Ledakan di SMAN 72 Jakarta

Pengamat Minta Komunikasi Publik yang Empatik dan Terkoordinasi Pasca Ledakan di SMAN 72 Jakarta

Al Chaidar menilai indikasi awal peristiwa ini lebih mengarah konflik internal di lingkungan sekolah yang termanifestasi

Penulis: Ikhwana Mutuah Mico | Editor: Joseph Wesly
(Tangkapan layar/istimewa)
KONFLIK INTERNAL- Senjata yang diduga milik terduga pelaku peledakan bom di SMAN 72 Jakarta, Jumat (7/11/2025). Al Chaidar menilai indikasi awal peristiwa ini lebih mengarah konflik internal di lingkungan sekolah yang termanifestasi. (Tangkapan layar/istimewa) 

Ringkasan Berita:
  • Ledakan di area masjid sekolah diduga lebih disebabkan oleh konflik internal dan tekanan psikososial di lingkungan sekolah, bukan tindakan jaringan teroris.
  • Meskipun ditemukan elemen yang meniru aksi ekstremis luar negeri, Al Chaidar menilai pelaku tidak benar-benar memahami ideologi radikal, melainkan hanya terpengaruh oleh konten ekstremis daring.
  • Ia menekankan agar narasi pascaledakan disampaikan secara hati-hati, empatik, dan terkoordinasi antara sekolah, aparat, dan media.

 

Laporan Wartawan
TribunTangerang.com, Ikhwana Mutuah Mico

TRIBUNTANGERANG.COM, JAKARTA- Pengamat terorisme Al Chaidar menilai ledakan yang terjadi di area masjid SMA Negeri 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (8/11/2025) diduga bukan merupakan aksi terorisme terorganisir. 

Al Chaidar menilai indikasi awal peristiwa ini lebih mengarah konflik internal di lingkungan sekolah yang termanifestasi dalam bentuk aksi kriminal dengan elemen imitasi ideologis.

“Berdasarkan lokasi (masjid sekolah), waktu (salat Jumat), dan korban (siswa dan guru), indikasi awal menunjukkan motif utama ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta lebih condong pada konflik internal yang termanifestasi dalam bentuk aksi kriminal yang dimodifikasi, dengan kemungkinan elemen imitasi ideologis,” ujar Al Chaidar kepada TribunTangerang.com, Sabtu (8/11/2025).

Menurutnya, pelaku diduga merupakan siswa yang merasa terisolasi atau tertekan secara sosial.

"Ledakan ini bisa jadi merupakan bentuk pelampiasan atau ekspresi kemarahan terhadap lingkungan sekolah. Penggunaan bom rakitan dan senjata mainan menunjukkan improvisasi, bukan operasi terorganisir,” jelas Al Chaidar.

Ia menambahkan, adanya tulisan-tulisan yang mirip dengan frasa manifesto Brenton Tarrant pelaku penembakan masjid di Selandia Baru menunjukkan kemungkinan pelaku terpapar konten ekstremis daring. Namun, ia menilai pelaku belum tentu memahami ideologi tersebut secara mendalam.

“Pemilihan waktu salat Jumat dan lokasi masjid bisa dimaknai sebagai provokasi terhadap komunitas Muslim. Namun, karena pelaku adalah bagian dari komunitas sekolah sendiri, ini lebih mungkin merupakan ekspresi konflik internal daripada agenda ideologis eksternal,” tambahnya.

Hingga kini, belum ada bukti kuat yang menunjukkan keterlibatan pelaku dengan jaringan teror tertentu.

Baca juga: Orang Tua Terduga Pelaku Ledakan di SMAN 72 Jakarta Disebut Sedang di Luar Negeri

Al Chaidar menyarankan audit digital forensik terhadap perangkat pelaku guna menelusuri kemungkinan radikalisasi daring, serta pendekatan psikologis dan sosial untuk memahami latar belakang perbuatannya.

“Motif utama tampaknya berakar pada konflik internal dan tekanan psikososial, namun diperkuat oleh pengaruh transnasional melalui radikalisasi daring dan pola copycat. Ini bukan semata-mata aksi kriminal biasa, melainkan bentuk ekspresi kompleks yang memerlukan pendekatan multidisipliner dalam investigasi dan pencegahan,” ujarnya.

Ia menegaskan pentingnya narasi dan komunikasi publik yang terarah pasca ledakan. Menurutnya, cara penyampaian informasi setelah peristiwa seperti ini akan sangat memengaruhi respons masyarakat dan stabilitas sosial.

“Narasi dan komunikasi publik setelah kejadian seperti ledakan di SMA Negeri 72 sangat penting. Cara penyampaian informasi akan menentukan apakah masyarakat merasa aman, terlibat secara konstruktif, atau justru terprovokasi,” ujar Al Chaidar.

Ia menjelaskan narasi awal menjadi bingkai utama dalam membentuk pemahaman publik terhadap motif dan dampak kejadian. Karena itu, pemberitaan atau pernyataan resmi yang tidak terstruktur, sensasional, atau terburu-buru dapat memicu kepanikan, stigma, bahkan aksi peniruan.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved