Laporan Wartawan,
TRIBUNTANGERANG.COM, Gilbert Sem Sandro
TRIBUNTANGERANG.COM, TANGERANG- Kota Tangerang terkenal dengan kekayaan budaya beragam yang masih kokoh berdiri hingga saat ini di tengah gempuran perkembangan zaman. Bukan hanya menjadi sekedar cerita masa lalu, melainkan kehidupan yang terus ada hingga saat ini seperti halnya etnis Cina Benteng.
Sebutan ini muncul karene keberadaan benteng pertahanan yang dibangun Belanda di tepi Sungai Cisadane dan masyarakat Tionghoa tinggal di sekitarnya.
Bukti nyata keberadaan Cina Benteng ialah dengan berdirinya sejumlah vihara atau klenteng tertua di Provinsi Banten yaitu Boen Tek Bio dan Boen San Bio.
Selain itu banyaknya masyarakat Tionghoa yang bekerja menjadi pedagang, jadi bukti kuat peradaban umat Tionghoa masih eksis di Kota Tangerang diantaranya Kawasan Pasar Lama.
Pasar yang telah menjadi pusat perdagangan sejak zaman Kerajaan Tarumanegara itu terus berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman.
Pasalnya pasar yang berlokasi di Jalan Kisamaun, Sukasari, Kota Tangerang, Provinsi Banten tersebut menjadi titik pertemuan beragam budaya khususnya budaya Cina Benteng dengan masyarakat lokal seperti masyarakat Sunda dan Betawi.
Sejumlah toko yang menjual ornamen khas Tionghoa masih berdiri hingga saat ini, salah satunya ialah Toko Hio Abadi.
Toko yang kental dengan barang kebudayaan yang adai di Jalan Bakti nomor 32, Pasar lama, Kota Tangerang ini telah beroperasi sejak tahun 1979 silam.
Pemilik Toko Hio Abadi, Widia mengaku, masih meneruskan usaha orang tuanya itu lantaran memiliki kaitan erat dengan sejarah keluarga. Sebab toko tersebut menjadi satu-satunya mata pencaharian ke dua orang tua dalam membesarkan anak-anaknya.
"Toko ini sudah ada dari zaman bapak saya yang sudah lebih 40 tahun lalu masih buka, jadi toko ini sudah ada hingga dua generasi yang menjaga dan mengelolanya," ujar Widia saat diwawancarai TribunTangerang.com, Senin (11/8/2025).
Wanita yang akrab disapa Cik Wid itu menyebut tidak pernah libur dalam berjualan dan selalu buka setiap hari sejka pukul 07.00 WIB hingga 19.00 WIB.
Di dalam bangunan dengan luas sekira 5x7 meter itu, ia menjual perlengkapan ibadah bagi umat Tionghoa seperti lilin, lampion, angpao, hingga dupa atau hio.
"Kami menjual hio, lilin, kertas, minyak, semua perlatan buat sembayang lah, jadi yang dibakar semua, sisanya paling pernak-pernik atau hiasan dan makanan buat umat yang beribadah," ungkapnya.
Widia melanjutkan ceritanya, yang masih memilih terus menekuni profesi andalan turun-temurunnya tersebut untuk tetap menafkahi anggota keluarganya.