Pagar Laut di Tangerang

Respons Hadi Tjahjanto Soal Adanya SHGB dan SHM di Area Pagar Laut saat Dirinya Jadi Menteri ATR/BPN

Nusron Wahid mengatakan pagar laut yang membentang di perairan Tangerang itu memiliki sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan sertifikat hak milik

|
Editor: Joseph Wesly
)(KOMPAS.com/SINGGIH WIRYONO)
Mantan Menkopolhukam, Hadi Tjahjanto saat ditemui di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Selasa (22/10/2024) 

Meski begitu, Hadi tidak berkomentar banyak mengenai polemik pagar laut di wilayah perairan Kabupaten Tangerang itu, maupun soal penerbitan dokumen sertifikat atas aset tersebut.

Baca juga: Muannas Alaidid Bantah soal HGB di Area Pagar Laut Tangerang: Hanya Lahan Terabrasi

Dia justru meminta semua pihak menghormati langkah Kementerian ATR/BPN yang sedang berupaya mengklarifikasi soal keabsahan dokumen tersebut. 

“Saya pikir kita harus menghormati langkah-langkah yg sedang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN dalam rangka memberikan klarifikasi,” kata Hadi.

Berdasarkan informasi yang didapatkan Hadi, Kementerian ATR/BPN saat ini sedang menelusuri kesesuaian prosedur dalam penerbitan sertifikat tersebut ke Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang.

“Salah satunya kalo tidak salah, akan melakukan penelitian ke Kantor Pertanahan setempat apakah prosedur penerbitan hak yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan sudah sesuai dengan ketentuan atau tidak,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, penemuan pagar laut ini bermula dari laporan yang diterima Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten pada 14 Agustus 2024. Pagar laut ini menjadi sorotan karena diketahui tidak memiliki izin.

Muannas Alaidid Bantah Ada SHGB dan SHM

Pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di Pesisir Kabupaten Tangerang, menimbulkan polemik baru usai munculnya Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dimiliki perusahaan swasta maupun perorangan.
Menanggapi hal tersebut, Konsultan Hukum PIK-2 Muannas Alaidid menegaskan klaim laut yang disertifikatkan tidaklah benar.
Muannas menilai, yang terjadi adalah alih fungsi lahan tambak atau sawah milik warga yang terabrasi.
Meski demikian, batas-batasnya masih jelas kemudian dialihkan sesuai prosedur hukum.
“Pernyataan Menteri ATR/BPN kemarin sangat jelas. Tidak ada laut yang disertifikatkan. Yang ada adalah lahan tambak atau sawah yang terabrasi, namun batasnya tetap dapat diketahui dan tercatat dalam dokumen resmi, lalu dialihkan menjadi HGB dan SHM,” kata Muannas kepada wartawan, Selasa (21/1/2025).
Berdasarkan hasil kordinasi dengan Lembaga Geospasial Menteri ATR/BPN sebelumnya, telah memerintahkan Dirjen SPPN untuk melakukan koordinasi dengan Badan Informasi Geospasial (GIB) untuk memeriksa garis pantai Desa Kohod.
Pemeriksaan itu kata Muannas, bertujuan untuk memastikan apakah HGB dan SHM berada di dalam atau di luar garis pantai, berdasarkan perubahan garis pantai, sejak 1982 hingga 2024.
Muannas mengaku, dalam pengecekan melalui Google Earth menunjukkan kavling HGB dan SHM yang berada di sekitar pagar bambu bukan laut, melainkan lahan warga yang terabrasi.
"Masalah ini muncul karena ada yang salah memahami bahwa pagar laut sepanjang 30 km tersebut adalah bagian dari SHGB milik pengembang, padahal sebagian di antaranya adalah SHM milik warga,” tuturnya.
Muannas mengatakan, seluruh dokumen yang diterbitkan melalui proses yang legal, sesuai prosedur penertiban HGB dsn SHM.
Lahan yang semula berupa tambak atau sawah milik warga lanjut Muannas, dialihkan menjadi SHGB milik PT setelah melalui pembelian resmi, pembayaran pajak, serta dilengkapi Surat Keputusan (SK) Izin Lokasi dan PKKPR (Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang).
“SHGB yang ada diterbitkan sesuai proses dan prosedur. Semula lahan tersebut SHM milik warga, dibeli secara resmi oleh PT, dibalik nama, dan pajaknya dibayar. Semua dokumen lengkap,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Muannas juga menyoroti adanya narasi yang keliru mengenai pagar laut sepanjang 30 kilometer tersebut.
“Isu ini mirip dengan narasi terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dikaitkan secara keliru dengan PIK 2. Sama seperti itu, klaim bahwa seluruh pagar laut sepanjang 30 km adalah bagian dari HGB PIK juga tidak benar,” kata Muannas.
“Keterangan BPN sudah jelas, tidak semua pagar laut ini terkait HGB PIK. Ada SHM warga lainnya yang terlibat,” tambahnya. 

Ombudsman akan Minta Penjelasan ATR/BPN

Kasus pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di Pesisir Kabupaten Tangerang, ternyata menimbulkan polemik baru.

Yang mana, terdapat Hak Guna Bangunan (HGB) hingga Sertifikat Hak Milik (SHM), dari perusahaan swasta maupun perorangan.

Hal itu pun menjadi perhatian publik, lantaran adanya HGB hingga SHM tersebut telah menabrak hak konstitusi terkait laut.

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Banten, Fadli Afriadi menuturkan, jika sampai ada penerbitan di HGB di kawasan itu, maka perairan yang dipasangi pagar laut, telah dianggap sebagai daratan.

Fadli menilai, hal tersebut berbanding terbalik dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2010 menyangkut ketentuan mengenai pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3).

“Yang jelas satu, kalau kebetulan mahkamah konstitusi sebenarnya di laut itu tidak berlaku rezim hak, artinya tidak boleh ada kepemilikan. Jadi kalau bentuknya ini ada Hak Guna bangunan, tentu perlu diselidiki lebih lanjut kok bisa keluarnya itu adalah dalam bentuk hak,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (21/1/2025).

Atas hal tersebut, Fadli mengatakan pihaknya akan memanggil perwakilan dari kantor wilayah (Kanwil) ATR/BPN, untuk mengetahui Informasi lebih lanjut soal HGB dan SHM tersebut.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved