Kuatkan Program Deradikalisasi Mantan Teroris, Densus 88 Gandeng Kementerian Dalam Negeri

Editor: Yaspen Martinus
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Densus 88 sedang menggodok perjanjian kerja sama (PKS) dengan Kementerian Dalam Negeri.

"Semenjak saya diberikan amanah di sini, tidak ada lagi yang mengulangi perbuatan kekerasan atau terorisme," klaim Shodiq.

Tiga Jenis Interogasi

Direktur Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Antiteror Polri Kombes MD Shodiq mengungkapkan tiga jenis interogasi terhadap terduga teroris, yang selama ini dilakukan.

Tiga jenis interogasi tersebut merupakan bagian dari implementasi penegakan hukum secara soft approach atau humanis, yang dilakukan khususnya oleh direktorat yang dipimpinnya.

Dalam konteks Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, interogasi mulai dilakukan selama 14 hari.

Baca juga: 78 Persen Responden yang Disurvei SMRC Ogah UUD 1945 Diamandemen

Interogasi, kata dia, dilakukan oleh para interogator yang berkualifikasi.

Hal tersebut ia sampaikan dalam Diskusi Publik bertajuk Terorisme dan Radikalisme: Perlukah Densus 88 Dibubarkan? Di kanal Youtube Suara SETARA, Jumat (15/10/2021).

"Kita pendekatan pertama soft approach 14 hari itu interogasi ada tiga jenisnya."

Baca juga: Rocky Gerung Bilang Pemilu 2024 Bakal Jadi Kandang Oligarki Beternak Politisi

"Pertama, interogasi untuk kepentingan penyidikan, SiADiDeMenBaBi (Siapa, Apa, di mana, Dengan Apa, Mengapa, Bagaimana, Bilamana)."

"Kalau terpenuhi unsur itu, sudah naikkan. Maka 14 hari itu naik status jadi tersangka," jelasnya.

Interogasi berikutnya, kata dia, adalah identifikasi dan profiling untuk kebutuhan jaringan intelijen dan database di Densus 88.

Baca juga: Kepatuhan Masyarakat Pakai Masker Lebih dari 93 Persen, Jaga Jarak di Atas 91 Persen

Ketiga, lanjutnya, interogasi untuk kepentingan pembinaan dan deradikalisasi.

"Di situlah kita didampingi oleh tim psikolog untuk melakukan pendekatan-pendekatan hati dan empati," terang Shodiq.

Dalam pendekatan empati tersebut, kata Shodiq, dibutuhkan kemampuan merasa untuk menjadi diri dari terduga teroris, keluarga, bahkan temannya.

Baca juga: Siti Zuhro: Politisasi SARA Demi Menang Pemilu Adalah Kekejian

Sehingga, kata dia, para terduga teroris tersebut percaya dengan interogator.

"Kadang kita diskusi selama 14 hari tidak menyentuh substansi masalah."

"Hanya membangun chemistry antara saya dan teman-teman dengan mereka selama 14 hari."

Baca juga: UPDATE Covid-19 Indonesia 15 Oktober 2021: 1.408 Pasien Sembuh, 915 Orang Positif, 41 Meninggal

"Setelah terbangun komunikasi yang intens, baru kita serahkan ke penyidik. Status naik jadi tersangka," bebernya.

Shodiq juga mengungkapkan pengalamannya bertugas menjadi interogator dalam kasus-kasus terorisme sejak 1988.

Ia menggambarkan pada interogasi tahap awal dilakukan tidak dalam bentuk mencari tahu perbuatan dari terduga teroris, karena para interagator sudah mengetahui karakter mereka.

Baca juga: Survei SMRC Ungkap 84 Persen Rakyat Ingin Masa Jabatan Presiden Tetap Dibatasi Dua Periode

Dalam interogasi tersebut, kata dia, borgol terduga teroris akan dilepas dan diberi minum.

Pertanyaan awal yang ditanyakan, kata dia, adalah apa yang terduga teroris tersebut rasakan.

"Tidak pernah menanyakan substansi perkara yang ditangkap."

"Karena saya anggap dia ditangkap karena alat bukti sudah cukup oleh teman-teman intelijen," papar Shodiq. (Gita Irawan)