (31/8/2021).
Anwar berujar, seluruh permohonan yang didalilkan pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Baca juga: Masih di Bawah Umur, Bareskrim Lepaskan Satu Tersangka Peretas Situs Setkab, Diminta Wajib Lapor
Maka dari itu, permohonan tersebut harus dinyatakan ditolak untuk seluruhnya.
MK memutuskan pasal 69B ayat 1 dan Pasal 69C UU KPK tidak bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional).
"Menurut MK, pasal 28D ayat 1 UUD 1945 tidak dimaksudkan untuk menjamin seseorang yang telah menduduki jabatan apa pun, tidak dapat diberhentikan dengan alasan untuk menjamin dan melindungi kepastian hukum."
Baca juga: Mantan Anggota JI: Kemenangan Taliban Bisa Dicopy Paste Teroris di Indonesia Gulingkan Pemerintah
"Kepastian hukum yang dimaksud adalah kepastian hukum yang adil serta adanya perlakukan yang sama."
"Dalam arti setiap pegawai yang mengalami alih status mempunyai kesempatan yang sama menjadi ASN, dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan," ucap hakim konstitusi Deniel Foekh saat membacakan putusan.
"Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 69B ayat 1 dan Pasal 69C UU KPK bukan hanya berlaku bagi pemohon, in casu pegawai KPK yang tidak lolos TWK, melainkan juga untuk seluruh pegawai KPK," imbuhnya.
Baca juga: Perpanjang PPKM Hingga 6 September, Jokowi: Kita Harus Bersama Menjaga Kasus Covid-19 Tak Naik Lagi
Dalam putusan itu, empat hakim konstitusi sepakat dengan amar putusan, tetapi mengajukan alasan yang berbeda (concuring opinion).
Mereka adalah Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih.
Perkara tersebut diajukan oleh Direktur Eksekutif KPK Watch Indonesia Yusuf Sahide.
Baca juga: DAFTAR Lengkap PPKM di Jawa-Bali, Jakarta, Jawa Barat, dan Banten Nihil Level 4
Pasal yang dimohonkan untuk diuji MK adalah pasal 68B ayat 1 dan pasal 69C, yang mengatur soal peralihan pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
"Pemohon dengan ini mengajukan permohonan pengujian materiel terhadap sebagian frasa dalam pasal 69B ayat 1 dan pasal 69C Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," tertulis dalam berkas permohonan, Kamis (8/7/2021).
Pasal 69B Ayat 1 berbunyi:
Baca juga: Ilmuwan Ungkap Enzim Covid-19 Sama dengan yang Terkandung di Bisa Ular, Obat Ini Dapat Jadi Solusi
"Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak Undang-Undang ini berlaku;
"Dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan."
Kemudian Pasal 69C berbunyi:
Baca juga: Kasus Jual Beli Jabatan di Probolinggo, Calon Kepala Desa Harus Bayar Rp 20 Juta
"Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama dua tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku;
"Dapat diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Pemohon menilai, hasil penilaian tes wawasan kebangsaan (TWK) pada pegawai KPK telah dijadikan dasar serta ukuran baru untuk menentukan status ASN pegawai KPK.
Baca juga: Menkes: Indonesia Awalnya Dibully Vaksinasi akan Selesai 10 Tahun, Sekarang Rangking 6 Dunia
Sementara, bagi pegawai tidak tetap, menjadi setidak-tidaknya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPK),.
Padahal, tidak ada satu pun aturan dalam UU KPK maupun Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara, yang mensyaratkan TWK.
"Adapun Pasal 5 ayat (4) Peraturan Perkom 1/2021 itu hanya mewajibkan ikut serta tidak menjadi syarat harus dinyatakan memenuhi syarat dalam proses asesmen tersebut," tulis berkas permohonan. (Ilham Rian Pratama)