Pilpres 2024
Pengamat Bilang Permintaan 2 Warga Perpanjang Jabatan Anies ke MK Sulit Dikabulkan, Ini alasannya
pengamat bilang permintaan 2 warga yang meminta jabatan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan diperpanjang itu sulit dikabulkan
Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: Lilis Setyaningsih
TRIBUNTANGERANG.COM, JAKARTA - Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai permintaan dua warga untuk memperpanjang masa jabatan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan dampak dari bergulirnya isu Presiden tiga periode.
Selain itu, kepuasan mereka terhadap kepimimpinan Anies di Jakarta juga menjadi faktor pendukung lainnya.
“Keduanya ikut menumpangi isu, perpanjangan masa jabatan presiden dan juga mungkin merasa puas dengan kepemimpinan Anies,” ujar Ujang pada Sabtu (9/4/2022).
Menurut Ujang, permintaan dua warga itu merupakan hak warga negara dan dia menganggap usulan tersebut bagian dari perjuangan Anies atau timnya dalam menggunggat hukum ke MK.
Baca juga: Ketua DPRD DKI Jakarta Minta KPK Panggil Anies Terkait Dugaan Korupsi Formula E
Meski begitu, dia merasa permintaan itu sulit dikabulkan karena akan banyak kepala daerah lain yang juga akan mengajukan hal serupa.
“Anies sih sudah paham apa yang terjadi. Gugatan warga itu bagian skenario untuk bantu Anies agar lancar dalam pencapresan, karena kalau dia habis di Oktober, tidak punya jabatan, itu juga akan berat dalam soal pencapresan,” katanya.
Menurut dia, Anies harus memiliki sebuah jabatan tertentu demi menjaga ketokohan dan elektabilitasnya bila ingin maju dalam Pilpres pada 2024 mendatang.
Ujang juga merasa, Anies tidak akan mungkin kembali menjadi Menteri di era Presiden Jokowi usai menjadi Gubernur pada 16 Oktober 2022 nanti.
Baca juga: Anies Baswedan Diminta Keseriusannya Tangani Kasus TB yang Tembus 20 ribu orang
“Anies berat karena tak punya jabatan lagi, jika tak punya jabatan biasanya seseorang tokoh akan terlupakan. Anies tahu itu, dan Anies perlu punya posisi atau jabatan lain yang bisa untuk menaikkan elektabilitasnya,” imbuhnya.
“Kita lihat saja Anies ke depan pegang posisi apa, karena itu wajib,” katanya yang juga menjadi Direktur Eksekutif Indonesia Politican Review ini.
Seperti dikutip kompas.com, warga Jakarta bernama A Komarudin dan Eny Rochayati meminta agar masa jabatan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan diperpanjang.
Hal tersebut disampaikan dalam gugatannya terhadap Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang (UU Pilkada).
Baca juga: Tak Lewatkan Euforia MotoGP, Anies Luncurkan Aplikasi Digital Pariwisata Kepulauan 1000 di Mandalika
Hal serupa juga disampaikan sejumlah warga Papua dalam gugatan UU Pilkada tersebut. Para Pemohon ini menguji norma Pasal 201 ayat (3), ayat (9), Penjelasan Pasal 201 ayat (9), Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Pilkada. Pasal 201 ayat 9 UU Pilkada menyatakan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023, diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
Pasal 201 ayat 10 UU Pilkada menyatakan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dikutip dari website mkri.id, para pemohon meminta MK menyatakan bahwa pasal di dalam UU Pilkada tersebut konstitusional bersyarat.
Pasal-pasal tersebut agar dimaknai sebagai berikut:
(a) Ada ketentuan mekanisme pengisian Penjabat Kepala Daerah yang demokratis,
(b) Calon Penjabat Kepala Daerah memiliki legitimasi dan penerimaan paling tinggi dari masyarakat,
(c) Merupakan orang asli Papua hal ini berlaku untuk Penjabat Kepala Daerah di Provinsi Papua dan Papua Barat,
(d) Melalui proses penilaian dari berbagai yang mempertimbangkan usulan dan rekomendasi dari Majelis Rakyat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, pemuka agama dan masyarakat
(e) Ada ketentuan yang jelas yang mengatur persyaratan-persyaratan sejauh mana peran, tugas dan kewenangan dari pejabat kepala daerah yang ditunjuk,
(f) Dapat memperpanjang masa jabatan atau habis masa baktinya pada tahun 2022 atau 2023,
(g) Bukan berasal dari Kepolisian dan TNI serta
(h) Independen dan bukan representasi kepentingan politik tertentu dari Presiden atau Pemerintah Pusat.
Baca juga: PDIP Sindir Anies, Harusnya ke IKN Bawa Tanah Trek Formula E hingga Kasus Munjul
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua MK Aswanto mengatakan, pihaknya belum melihat kerugian konstitusional yang dialami pemohon dalam gugatan tersebut.
“Kami juga tidak bisa mengatakan ada kerugian konstitusional kalau tidak ada hak konstitusional yang diberikan berkaitan dengan itu,” kata Aswanto.
Menurut dia, pemohon harus dapat menjelaskan soal hak mereka yang diatur di dalam konstitusi yang dirugikan dengan berlakunya norma Pasal 201 ayat (9), ayat (10), dan ayat (11).
"Jadi, pertama harus Saudara menegaskan bahwa hak konstitusional yang diberikan kepada para pemohon atau yang tercantum di dalam UUD 1945, yang merupakan hak pemohon berkaitan dengan soal pengisian penjabat itu atau soal kepala daerah itu. Ternyata dengan norma Pasal 201 ayat (9), ayat (10), ayat (11), para pemohon atau hak konstitusional yang diperoleh oleh pemohon atau yang sudah diberikan oleh pemohon, itu ternyata dilanggar," jelasnya.
Baca juga: Survei LSI: Elektabilitas Prabowo Subianto Tertinggi di Lampung, Bagaimana Ganjar dan Anies?
Sementara itu, hakim konstitusi Arief Hidayat mengatakan, bahwa petitum yang disampaikan pemohon justru menjadi semacam positive legislator.
Padahal, wewenang itu berada di tangan DPR.
Menurut dia, MK menghindari hal tersebut. Sehingga meminta pemohon untuk memperbaiki petitumnya.
“Ya, silakan diperbaiki petitumnya karena kalau anda petitumnya kayak begini, saya berpendapat, 'Wah, ini Petitumnya kabur'. Satu, kaburnya kenapa? Perumusannya enggak jelas," ungkap Arief. (faf)