Dia mengatakan, tidak menghormati HAM 56 pegawai menunjukkan bobroknya penghormatan terhadap martabat manusia oleh KPK.
"KPK secara kejam dan tuna belas-kasihan acuh kepada martabat kemanusiaan kami. KPK tak mengakui hak asasi manusia kami, di mana kami disudutkan sebagai pihak yang lemah, terancam, tak dapat membela diri, tak berguna," kata Faisal.
Sikap semena-mena karena ia merasa pimpinan KPK mengabaikan temuan fakta dari Ombudsman RI.
Padahal kata Faisal, Ombudsman telah terang-benderang mengungkapkan adanya pelanggaran administrasi dalam proses asesmen TWK pegawai KPK. "Terlebih, KPK silap mata atas rekomendasi Ombudsman," kata dia.
Sementara sikap biadap, dikatakan Faisal, karena pimpinan KPK telah memecat 56 tanpa basis alasan yang kuat.
Argumen pemecatan 56 pegawai dirasa amat oleng, guncang, goyang, dan labil. Alhasil karena sikap pimpinan KPK itu semua, ia dan 55 pegawai terancam kehilangan penghasilan, yang Faisal ibaratkan sebagai 'oksigen.'
Baca juga: Mau Pergi ke Luar Negeri? Syaratnya Wajib Vaksin Lengkap, Karantina, dan PCR, Simak Selengkapnya
Baca juga: Temukan Pungli Saat Vaksin Covid-19 di Kota Tangerang? Hubungi ke Nomor Telepon Ini
Baca juga: VIRAL, Kakek di Sumsel Ditemukan Lupa Jalan Pulang, Bawa Emas dan Uang Rp150 Juta, Begini Kondisinya
"Otomatis dalam beberapa waktu ke depan kami akan kehilangan oksigen. Bukan cuma oksigen buat pribadi, tapi juga oksigen buat keluarga. Kami dimatikan secara terburu-buru dan sadis. Bagaikan kelakuan immoral dan brutal orang-orang Gerakan 30 September 1965," katanya.
Kendati demikian, Faisal tak bisa berbuat apa-apa lantaran SK Pimpinan KPK soal pemecatan 56 pegawai telah terbit. Karena itu dirinya mohon pamit. Walaupun begitu, selama di KPK, Faisal percaya bahwa sebuah tugas tak mungkin usai tanpa bantuan orang lain.
"Terima kasih layak terucapkan. Saya layangkan apresiasi kepada rekan-rekan di KPK. Semuanya. Tanpa kecuali. Tulus. Saya tak akan minta maaf. Sebab, saya percaya, teman-teman sudah memakbulkan maaf tanpa saya mengiba-iba. Dan, yakinlah, sejak pertama bertemu, lantas bekerja sama dan bersama bekerja, hari demi hari di KPK, saya sudah memutihkan hati. Harapan sebaliknya tentu mirip," tuturnya.
Faisal menilai wajah boleh berganti. Tapi, ide dan perjuangan harus tetap bergentayangan, berkawin dengan pikiran-pikiran kontemporer yang tumbuh. Ia meminta rekan-rekannya tidak ciut menghadapi penguasa.
"Jangan takluk di hadapan kuasa. Tetaplah berani berpolemik secara dinamis dan terbuka, meski tempat pijakan kita dengan kekuasaan sudah berjarak jauh," ujarnya.
Dia juga menilai momen kali ini adalah suatu kewajaran bila mereka tunduk dahulu. Namun, dia mengingatkan mereka tidak keok, tidak menyerah. Ada saatnya nanti angin berpihak. Yang penting, tegas dia, tetaplah berusaha menjaga integritas.
"Dalam keyakinan saya, dalam waktu yang tak lama ke depan, KPK akan sunyi. Tetapi, ingatlah, sunyi adalah bunyi yang sembunyi. Sunyi tidak berarti diam. Dia adalah nada yang ketika waktunya tiba akan terdengar nyaring. Terima kasih atas segala-galanya selama 15 tahun pengabdian saya di KPK," kata Faisal.
Terkait pemecatan para pegawai KPK itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung (FH Unpad) Atip Latipulhayat menilai TWK yang menjadikan tolak ukur pimpinan KPK untuk memberhentikan pegawai hanyalah sebuah alibi atau alasan menyingkirkan para pegawai tersebut.
"Saya melihat dari awal TWK itu memang didesain sebagai sebuah alibi untuk menyingkirkan (para pegawai KPK), jadi itu alibi saja," kata Atip dalam diskusi bersama ICW secara daring, Minggu (19/9).